expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Senin, 26 April 2010

HAM BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU HUKUM


HAM BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU HUKUM

A. PENDAHULUAN
Dalam rentang peradaban dunia, menguak eksistensi manusia sebagai makhluk yang memiliki harkat dan martabat selalu menarik untuk diperbincangkan. Hal itu sama menariknya ketika manusia membicarakan eksistensi negara sebagai suprastruktur kehidupan sosial demi keberlanjutan eksistensi manusia itu sendiri. Korelasi ini bisa dipahami, sebab dalam proses interaksi itu, manusia selalu dihadapkan pada dinamika sosio-politik dan ekonomi yang bertolak tarik dengan ego-kekuasaan atau naluri kolonialisme yang praksisnya kerap despotis dan merendahkan. Titik persingungan dan ketegangan itu pula, dalam sejarah, merupakan pembuka reformasi politik eropa (akhir abad 18) lalu menjadikannya sebagai momen bersejarah lahirnya Piagam Hak Asasi Manusia.
Kelahiran HAM membuka kembali mata, hati, dan pikiran manusia (kesadaran) tentang hakekat dan sejatinya ia sebagai manusia, mahkluk Tuhan yang sempurna, berakal budi dan nurani yang memiliki kemampuan sehingga mampu membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Posisi biner manusia menjadikan diri manusia makhluk multidimensional yang saling bergantung dan terpusat pada Yang Maha Tidak Bergantung yakni Tuhan. Dalam perspektif Teologis, Tuhan merupakan preferensi hidup bagi dimensi lahiriah maupun jasmaniah; pribadi maupun sosial, makrokosmos, metafisis, atau transendental maupun mikrokosmos yang fisis (keimanan) melalui Kitab dan utusan yang dikehendakinya. Tuhan yang dalam sistem kepercayaan dikenal dalam institusi keagamaan sebagai sang Pencipta telah mengkarunia manusia kewajiban dan hak secara seimbang agar manusia dapat hidup dan mewujudkan kehidupannya dengan baik, damai dan sejahtera lahir dan bathin. Berkaitan dengan hal itu, sejatinya agama adalah pencarian spritual manusia tentang hakekat kebenaran dan kedamaian dirinya dan Tuhan yang terjadi secara evolutif. Dalam proses pencarian dan kebenaran itu maka agama dipandang sebagai salah satu hak asasi manusia (HAM) yang harus dihormati oleh institusi apa dan manapun. Karena itu dalam konfigurasi ketatanegaraan, HAM beragama mempunyai posisi yang sangat penting. Bagaimanapun juga HAM beragama akan menemukan jantung “persoalan” yang utama ketika berhadapan dengan entitas negara. Persoalan yang muncul kemudian bagaimana posisi agama dalam konteks negara? Atau posisi agama dalam konteks hukum? Tulisan ini ingin mengkaji lebih dasar bagaimana HAM Beragama dalam perspektif Filsafat Ilmu Hukum.

B. NEGARA, AGAMA, DAN HAM
Dalam wacana sejarah atau filsafat hukum, relasi negara dan agama sebagai satu entitas politik pernah tumbuh dan berkembang pada Abad Pertengahan (Abad XV sM). Latar belakang perpecahan raja-raja yang disulut kemelut politik dan keserakahan duniawi yang kemudian disatukan oleh kekuasaan imperium Romawi dengan politik unitary melahirkan pemikiran-pemikiran fundamental spiritual dalam konsep kenegaraan baik di dunia Timur maupun Barat.
Ajaran ini mengatakan bahwa kedaulatan negara secara utuh dan mutlak hanya milik Tuhan. Tuhan adalah hakekat satu-satunya yang paling luhur, pencipta dan penguasa segala hakekat yang ada dan tak dapat diterangkan dengan kata-kata. Pengakuan akan kedaulatan Tuhan dalam kehidupan negara dikenal sebagai ajaran Teokrasi. Sumber kedaulatan yang berasal dari Kitab Suci memberi otoritas politik kepada Paus sebagai pemangku agama Katholik sekaligus pemangku negara.
Menurut Augustinus (354-430 sM) praktik kenegaraan Romawi adalah satu konsep negara buruk yang penuh kegelapan akibat keserakahan penguasa (Civitas Terrena). Dan, ia akan menjadi baik apabila seluruh sendi kehidupan negara kembali kepada ajaran Tuhan dan mendapat pengampunan melalui pemangku otoritas-Nya (Civitas Dei). Karena itu, Augustinus menganjurkan perlunya pelembagaan agama dalam negara sebagaimana yang pernah dijalankan oleh Konstantin Theodisius di Konstantinopel.
Disempurnakan oleh Thomas Aquino (1225-1274 M), Ia mencoba merumuskan ajaran kenegaraan ini sebagai satu tatanan hukum bagi golongan Katholik. Alam pikirannya yang sangat dipengaruhi oleh alam pikir Yunani memperlihatkan pertautan Principia Prima dengan hukum Tuhan dan hukum manusia sebagai hukum kongkret yang positif. Menurutnya, sebuah tatanan hukum yang baik adalah hukum yang mendasarkan pada hukum yang tertinggi yang disebut Lex Aeterna atau hukum abadi. Lex Aeterna adalah hukum yang bersumber dari rasio Tuhan yang Maha Mengatur dari segala yang ada. Di dalamnya terkandung hukum-hukum universal yang sejalan dengan kausa Alam dan aqal sehingga dinilai abadi. Kedua, hukum yang diwahyukan kepada manusia yang bersumber dari rasio Tuhan (Lex Divina). Hukum dalam tingkatan ini adalah hukum yang dirumuskan dalam bahasa Nabi melalui pewahyuan. Tingkatan ketiga, personifikasi hukum wahyu ke dalam rasio manusia (Lex Naturalis). Tingkatan keempat yakni hukum yang paling kongkret (hukum positif) merupakan penjelmaan dari tingkatan-tingkatan sebelumnya. Ditambahkannya pula bahwa setiap penciptaan hukum harus mendasarkan pada tujuan ideal yang ingin dicapai yakni kemuliaan abadi. Manusia sebagai makhluk sosial selalu berubah dan memiliki tabiat kepada kemuliaan abadi.
Namun otoritas agama yang penuh pada dimensi kehidupan negara dan masyarakat mengakibatkan terampasnya kebebasan warga. Pandangan konservatif ini menegaskan bahwa setiap persoalan baik duniawi maupun ukhrowi telah menjadi satu ketetapan Tuhan sementara manusia sendiri tidak diberi otoritas untuk merubahnya sehingga ruang berpikir kritis tidak mendapat tempat sama sekali. Dependensi warga pada otoritas Paus yang memiliki dualime kekuasaan itu sejatinya telah merendahkan harkat dan martabat yang hakikinya anugerah Tuhan untuk memuliakan manusia.
Di abad yang sama, peradaban Islam juga menunjukkan satu kecenderungan yang sama. Hampir semua teologi Islam dan orientalis sepakat bahwa praktik kehidupan negara yang Islami terhenti setelah berakhirnya pemerintahan Khilafah Rasyidin Umar bin Khatab. Revolusi sosial yang dilakukan Rasulullah melawan segala bentuk diskriminasi ras, gender, perbudakan, komoditi ritual, sistem perdagangan yang kapitalistik dan tidak manusiawi sempat membuat satu perubahan politik besar dalam tatanan kehidupan bernegara masyarakat Arab pada saat itu dan menjadi satu bentuk negara agama ideal dalam konstelasi pertumbuhan ideologi dunia. Di abad klasik (650-1250 M), Islam di masa Rasulullah memiliki keunikan dalam mengorganisir kehidupan masyarakat Arab yang plural di bawah konstitusi Piagam Madinah. Pluralitas keberagamaan, aliran kepercayaan, etnik, suku, class social, dan stratifikasi ekonomi dan politik mampu disatukan dalam satu ikatan hidup bersama yang damai, toleran, saling menghargai dan menghormati, egaliter, dan saling melindungi bahkan saling mewarisi. Louis Gardnet sebagaimana dikutip Muhammad Tahir Azhary menyebutkan bahwa ciri yang paling menonjol adalah spirit egaliter dalam kehidupan negara tanpa dominasi kependetaan dalam sistem pemerintahan. Menurut Arent Jan Wensinck, petunjuk penting adanya ciri tersebut diperoleh dari sejumlah hadis Al-Bukhori dan Muslim, dan mencantumkan ihtisar tentang life of constitution di dalam Bab Fada’il al-Madinah.
Berbeda dengan negara model kepausan di mana kerajaan Paus mendominir rakyat jelata, Negara Islam yang didirikan Rasulullah, menurut Taha Husain, bukanlah negara teokrasi. Islam melarang kependetaan dan stratifikasi sosial berdasarkan kasta kependetaan. Islam adalah agama yang menekankan ketauhidan, kerasulan, persamaan dan keadilan. Keadilan yang dualistik (dunia dan akhirat) tidak akan merampas kebebasan manusia, menguasai dan membelenggu inisiatif dan kreatifitasnya. Tuhan telah melengkapi manusia dengan akal dan nurani untuk membingkai kebebasannya secara bertanggung jawab. Abul Ala Maududi menyimpulkan dari relasi di atas sebagai Teo-demokrasi. Muhammad Tahir Azhary menyebutnya dengan Nomokrasi Islam.
Al Qur’an sebagai sumber tertinggi hukum negara telah berbicara banyak tentang HAM. Terdapat sekitar empat puluh ayat yang bicara mengenai paksaan dan kebencian. Lebih dari sepuluh ayat bicara larangan memaksa, untuk menjamin kebebasan berfikir, berkeyakinan dan mengutarakan aspirasi. Misalnya: “Kebenaran itu datangnya dari Rabb-mu, barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir.” Al-Qur’an mengetengahkan sikap menentang kedzaliman dan orang-orang yang berbuat dzalim dalam sekitar tiga ratus dua puluh ayat, dan memerintahkan berbuat adil dalam lima puluh empat ayat yang diungkapkan dengan kata-kata: ‘adl, qisth dan qishas. Al-Qur’an mengajukan sekitar delapan puluh ayat tentang hidup, pemeliharaan hidup dan penyediaan sarana hidup. Misalnya: “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya.” Al Qur’an Juga bicara kehormatan dalam sekitar dua puluh ayat. Al-Qur’an menjelaskan sekitar seratus lima puluh ayat tentang ciptaan dan makhluk-makhluk, serta tentang persamaan dalam penciptaan. Misalnya: “… Orang yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa di antara kamu.” Terakhir pada haji wada’, Rasulullah menegaskan secara gamblang tentang hak-hak asasi manusia, pada lingkup muslim dan non-muslim, pemimpin dan rakyat, laki-laki dan wanita. Pada khutbah itu Nabi saw juga menolak teori Yahudi mengenai nilai dasar keturunan.
Sepeninggal Nabi, persoalan penting yang mengemuka adalah persoalan transisi dan legitimasi politik pemerintah pengganti Nabi. Persoalan ini menimbulkan perpecahan dan penurunan kualitas pemerintahan yang jauh dari nilai-nilai Islam sebelumnya. Bahkan konflik perpecahan itu melahirkan aliran-aliran teologi atau kalam seperti Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Jabbariyah, dan Qodariyyah sebagai ekspresi kekecewaan ataupun dukungan untuk melegitimasi elit yang berkuasa. Aliran-aliran tersebut kerap menggunakan hadis atau mengadakan hadis untuk menjustifikasi penguasa yang didukungnya. Perpecahan ini mulai marak ketika awal Pemerintahan Usman, Ali, dan Bani Umayyah yang typikal pemerintahannya didominasi oleh golongan baru atas dasar relasi yang paternalistik, nepotis, kolutif, dan elitis. Terbunuhnya Usman menjadi malapetaka besar pemerintahan Islam di masa Ali yang terus dibayangi perpecahan dan pemberontakan. Meski Ali sendiri tidak diragukan kadar keimanan, integritas moral, dan kompetensi politik dan kenegarawanannya akan tetapi konspirasi yang dilakukan golongan elit baru membuat dirinya tak kuasa menentang arus dan mengakhiri masa pemerintahannya sendiri.
Di masa Umayyah, praktik pemerintahan semakin jauh dari nalai-nilai Islam. Sistem kekuasaan yang monarkhi dan despotis memanfaatkan cara-cara imperialis dalam hubungan perdagangan (meniru model kekaisaran Bizantium dan Sassanid) dan perluasan kekuasaan. Tradisi egaliter dan humanistik berubah menjadi feodal. Hitti sebagaimana dikutip Asghar, mengatakan, “Seratus tahun setelah meninggalnya Muhammad, pengikutnya menjadi penguasa kekaisaran yang jauh lebih besar dibanding Romawi pada puncak kejayaannya.” Kehidupan yang serba gelamor menjadikan Mekkah dan Madinah yang tadinya tempat suci menjadi pusat hiburan dan perjudian. Upaya mengembalikan kondisi awal dan memperkokoh landasan moral negara telah banyak dilakukan oleh kaum Kharijit dan para ulama puritan, namun usaha itu tidak berhasil. Setelah turunnya Umayyah, Abasiah mengorganisir pemberontakan bersenjata dan berhasil merebut kekuasaan dengan bantuan kalangan Persia, terutama dari propinsi Khorasan. Bani Abasiah tidak lama kemudian mengkonsolidasi posisi mereka dan berupaya melegitimasi kekuasaan mereka dengan dukungan para ulama. Meskipun peralihan kekuasaan tersebut didukung akan tetapi fatwa ulama sendiri tetap tidak mengizinkan praktik pemberontakan. Dari praktik pemerintahan itu semua terlihat bahwa sepeninggal Rasulullah pemerintahan Islam dijalankan dengan penuh panorama yang berujung pada praktik feodalistik menggantikan spirit egaliter selama ini. Agama yang hanya menjadi tameng dan alat legitimasi kekuasaan menimbulkan trauma dalam sehingga melahirkan priksi di kalangan ulama untuk menarik agama keluar dari otoritas negara.
Meski kekecewaan telah melahirkan sekulerisme negara di Abad Modern akan tetapi krisis sosial, politik, dan ekonomi dunia di tengah arus globalisasi membuat perbincangan relasi agama dan negara menjadi menarik kembali. Ulrich Beck sebagaimana dikutip Kaelan, mengungkapkan bahwa globalisasi akan berpengaruh terhadap relasi-relasi antar negara dan bangsa di dunia, yang akan mengalami ‘deteritorialisasi’. Konsekuensinya kejadian-kejadian di berbagai belahan dunia ini akan berpengaruh secara cepat terhadap negara lain. Prinsip kebebasan dalam sistem negara demokrasi sekuler berpengaruh secara cepat terhadap negara lain di dunia, termasuk negara Indonesia yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Kasus Yeland Fosten tentang karikatur Nabi Muhammad menimbulkan suatu benturan peradaban antara sistem kebebasan versi sekuler dan negara Berketuhanan Yang Maha Esa.

Sementara itu Anthony Giddens menamai proses globalisasi sebagai ‘the runaway world’. Menurutnya perubahan-perubahan di berbagai bidang terutama perubahan sosial di suatu negara akan berpengaruh secara cepat terhadap negara lain. Sementara itu Robertson mengingatkan bahwa globalisasi merupakan ‘compression of the world’ yaitu menciutnya dunia dan menurut Harvey sebagai proses menciutnya ruang dan waktu ‘time-space compression’, karena intensivikasi dan mobilitas manusia serta teknologi. Dalam kondisi seperti ini terjadilah pergeseran dalam kehidupan kebangsaan, yaitu pergeseran negara yang berpusat pada negara kebangsaan (state centric world) kepada dunia yang berpusat majemuk (multy centric world). Kiranya sinyalemen yang layak kita perhatikan adalah pandangan Kenichi Ohmae sebagaimana dikutip Kaelan bahwa globalisasi akan membawa kehancuran negara-negara kebangsaan. Pengaruh globalisasi yang sangat cepat ini sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup negara dan bangsa Indonesia.

Bahkan A.M. Hendropriyono dalam karyanya Nation State di Masa Teror, bahwa di era globalisasi ini negara-negara yang sedang mengembangkan proses demokratisasi akan mendapatkan tantangan yang sangat hebat, terutama ancaman terorisme yang menyalahgunakan kesucian agama. Nampaknya sinyalemen A.M. Hendropriyono ini diperkuat oleh pandangan Bahmueller bahwa dalam proses demokratisasi harus diperhatikan (1) the degree of economic development, (2) a sense of national identity, (3) historical experience and (4) element of civic culture. Jadi pengembangan demokrasi harus diperhatikan tentang bagaimana kondisi ekonomi dalam suatu negara, dasar filsafat negara sebagai suatu identitas nasional suatu bangsa, bagaimana proses sejarah terbentuknya bangsa itu beserta unsur-unsurnya.
Konstatasi yang layak diperhatikan adalah sinyalemen dari Naisbitt sebagaimana dikutip Kaelan, bahwa di era globalisasi tersebut akan muncul suatu kondisi paradoks, di mana kondisi global diwarnai dengan sikap dan cara berpikir primordial, bahkan akan muncul suatu gerakan ‘Tribalisme’ yaitu suatu gerakan di era global yang berpangkal pada pandangan primordial yaitu fanatisme etnis, ras, suku, agama, maupun golongan. Bahkan Hantington dalam The Clash of Civilization menegaskan bahwa tidak menutup kemungkinan akan terjadinjya suatu benturan peradaban, yang tidak menutup kemungikinan juga berakibat pada adanya konflik horizontal. Bahkan ditambahkan oleh A.M. Hendropriyono, bahwa pada panggung politik dunia benturan peradaban itu mencapai klimaksnya antara dua peradaban besar yaitu fundamentalisme politik Islam dengan kekuasaan kapitalisme neoliberal dengan kekuasaan kerasnya (hard power) di bawah komando Amerika serikat. Kita sadari atau tidak bahwa isu global tentang radikalisme agama dalam negara akan berpengaruh terhadap negara Indonesia, terutama dalam hubungan negara dengan agama. Bahkan adakalanya persoalan itu ditarik dengan memutar jarum jam ke belakang, yaitu persoalan muncul kembali pada kemelut tarik-menarik antara Negara agama dan Negara sekuler, sebagaimana dibahas oleh para founding fathers kita dahulu. Pada hal kita lupa bahwa suatu kesepakatan filosofis dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan itu sangat penting bagi bangsa Indonesia.

B. HAM dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum
Dalam kajian Filsafat Ilmu Hukum bicara HAM berarti bicara persoalan mendasar atau hakekat dari HAM itu sendiri. Jawaban atas persoalan ini sama sulitnya ketika bertanya, apa itu hukum? Karena sejatinya obyek yang ditanyakan adalah penelusuran dari sesuatu asal dari sesuatu yang ada sampai menjamah pada esensi bukan hanya sesuatu yang partikular ditangkap oleh organ inderawi berdasarkan pengalaman.
Secara fenomenologis, HAM yang kita kenal adalah HAM yang tidak hanya berkaitan dengan proteksi bagi individu dalam menghadapi pelaksanaan otoritas negara atau pemerintah dalam bidang-bidang tertentu, akan tetapi juga mengarah kepada penciptaan kondisi oleh negara dalam mana individu dapat mengembangkan potensi mereka sepenuhnya. Deskripsi ini dapat menyingkap apa yang ingin dicapai oleh HAM dalam artian teleologis, tetapi tidak merinci HAM mana yang ada,atau apakah HAM itu.
Dalam dinamika kenegaraan terdapat piagam-piagam HAM seperti Magna Charta (15 Juni 1215 ), Petition of Rights (1628), Hobeas Corpus Act (1679), Bill of Rights (1689 ), Declaration of Independence di Amerika Serikat, Declaration des Droits de L’Homme et Du Citoyen, Perancis (1789), yang kemunculannya bermula dari teori hak-hak kodrati. Eksistensi HAM itu dipahami sebagai hak kodrati yang diberi alam sebagai hakekat kodrati manusia, hak yang inheren atas kehidupan, kebebasan dari harta, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dipindahkan atau dicabut oleh negara.

1. Hukum Alam
Ada dua masa perkembangan hukum kodrati yang dapat menerangkan eksistensi HAM termasuk HAM beragama. Pertama, hukum kodrati jaman kuno yakni Abad Pertengahan yang direpresentasikan oleh para filsuf kristiani dan Islam. Filsuf kristiani di antara yang terkemuka adalah Santo Thomas Aquino/Aquinas. Islam diwakili oleh Ibnu Abi Rabi’, Farabi, Mawardi, Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Khaldun. Pandangan Thomistik mengenai hal ini mempostulatkan bahwa hukum kodrati ini merupakan bagian dari hukum Tuhan yang sempurna yang dapat diketahui melalui penggunaan nalar manusia. Posisi masing-masing individu dalam kehidupan telah digariskan oleh Tuhan, tetapi semua orang apapun statusnya tunduk pada Tuhan. Tuhan, dalam ajaran ini, identik dengan keadilan. Jaminan hukum oleh penguasa terhadap hak-hak kodrati baru dipandang adil apabila tidak bertentangan dengan prinsip hukum alam dan hukum yang tertinggi sebagai hukum Tuhan yang abadi. Dengan demikian meskipun individu memiliki otonomi atas hak-haknya yang diberikan Tuhan akan tetapi penggunaan hak itu dibatasi oleh otoritas Paus sebagai wakil Tuhan.
Di dunia Islam, hukum kodrati sebagai hukum kepasangan atau keseimbangan dalam terma alam juga merupakan bagian dari hukum Tuhan. Ibnu Abi Rabi’ yang menulis banyak tentang konsep kenegaraan “monarkhi” yang banyak dipengaruhi oleh pemikir-pemikir Yunani mengatakan bahwa Allah telah mencipatakan manusia dan seisi alam dengan watak yang cenderung komunal, yang tidak mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Ibnu Abi Rabi’ sepakat dengan pemikir Yunani (Plato dan Aristoteles) tentang komunalisme watak manusia hanya ia mencoba mengaitkan itu semua dengan eksistensi Tuhan pemberi hak dan kewajiban dengan prinsip-prinsip hidup yang ditentukan dalam Al Quran. Menurutnya, posisi penguasa sebagai khalifah fil ardhi bertugas menjaga berlakunya peraturan-peraturan rakyat dari Tuhan dan mengelola masyarakat berdasarkan petunjuk-petunjuk Tuhan.
Landasan ajaran ini sepenuhnya teistik yang artinya menekankan pada keimanan kepada Tuhan. Tetapi tahapan selanjutnya memutuskan relasi transendental itu dan membuatnya menjadi suatu produk pemikiran sekuler yang rasional. Dalam risalah Grotius, De Lure Belli ac Pacis, ia berargumen bahwa eksistensi hukum kodrati, merupakan landasan semua hukum positif, dapat dirasionalkan melalui landasan non empiris dengan menelaah aksioma ilmu ukur. Pendekatan matematis tersebut terhadap persoalan hukum menunjukkan bahwa semua ketentuan dapat diketahui dengan menggunakan “nalar yang benar” dan kesahihannya tidak bergantung kepada Tuhan. Dengan menggunakan nalar yang benar model Grotius dapat dipahami suatu perkembangan teori hak kodrati atau hak individu. Disempurnakan oleh John Locke bahwa hak-hak kodrati manusia yang seutuhnya penuh dan universal dalam prakteknya absurd dan spekulatif (penuh ketidak pastian). Karena itu Locke menawarkan satu konsep kongkret manifestasi hak-hak kodrati ke dalam Kontrak Sosial (ikatan suka rela), yang dengan bentuk itu penggunaan hak tak dapat dicabut oleh penguasa negara. Penggunaan teori kontrak sosial ini melandasi dan dapat menjelaskan Revolusi Gemilang Inggris tahun 1688. Akan tetapi seiring konstelasi politik yang berubah di mana arus modernisasi membawa isu-isu kemanusiaan, ekonomi, liberalisme, neoliberalisme maka hak-hak kodratipun mengalami dekontruksi ke arah pemikiran yang positifistik demi menjawab kepastian hukum bukan isu HAM itu sendiri. Karena bicara hak-hak kodrati yang mendasarkan pada hukum alam selalu bermuara pada etik moral yang dalam perkembangannya terbentur dengan kompleksitas negara yang ingin memelihara unitary sekaligus membutuhkan unifikasi hukum.

2. Hukum Positif
Sementara para teoritikus hukum kodrati menurunkan gagasan tentang hak itu dari Tuhan, nalar dan pengandaian moral yang apriori maka teoritikus hukum positif berpendapat bahwa eksistensi dan isi HAM dapat diturunkan dari hukum negara. Melihat sisi HAM yang apriori sehingga mengundang spekulasi implementasi HAM dalam ranah politik yang absurd yang tak dapat menjawab bagaimana suatu sistem hukum yang sistemik yang dapat dibangun dari hukumkodrat maka perlu merumuskan kembali HAM dalam ranah hukum yang riil yang lebih menjamin HAM dalam konteks negara. Pandangan ini secara nyata berasal dari ungkapan Bentham sebagaimana dikutip Todung Mulya Lubis, yang mengatakan,
“….rights is a child of law, from real laws come real rights, but from imaginary law, laws of nature, come imaginary rights. Natural rights is simple nonsens, natural and impresicible rights rethorical nonsens, nonsens upon still.”
Letak perbedaan yang paradoksal dengan pemikiran sebelumnya adalah bahwa hak-hak kodrati yang lahir dari sebuah atribusi hukum positif semata-mata kehendak pembentuk hukum (penguasa) yang berdiri secara netral untuk tujuan yang ideal. Kehendak hukum adalah kehendak rakyat dalam logika demokrasi representatif Roussoeu yang dirumuskan dalam bentuk hukum yang ada bukan seharusnya. Hukum yang ada adalah hukum yang positif yang keadilan hukum diukur dari, mengutip istilah Hans Kelsen, sebagai norma-norma yang diturunkan dari staatsfundamentalnorm atau grundnorm norma hukum tersebut. Staatsfundamentalnorm adalah norma tertinggi negara sebagai hasil kesepakatan politik dan mengandung nilai-nilai universal karenanya harus dipandang sebagai Prima Facie yang kebenarannya bersifat mutlak. HAM lahir sebagai satu bentuk kontrak sosial yang dituangkan di dalam konstitusi.
Agar tidak sekedar normverbis semata maka Hume dilanjutkan oleh Jeremy Bentham mengembangkan nilai universal hak-hak kodrat ke dalam relasi kemanfaatan atau kebahagiaan sosial dengan mengukurnya ke dalam nilai utility dari hukum yang dibentuk. Menurutnya, manusia dalam kehidupan dihadapkan pada dua keadaan yakni kebahagiaan dan penderitaan, dengan meningkatkan yang pertama dan mengurangi yang kedua, nasib manusia akan lebih baik. Oleh karena itu, tujuan utilitas adalah meningkatkan seluruh stok bagi kesenangan manusia, yang dapat dihitung secara matematis. Berdasarkan pemikiran ini maka kebebasan HAM harus dijamin oleh hukum agar tiap-tiap individu dapat menentukan orientasi kebijakan negara yang dapat memberikan kebahagiaan lebih banyak orang.

3. ANTI UTILITARIAN
Pandangan ini lahir sebagai antitesis dari sistem nilai unititarian yang mengukur maksimalisasi kebahagiaan dari kuantitatif mayoritas yang menikmati akan tetapi timbul pertanyaan bagaimana dengan minoritas yang terabaikan atau tidak menikmati keadilan dari kebahagiaan yang dituju. Utilarian tidak dapat menjawab hal itu dan cenderung berapologi pada konsekuensi sistem demokrasi yang dipilih.
Hal yang sama terjadi pada persoalan kebahagiaan yang ingin diberikan pada Negara Agama vis a vis Nation State yang sekuleris. Di satu sisi berupaya memaksimalisasi kebahagiaan dengan mengutamakan agama mayoritas namun di sisi lain ingin memaksimaliasi kebahagiaan humanisme dengan mengisolir agama dalam ranah negara. Kedua konsep tersebut memberi dampak pada ketidakadilan minoritas yang dalam lambat laun akan melahirkan satu gerakan primordial yang dalam bahasa Huntington The Clash of Civilization. Menurut Dworkin dan Nozick sebagaimana dikutip Scott Davidson ada kalanya perbedaan merupakan hal yang berbeda karena itu tidak dapat disamakan. Kritik kedua tokoh ini menyatakan utilitarianisme memprioritaskan kesejahteraan mayoritas. Minoritas atau individu yang preferensinya tidak diwakili oleh mayoritas di dalam suatu negara akan kurang dihiraukan, dan sebagai akibatnya, mereka dapat sangat dirugikan atau kehilangan hak-haknya. Sebagai contoh mereka tambahkan, isu homoseksual. Mayoritas rakyat dalam suatu negara mungkin menganggap praktek homoseksual dilarang dalam ajaran agama yang diyakini, merupakan perilaku buruk dan menjijikkan sehingga mereka ingin melarangnya dalam undang-undang. Keingin ini jelas memenuhi aksioma sentral dari utilitarianisme, karena memaksimalkan kebahagiaan mayoritas. Namun dalam negara demokrasi yang pluralistik, pendirian semacam ini jelas tidak dapat dipertahankan. Karena itu kecenderungan utilitaria melahirkan tirani mayoritas.
Teori Nozik menuntut suatu komitmen ontologis terhadap jenis moralitas dan organisasi sosial tertentu. Dalam teorinya, ia mempostulatkan sekelompok pria dan wanita yang dalam suatu keadaan alamiah bergabung membentuk negara minimal (minimal state). Negara minimal ini tidak hanya berlandaskan pada ajaran-ajaran moral tertentu, malahan ia juga merupakan salah satu ajaran moral tertentu. Menurutnya, memiliki negara yang fungsinya lebih luas ketimbang negara minimal yang fungsinya terbatas sekedar sebagai “penjaga malam”, berarti mencabut terlalu banyak kebebasan warga negara, dalam hal ini berarti bertentangan dengan moral.
Tesis Nozik jelas sangat teoritis dan implementasinya dengan memaksimalkan kebebasan yang tersedia bagi semua individu dalam sistem negara liberal kapitalistik akan semakin memantapkan ketimpangan sosial yang ada. Padahal, kebebasan individu yang maksimal hanya mungkin bila negara tidak ada.

4. Realisme Hukum
Aliran filsafat ilmu hukum ini tidak lagi mempersoalkan apa itu hukum, bagaimana HAM itu ditur oleh hukum, melainkan apa dan bagaimana hukum HAM itu senyatanya berlaku atau berfungsi bagi ketertiban hidup masyarakat. Llewelyn mengatakan teori ini sebagai bagian dari paket dari studinya mengenai proses dan interaksi di antara kebijakan, hukum dan lembaga-lembaga hukum. Bahkan Pound telah membuat satu resep untuk pengesahan dari keinginan manusia, tuntutan manusia serta kepentingan sosial melalui suatu rekayasa sosial. Namun ia tidak mengidentifikasi suatu mekanisme atau metode yang dapat memprioritaskan hak-hak individu, baik dalam kaitannya dengan hak-hak itu satu sama lain maupun dalam hubungannya dengan sasaran masyarakat. Myres McDougal dan rekan-rekannya telah mengembangkan suatu pendekatan terhadap hak-hak asasi manusia, yang sarat nilai dan berorientasi pada kebijakan, berdasarkan pada nilai-nilai luhur perlindungan terhadap martabat manusia.

5. Relativis Kultural
Teori ini merupakan antitesis dari teori-teori hak-hak alami (natural rights). Teori ini berpandangan bahwa menganggap hak itu bersifat universal merupakan pelanggaran satu dimensi kultural terhadap dimensi kultural yang lain. Atau disebut dengan imperialisme kultural. Yang ditekankan dalam teori ini adalah bahwa manusia merupakan interaksi sosial dan kultural serta perbedaan tradisi budaya dan peradaban berisikan perbedaan cara pandang kemanusiaan (different ways of being human).
Oleh karenanya, penganut teori ini mengatakan, “..that rights belonging to all human beings at all times in all places would be the rights of desocialized and deculturized beings.”

6. Marxis
Menurut Marx, hak-hak kodrati atau HAM yang bersumber pada hukum alam adalah idealistik dan ahistoris. Karena itu klaim kaum revolusioner borjuis abad ke-17 dan abad ke-18 bahwa hak kodrati itu tidak dapat dicabut atau dihilangkan, tidak dapat diterima dan dipertahankan.
Dalam teori Marx, hakekat seorang individu adalah suatu makhluk sosial yang menggunakan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhan ini di dalam masyarakat kapitalis, di mana alat produksi dikuasi oleh kelas yang berkuasa, adalah mustahil karena hal itu mengakibatkan teralienasinya kelas buruh. Marx menambahkan, potensi sejati manusia hanya dapat diwujudkan jika mereka dimungkinkan untuk kembali ke kodrat sejatinya sebagai makhluk sosial. Tetapi ini hanya dapat dicapai dalam masyarakat yang benar-benar komunis di mana semua alat produksi dimiliki bersama dan tidak ada lagi konflik sosial. Tetapi, masyarakat komunis semacam itu hanya dapat diwujudkan melalui suatu revolusi kaum proletar industri. Revolusi ini selanjutnya akan mengubah dirinya menjadi diktator proletar dan, melalui kekuatan ekonomi dan sejarah, akan mengakibatkan pudarnya negara. Namun sebelum pudarnya negara, partai revolusioner harus menduduki posisi pelopor sambil menggunakan negara dan lembaga-lembaganya untuk transformasi masyarakat itu. Pada titik inilah muncul konsep marxis mengenai hak. Selama periode tranformasi itu, tidak ada hak individual karena hak ini egoistis, berdasar “hak milik” yang borjuis; hanya ada hak legal, yang diberikan oleh negara dan diarahkan untuk peralihan dari negara komunis menuju masyarakat komunis. Dengan demikian, karena diarahkan untuk mereduksi alat produksi agar berada di bawah pengawasan bersama, maka hak-hak ini hanya mungkin bersifat sosial dan ekonomi. HAM beragama tidak diakui bahkan dilarang. Sebab, agama dipandang sebagai candu masyarakat yang dapat mengalihkan persoalan dari persoalan penindasan oleh kapitalisme yang sesungguhnya.

7. Pancasila
Dalam perspektif Pancasila, terdapat hubungan piramid antara manusia, alam, dan Tuhan. Tuhan merupakan Prima Facie dalam membangun relasi keduanya secara seimbang dengan penghormatan harkat dan martabat semua makhluk dalam rangka kemaslahatan sosial (rahmatan lil’alamin). Dalam sistem hukum, hal ini ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 khususnya Alenia Keempat di mana nuansa religiusitas mewarnai nilai-nilai pancasila yang ikut membingkai pembentukan NKRI. Bingkai ini kemudian menjadi ukuran Pancasilaime yang menurut Sihombing dapat dilihat dalam dua cara yakni konsepsionil, dan tingkah laku (kebudayaan)nya. Konsepsionil berkaitan dengan integrasi sila-sila Pancasila, sedangkan sikap berkaitan dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, mampu mempersatukan bangsa serta dimanfaatkan untuk meujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pemaknaan terhadap kebebasan beragama di Indonesia harus dimulai dari pengakuan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 29). Dan dipertegas lagi dengan Pasal 28E dan 29 ayat (2) yang intinya menyatakan, setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya; berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan; dan negara menjamin kemerdekaan bagi penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya.” Pasal-pasal ini mengisyaratkan kewajiban negara untuk menjamin HAM beragama dan HAM setiap orang termasuk jama’ah dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya.
Dalam Pasal 28I UUD 1945 berbunyi:
Ayat 1: “Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Ayat 2: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu”.
Terhadap dalil di atas, bukan berarti Indonesia mengadopsi HAM Beragama yang tanpa batas melainkan berdasarkan Pasal 28 J, HAM harus berada dalam bingkai sosial keberagamaan yang lain, yang tidak menimbulkan perpecahan dan permusuhan yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
Dalam konteks itu, Pancasila merupakan ideologi netral dan tengah atas religius state dan seculer state. Indonesia bukan negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu, namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada individu dan masyarakat. Dalam Falsafah Pancasila, hukum nasional harus menjamin keutuhan ideologi dan integrasi wilayah Negara, serta membangun toleransi beragama yang berkeadilan dan berkeadaban.
Oleh karena itu, Indonesia sebagai Negara yang ber-Ketuhanan YME harus melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajarannya masing-masing. Dengan demikian, lanjut, hukum nasional dapat menjadi faktor integrasi yang merupakan alat perekat dan pemersatu bangsa. Pelayanan negara kepada warga negara tidak didasarkan pada ukuran besar (mayoritas) dan kecil (minoritas) pemeluk agama, suku ataupun ras.

C. Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa HAM beragama dalam tinjauan filsafat ilmu hukum bertumpu pada cara pandang dalam melihat hakekat eksistensi HAM itu sendiri. Pandangan hukum alam memandang HAM Beragama bersifat otonom sebagai konsekuensi dari kodrati yang diberikan Tuhan untuk kemuliaan manusia. Dalam pemikiran modern hak-hak kodrati yang bersumber dari hukum alam itu dapat dirumuskan secara humanistik melalui nalar rasional tanpa harus mengkaitkan dengan keberadaan Tuhan.
Namun sifatnya yang apriori dan tak dapat dirumuskan secara sistemik dalam menjawab kepastian hukum maka pandangan Hukum Kodrat ini telah ditinggalkan dan mulai bergeser kepada bagaimana prinsip-prinsip universal hak-hak kodrati itu dipositifkan ke dalam hukum riil negara. Pada tahap ini muncul pemikiran ideologis (utilitarian) dan nonideologis objektif utopis Hans Kelsen dengan “hukum murni”nya. Arah perkembangan pemikiran itu menimbulkan tirani mayoritas di satu sisi dan penyempitan makna hukum di sisi yang lain (legisme) sehingga melahirkan kritik yang di antaranya antiutilitarian.
Pandangan Antiutilitarian yang meskipun utopis dan melanggengkan ketimpangan sosial yang ada tetapi mereka menginginkan ada satu pemerataan kebahagiaan kepada tiap-tiap individu tanpa harus melenyapkan keberadaan negara. Karena itu HAM harus seutuhnya diberi kebebasan dan kesempatan yang sama.
Berbeda antiutilitarian, Realisme hukum berpandangan perlu adanya memanifestasikan apa yang telah diperbuat oleh hukum bukan apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum. Hal ini penting untuk melihat peran dan kontribusi hukum sebagai salah satu sarana perubahan sosial.
Marxian justru menghadirkan diktator proletar dalam mewujudkan HAM sosial dan ekonomi yang komunalistik. Eksploitasi sistem kapital yang merugikan kaum buruh harus dirubah dengan organisasi buruh secara massal dalam level negara sehingga dapat mengendalikan sistem kapitalis borjuis. HAM secara individual tidak dibutuhkan dalam proses itu justru sikap ateis dan totaliter harus diambil untuk mewujudkan masyarakat komunis.
Paradigma Pancasila merupakan paradigma objektif, netral, dan jalan tengah di antara pandangan yang tersebut di atas. Nilai Ketuhanan menjadi ide dasar membangun keberagamaan atas dasar toleransi dan saling menghormati. HAM universal pada tingkat konseptual diakui akan tetapi ditingkat implementasi internal berlaku partikularistik relatif.

D. Daftar Pustaka
Basah, Sjachran, Ilmu Negara (Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997).
Behn, Wolfgang, “Muhammad and The Jewes of Madina,” terjemahan dari Mohammed en de Joden te Medina, oleh Arent Jan Mensinck (Berlin: Klaus Schwarz Verlag- Freiburg im Breisgou, 1975).
Davidson, Scott, Hak Asasi Manusia: Sejarah, Teori, dan Praktek dalam Pergaulan Internasional (terjemahan oleh A. Hadyana Pudjaatmaka) (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2008).
Engineer, Asghar Ali, “Devolusi Negara Islam,” terjemahan dari Islamic State, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
Friedrich, Carl Joachim, “The Philosophy of Law in Historical Perspective” diterjemahkan Filsafat Hukum Perspektif Historis, ed. Nurainun Mangunsong, cet. Ke-3 (Bandung: Nusa Media, 2010).
Giddens, A., The Consequences of Modernity, (Cambridge: Polity Press, 1995).
Kaelan, Relasi Negara dan Agama dalam Perspektif Filsafat Pancasila (Yogyakarta, 1 Juni 2009).
Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, yang terjemahannya “Teori Umum tentang Hukum dan Negara”, cet. III, Nurainun Mangunsong (ed), (Yogyakarta: Nusa Media, 2009).
———–, Pure Theory of Law (Berkely: University California Press, 1978).
Lubis, Todung Mulya, In Search of Human Rights; Legal Political dilemmas of Indonesia’s New Order, 1966-1990 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993).
Maududi, Abul Ala, Islami Risayat, dinukilkan oleh Khurshid Ahmad, Islamic Publication, Lahore, 1974. Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Edisi kedua (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003).
Mike Feterstone (ed.), Global Culture, Nationalism, Globalisation and Modernity, (London: Sage Publications, 1990).
Muhtaj, Majda El, Dimensi-dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Jakarta: Radjawali Press, 2008).
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000).
Rosenau, dalam Hall, Stuart, David Held and Tony Mc. Grew, (ed.), Modernity and Its Future, (Cambridge: Polity Press, 1990).
Sadjali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, cet.ke-5 (Jakarta: UI Press, 1993).
Sihombing, Frans Bona, Demokrasi Pancasila dalam Nilai-nilai Politik (Jakarta : Erlangga, 1984).
Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah dan UUD 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk (Jakarta:UI Press, 1995).


Sumber:

Nurainun Mangungsong, 2010, Materi Kuliah Hukum dan Hak Asasi Masusia, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA.

Senin, 12 April 2010

PENEGAKAN HAM DI INDONESIA

By Jamil

Sepanjang 2008 secara normatif mengalami kemajuan terutama terkait hak sipil dan politik.
Kemajuan tersebut ditandai dengan penerbitan sejumlah peraturan perundang-undangan HAM.
Namun disisi kapasitas dan percepatan penanganan kasus pelanggaran HAM dinilai masih rendah.
Sejumlah pelanggaran HAM seperti penggusuran, kemiskinanan serta PHK sepihak juga dinilai masih marak.

CATATAN PERINGATAN HAM KE 61
Jenewa, 10 Desember 1948
Misi perdamaian dunia (global) masih dihadapkan pada egoisme kekuasaan dalam berbagai bentuk yang berujung pada konflik dan kekerasan yang merendahkan harkat dan martabat manusia itu sendiri.
Di Indonesia, meski gegap gempita arus demokrasi namun sejumlah kasus pelanggaran HAM 1997-1998 masih kabut.
Sidang Paripurna DPR tanggal 28 September 2009 menyetujui rekomendasi Panitia Khusus peristiwa penghilangan orang secara paksa periode 1997-1998 namun SBY sendiri belum menunjukkan langkah-langkah kongkret ke arah sana terutama pengadilan pelanggar HAM.

EMPAT REKOMENDASI SIDANG DPR TERKAIT DENGAN KASUS ORANG HILANG 1997-1998
1.merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.
2.merekomendasikan kepada Presiden serta segenap institusi pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang.
3.merekomendasikan kepada pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang.
4.merekomendasikan kepada pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.

DUA HAL PENTING KEBERADAAN PENGADILAN HAM
1.Negara cq pemerintah adalah pihak yang paling bertanggungjawab menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi warganya. Hal ini sesuai dengan amanat rakyat yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945, UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dengan demikian keadilan hukum dan hak asasi manusia yang berpihak kepada rakyat, khususnya kepada korban dan keluarganya, menjadi komitmen yang tidak bisa ditawar lagi.
2.Pengadilan HAM kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998 ini sebenarnya menjadi titik penting sejarah kemanusiaan di negeri ini. Sebab, sejak pasca reformasi belum ada satupun kasus pelanggaran HAM berat dibawa ke pengadilan HAM. Yang lebih memprihatinkan, semua kasus yang diduga mengandung anasir pelanggaran HAM berat hingga kini nasibnya bak ‘ditelan bumi’ seperti kasus trisakti, semanggi I dan II, Wamena Wasior, kerusuhan Mei, dan sebagainya.

POTRET PENEGAKAN HAM DI INDONESIA
Bidang Sipil dan Politik
dalam pelaksanaan Pemilihan Umum Legislatif 9 April 2009 didapati adanya berbagai bentuk pelanggaran hak sipil dan politik warga Negara, antara lain :
a. Hilangnya hak konstitusional pemilih warga negara secara massive (25 - 40 persen warga yang kehilangan hak pilihnya) dan sistemik (kelemahan melekat dalam sistem pendataan penduduk serta kelembagaan pelaksana pemilu-KPU) di seluruh wilayah RI. Sementara itu pada level Kabupaten dan Kota ditemukan pola yang bersifat massive dan sistematis.
b. Hilangnya hak sipil warga Negara dengan tidak dicatatkannya didalam sistem administrasi kependudukan.
c. Hilangnya hak politik warga Negara dalam bentuk hilangnya hak memilih akibat tidak difasilitasinya pemenuhan hak konstitusional dari kelompok-kelompok rentan (khusus) seperti penyandang cacat, masyarakat adat terpencil, narapidana/tahanan dan lainnya, serta penghapusan Tempat Pemungutan Suara (TPS) Khusus di beberapa tempat seperti di rumah sakit dan tempat-tempat penahanan telah mengakibatkan mereka tidak dapat menggunakan hak pilihnya;
lahirnya Peraturan Kapolri No.8/2009 tentang Penerapan Standar-standar Hak Asasi Manusia dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian. Tetapi kami juga mencatat masih adanya tindakan yang mengarah pada police abusive, seperti dalam operasi pemberantasan terorisme. Aparat kepolisian kurang memperhatikan hak asasi manusia para tersangka dan anggota keluarganya, sehingga terjadi adanya tindakan kekerasan dan atau pelanggaran terhadap hak atas hidup terhadap para tersangka. Begitu juga dalam menghadapi petty crime, juga sering terjadi salah tangkap dan penggunaan kekerasan di luar keperluan.
bahwa memang benar proses peradilan mengenai perkara pembunuhan Munir telah dijalankan dalam melakukan penuntutan dan penghukuman atas para pelaku kejahatan. Namun, dari hasil eksaminasi terhadap perkara pembunuhan Munir yang dilakukan Komnas HAM, terlihat kurang pertimbangan hukum yang cukup dalam memutus perkara (onvoldoende gemotiveerd), sehingga dipandang sebagai kelalaian dalam beracara (vormverzuim) yang mengakibatkan kesewenang-wenangan (willekeur) dalam memutus perkara. Bardasarkan pada berbagai pengujian dalam proses peradilan, khususnya terhadap proses persidangan terdakwa yang digelar terkesan melindungi terdakwa dari pertanggungjawaban pidana. Sehubungan dengan hal tersebut, setelah melakukan analisis terhadap fakta hukum yang diajukan di persidangan, Komnas HAM menyimpulkan bahwa terdapat sejumlah bukti yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam mengadili para pelaku yang seharusnya bertanggungjawab atas terbunuhnya Munir, sehingga terjadi impunitas.
Digunakannya praktik-praktik kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti penembakan terhadap para petani di Palembang, penembakan terhadap para tersangka tindak pidana kriminal, kekerasan dalam kasus penggusuran, serta berbagai bentuk kekerasan lainnya yang dilakukan aparat keamanan telah mengakibatkan tidak terlindunginya hak atas rasa aman dan hak untuk bebas dari penyiksaan. Peristiwa ini menunjukkan belum cukup terlindunginya salah satu hak asasi manusia, yakni hak atas rasa aman. Masih kentalnya budaya kekerasan di jajaran kepolisian juga masih tampak kuat. Terakhir kita bisa melihat bagaimana sejarawan alumni UI, JJ Rizal dikeroyok dan dianiaya oleh 5 (lima) anggota polisi.
Supremasi hukum yang berkeadilan juga masih sangat lemah di mana terdapat jurang yang lebar antara yang landasan normatif dan penegakannya. Seorang nenek yang mencuri tiga buah coklat dihukum oleh pengadilan, sementara penikmat BLBI bebas dari jerat hukum. Selain itu, praktik penyiksaan masih tetap terjadi, bukan hanya di tempat-tempat penahanan/penghukuman akan tetapi juga tempat-tempat lain terutama di tempat-tempat dimana orang dirampas kebebasannya, sementara di tingkat nasional belum tersedia mekanisme nasional yang efektif untuk pencegahan penyiksaan. Selain itu, Komnas HAM juga mengamati sejumlah kasus penyiksaan yang dilakukan pada saat proses penyelidikan dan penyidikan serta adanya rekayasa dalam proses hukum, antara lain kriminalisasi terhadap Pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah.
Kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, baik yang terjadi sebelum maupun sesudah diundangkannya Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM masih belum ada perkembangan di Kejaksaan Agung. Sampai dengan akhir tahun 2009 ini setidaknya 7 (tujuh) hasil penyelidikan Komnas HAM masih belum ditindaklanjuti Jaksa Agung, yakni peristiwa Penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Peristiwa Mei 1998, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Kasus Wamena, dan Peristiwa Wasior. Komnas HAM menghargai adanya upaya yang serius dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk penyelesaian peristiwa penghilangan orang secara paksa dengan mengirimkan rekomendasi kepada Presiden untuk pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Akan tetapi sampai dengan akhir 2009, belum ada perkembangan mengenai pembentukan Pengadilan HAM ad hoc melalui Keputusan Presiden.
Tidak terpenuhinya hak sipil sebagian bangsa ini juga masih berlangsung selama 2009. Dapat dicatat, antara lain, tetap belum teratasinya kesulitan bagi pemeluk agama atau penganut kepercayaan di luar agama yang diakui oleh Pemerintah untuk melangsungkan perkawinan dan sekolah. Hal ini dialami oleh pemeluk agama atau kepercayaan seperti Syiah, Baha’i, Ahmadiyah, dan sebagainya.
Pelanggaran hak sipil dan politik dalam pelaksanaan operasi yustisia oleh Pemda DKI masih diteruskan padahal setiap warga negara mempunyai hak untuk bertempat tinggal dan berpindah tempat tinggal. Selain lahirnya banyak Perda yang bertentangan dengan Kovenan Sipil dan Politik sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005, antara lain Qanun Jinayah di Aceh, Jum’at Qusyu, Qatam Quran dan lain-lain.
Pelanggaran hak sipil dan politik juga masih mewarnai dan semakin mengental di daerah Papua. Memanasnya situasi politik di Papua telah direspon oleh pemerintah dengan pendekatan represif. Penangkapan, penahanan, dan kekerasan terhadap warga Papua kembali menjadi berita media dalam dan luar negeri. Komnas HAM juga mencatat adanya kekerasan di penjara-penjara Papua, khususnya terhadap tahanan-tahanan politik, seperti antara lain dialami oleh Muhtar Tabuni.

KONDISI HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA
Dalam konteks hak ekonomi, sosial, dan budaya (Hak EKOSOB), masih ada pandangan yang melihat hak EKOSOB dianggap bukan sebagai hak asasi, baik di kalangan pemerintah maupun di kalangan masyarakat sipil, dan terutama sektor bisnis. Hak asasi manusia, terutama hak EKOSOB tidak digunakan sebagai paradigma dalam penyusunan kebijakan pembangunan (rights-based approach). Akibatnya, meskipun berbagai kebijakan pembangunan dibuat, namun hak warga negara tetap tidak terlindungi dan terpenuhi dan korban-korban pelanggaran hak asasi manusia terus menerus berjatuhan, seperti pada kasus-kasus penggusuran, kelaparan, pemutusan hubungan kerja secara massal, dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Kepentingan dan nilai-nilai fundamentalisme pasar justru dilindungi dan pada gilirannya meniadakan hak asasi terutama hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Persoalan semburan lumpur panas Lapindo Brantas di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sampai dengan akhir 2009 masih saja terjadi sehingga telah mengakibatkan masalah pelik dari aspek teknis dan sosial. Pemerintah kewalahan menghentikan semburan, merelokasi warga yang tempat tinggalnya tergenang lumpur, dan meminta petanggungjawaban PT Lapindo Brantas Inc, sebagai operator eksplorasi sumur Banjar Panji, Sidoarjo. Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo, warga mendapat ganti rugi secara bertahap. Namun penyelesaian ganti rugi dalam bentuk jual beli itu pun masih berlarut-larut dan korban masih belum juga mendapatkan hak-haknya sebagaimana yang telah dijanjikan. Lambannya sikap Pemerintah, ditambah lagi dengan masih dilakukannya negosiasi ulang untuk pembayaran ganti rugi tersebut memperlihatkan bahwa Pemerintah, tidak saja, abai terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak-korban, namun juga lemah dalam berhadapan dengan korporasi. Selain itu, dari hasil pengkajian yang dilakukan Komnas HAM didapati adanya sejumlah pelanggaran hak asasi manusia dari peristiwa tersebut, akan tetapi pemerintah telah mengabaikan rekomendasi Komnas HAM untuk memulihkan hak-hak para korban yang telah terlanggar.
Tindakan penggusuran yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia menunjukkan tidak terlindunginya hak bertempat tinggal dan berusaha para korban karena penggusuran itu dilakukan tanpa penyediaan tempat lain untuk bertempat tinggal atau tempat berusaha sebagai penggantinya. Komnas HAM mencatat masih tingginya tindakan penggusuran rumah-rumah dan pemukiman rakyat. Bahkan tindakan-tindakan tersebut didukung dengan legislasi daerah dan anggaran yang cukup besar. Sebagian besar, penggusuran tersebut dilakukan tanpa memberikan solusi nyata kepada rakyat mengenai tempat tinggal yang baru yang semakin menunjukkan kegagalan Pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja dan pemukiman bagi rakyat miskin.
Maraknya kasus-kasus Tenaga Kerja Indonesia yang mengalami penderitaan sebagai akibat korban penyiksaan oleh majikan, perkosaan maupun tindakan keji dan tidak manusiawi lainnya juga menambah catatan kelam tidak seriusnya pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan terhadap para Tenaga Kerja Indonesia, khususnya yang sedang bekerja/berada di luar negeri. Maraknya kasus-kasus ini juga disebabkan oleh adanya dualisme dalam penempatan TKI ke luar negeri, yaitu oleh BNP2TKI dan Depnakertrans. Dualisme ini harus diakhiri.
Berkaitan dengan perlindungan hak-hak buruh, Komnas HAM mencermati bahwa jaminan terhadap hak atas pekerjaan, hak-hak pekerja termasuk di dalamnya untuk mendapatkan upah yang adil, hak-hak untuk berserikat, terhalang oleh dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Nomor: PER.16/MEN/IX/2008, 49/2008, 932.1/M-IND/10/2008, 39/M-DAG/PER/10/2008 Tentang Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional Dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global. Sesungguhnya, perlindungan negara kepada warganya harus meliputi perlindungan kelompok rentan, yang relatif tidak memiliki kesamaan kedudukan di dalam negara. Membiarkan buruh/pekerja berhadapan langsung dengan pengusaha dalam menentukan hak dan kewajiban masing-masing merupakan pengabaian hak-hak buruh sebagai bagian dari hak asasi yang seharusnya mendapat perlindungan dari Pemerintah, dan hal itu akan berimplikasi langsung pada semakin meluasnya pengangguran.
Krisis global yang melanda dunia juga telah berimbas pada kondisi perekonomian di Indonesia. Hal ini telah mengakibatkan tidak terpenuhinya hak ekonomi, sosial, dan/atau budaya bagi sebagian besar bangsa ini, terutama yang menyangkut hak atas kesejahteraan. Tetap tingginya jumlah penganggur, sulitnya memperoleh lapangan kerja, tingginya biaya pendidikan yang mengakibatkan tidak terepenuhinya hak atas pendidikan sebagian besar anak bangsa atas haknya atas pendidikan, tetap kurangnya perhatian yang diberikan kepada penderita cacat serta golongan rentan lainnya.
permasalahan kelaparan di Yahokimo dan gizi buruk serta tingginya kematian ibu dan balita yang seperti fenomena gunung es karena jumlah balita (anak usia di bawah lima tahun) yang mengalami gizi buruk lebih dari asumsi yang sudah diperkirakan berbagai pihak, terutama untuk wilayah-wilayah terpencil. Berbagai kasus kurang gizi/gizi buruk dan berbagai masalah di bidang ekonomi, sosial dan budaya diamati juga meningkat akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan kebutuhan pokok lainnya. Berbagai upaya penanggulangan kemiskinann telah dilakukan oleh negara, antara lain melalui Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM Mandiri). Komnas HAM mencermati bahwa program BLT yang telah dilakukan, alih-alih mengurangi jumlah orang miskin tapi justru membuat orang miskin semakin tergantung dan berharap pada bantuan. Komnas HAM juga mengamati bahwa upaya pengentasan kemisknan tidak dilakukan dengan memastikan terpenuhinya hak-hak eskonomi, sosial, dan budaya.


Sumber:
ibu Nurainun Mangunsong, 2010, Materi kuliah Hukum dan Hak Asasi Manusia Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta.

HUKUM ISLAM DAN PENGARUHNYA TERHADAP HUKUM NASIONAL INDONESIA

HUKUM ISLAM DAN PENGARUHNYA TERHADAP HUKUM NASIONAL INDONESIA [1]

Oleh M. Jamil [2]

Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH [3]

PENGANTAR
Sepanjang telaah tentang sejarah hukum di Indonesia, maka nampak jelas kepada saya, bahwa sejak berabad-abad yang lalu, hukum Islam itu telah menjadi hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam di negeri ini. Betapa hidupnya hukum Islam itu, dapat dilihat dari banyaknya pertanyaan yang disampaikan masyarakat melalui majalah dan koran, untuk dijawab oleh seorang ulama atau mereka yang mengerti tentang hukum Islam. Ada ulama yang menerbitkan buku soal jawab, yang isinya adalah pertanyaan dan jawaban mengenai hukum Islam yang membahas berbagai masalah. Organisasi-organisasi Islam juga menerbitkan buku-buku himpunan fatwa, yang berisi bahasan mengenai soal-soal hukum Islam. Kaum Nahdhiyin mempunyai Al-Ahkamul Fuqoha, dan kaum Muhammadiyin mempunyai Himpunan Putusan Tarjih. Buku Ustadz Hassan dari Persis, Soal Jawab, dibaca orang sampai ke negara-negara tetangga.

AKAR HISTORIS DAN SOSIOLOGIS HUKUM ISLAM
Ajaran Islam, sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya, mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam menyadari ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan mereka jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat tergantung kepada kompisi besar-kecilnya komunitas umat Islam, seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan sejauh mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat itu.
Jika kita melihat kepada perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara di masa lampau, upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam, termasuk hukum-hukumnya, nampak mendapat dukungan yang besar, bukan saja dari para ulama, tetapi juga dukungan penguasa politik, yakni raja-raja dan para sultan. Kita masih dapat menyaksikan jejak peninggalan kehidupan sosial keagamaan Islam dan pranata hukum Islam di masa lalu di Kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar serta Ternate dan Tidore. Juga di Yogyakarta, Surakarta dan Kesultanan Banten dan Cirebon di Jawa. Semua kerajaan dan kesultanan ini telah memberikan tempat yang begitu penting bagi hukum Islam. Berbagai kitab hukum ditulis oleh para ulama. Kerajaan atau kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam— setidak-tidaknya di bidang hukum keluarga dan hukum perdata — sebagai hukum positif yang berlaku di negerinya. Kerajaan juga membangun masjid besar di ibukota negara, sebagai simbol betapa pentingnya kehidupan keagamaan Islam di negara mereka.
Pelaksanaan hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para kadi, yang diangkat sendiri oleh masyarakat Islam setempat, kalau di tempat itu tidak dapat kekuasaan politik formal yang mendukung pelaksanaan ajaran dan hukum Islam. Di daerah sekitar Batavia pada abad ke 17 misalnya, para penghulu dan kadi diakui dan diangkat oleh masyarakat, karena daerah ini berada dalam pengaruh kekuasaan Belanda. Masyarakat yang menetap di sekitar Batavia adalah para pendatang dari berbagai penjuru Nusantara dengan aneka ragam bahasa, budaya dan hukum adatnya masing-masing. Di sekitar Batavia ada pula komunitas “orang-orang Moors” yakni orang-orang Arab dan India Muslim, di samping komunitas Cina Muslim yang tinggal di kawasan Kebon Jeruk sekarang ini.
Berbagai suku yang datang ke Batavia itu menjadi cikal bakal orang Betawi di masa kemudian. Pada umumnya mereka beragama Islam. Agar dapat bergaul antara sesama mereka, mereka memilih menggunakan bahasa Melayu. Sebab itu, bahasa Betawi lebih bercorak Melayu daripada bercorak bahasa Jawa dan Sunda. Mereka membangun mesjid dan mengangkat orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang ajaran Islam, untuk menangani berbagai peristiwa hukum dan menyelesaikan sengketa di antara mereka. Hukum Adat yang mereka ikuti di kampung halamannya masing-masing, agak sukar diterapkan di Batavia karena penduduknya yang beraneka ragam. Mereka memilih hukum Islam yang dapat menyatukan mereka dalam suatu komunitas yang baru.
Pada awal abad ke 18, Belanda mencatat ada 7 masjid di luar tembok kota Batavia yang berpusat di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa dan Musium Fatahillah sekarang ini. Menyadari bahwa hukum Islam berlaku di Batavia itu, maka Belanda kemudian melakukan telaah tentang hukum Islam, dan akhirnya mengkompilasikannya ke dalam Compendium Freijer yang terkenal itu. Saya masih menyimpan buku antik Compendium Freijer itu yang ditulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu tulisan Arab, diterbitkan di Batavia tahun 1740. Kompilasi ini tenyata, bukan hanya menghimpun kaidah-kaidah hukum keluarga dan hukum perdata lainnya, yang diambil dari kitab-kitab fikih bermazhab Syafi’i, tetapi juga menampung berbagai aspek yang berasal dari hukum adat, yang ternyata dalam praktek masyarakat di masa itu telah diadopsi sebagai bagian dari hukum Islam. Penguasa VOC di masa itu menjadikan kompendium itu sebagai pegangan para hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara di kalangan orang pribumi, dan diberlakukan di tanah Jawa.
Di pulau Jawa, masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan hukum Islam itu melalui pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di pondok-pondok pesantren, demikian pula di tempat-tempat lain seperti di Madura. Di daerah-daerah di mana terdapat struktur kekuasaan, seperti di Kerajaan Mataram, yang kemudian pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, masalah keagamaan telah masuk ke dalam struktur birokrasi negara. Penghulu Ageng di pusat kesultanan, menjalankan fungsi koordinasi kepada penghulu-penghulu di kabupaten sampai ke desa-desa dalam menyelenggarakan pelaksanaan ibadah, dan pelaksanaan hukum Islam di bidang keluarga dan perdata lainnya. Di Jawa, kita memang menyaksikan adanya benturan antara hukum Islam dengan hukum adat, terutama di bidang hukum kewarisan dan hukum tanah. Namun di bidang hukum perkawinan, kaidah-kaidah hukum Islam diterima dan dilaksanakan dalam praktik. Benturan antara hukum Islam dan hukum Adat juga terjadi di Minangkabau. Namun lama kelamaan benturan itu mencapai harmoni, walaupun di Minangkabau pernah terjadi peperangan antar kedua pendukung hukum itu.
Fenomena benturan seperti digambarkan di atas, nampaknya tidak hanya terjadi di Jawa dan Minangkabau. Benturan itu terjadi hampir merata di daerah-daerah lain, namun proses menuju harmoni pada umumnya berjalan secara damai. Masyarakat lama kelamaan menyadari bahwa hukum Islam yang berasal dari “langit” lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan hukum adat yang lahir dari budaya suku mereka. Namun proses menuju harmoni secara damai itu mula terusik ketika para ilmuwan hukum Belanda mulai tertarik untuk melakukan studi tentang hukum rakyat pribumi. Mereka “menemukan” hukum Adat. Berbagai literatur hasil kajian empiris, yang tentu didasari oleh pandangan-pandangan teoritis tertentu, mulai menguakkan perbedaan yang tegas antara hukum Islam dan Hukum Adat, termasuk pula falsafah yang melatarbelakanginya serta asas-asasnya.
Hasil telaah akademis ini sedikit-banyak mempengaruhi kebijakan politik kolonial, ketika Pemerintah Hindia Belanda harus memastikan hukum apa yang berlaku di suatu daerah jajahan, atau bahkan juga di seluruh wilayah Hindia Belanda. Dukungan kepada hukum Adat ini tidak terlepas pula dari politik devide et impera kolonial. Hukum Adat akan membuat suku-suku terkotak-kotak. Sementara hukum Islam akan menyatukan mereka dalam satu ikatan. Dapat dimengerti jika Belanda lebih suka kepada hukum Adat daripada hukum Islam. Dari sini lahirlah ketentuan Pasal 131 jo Pasal 163 Indische Staatsregeling, yang tegas-tegas menyebutkan bahwa bagi penduduk Hindia Belanda ini, berlaku tiga jenis hukum, yakni Hukum Belanda untuk orang Belanda, dan Hukum Adat bagi golongan Timur Asing -– terutama Cina dan India — sesuai adat mereka, dan bagi Bumiputra, berlaku pula hukum adat suku mereka masing-masing. Di samping itu lahir pula berbagai peraturan yang dikhususkan bagi orang bumiputra yang beragama Kristen.
Hukum Islam, tidak lagi dianggap sebagai hukum, terkecuali hukum Islam itu telah diterima oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya adalah hukum Adat, bukan hukum Islam. Inilah teori resepsi yang disebut Professor Hazairin sebagai “teori iblis” itu. Belakangan teori ini menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan ahli-ahli hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia sampai jauh di kemudian hari. Posisi hukum Islam yang keberlakuannya tergantung pada penerimaan hukum Adat itu tetap menjadi masalah kontroversial sampai kita merdeka. Karena merasa hukum Islam dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah Kolonial Belanda, maka tidak heran jika dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar di negara Indonesia merdeka nanti, negara itu harus berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, seperti disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, walau kalimat ini dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kita merdeka. Rumusan penggantinya ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD 1945 sekarang ini. Debat mengenai Piagam Jakarta terus berlanjut, baik dalam sidang Konstituante maupun sidang MPR di era Reformasi. Ini semua menunjukkan bahwa sebagai aspirasi politik, keinginan untuk mempertegas posisi hukum di dalam konstitusi itu tidak pernah padam, walau tidak pernah mencapai dukungan mayoritas.
Patut kita menyadari bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 itu, dilihat dari sudut pandang hukum, sebenarnya adalah “penerus” dari Hindia Belanda. Jadi bukan penerus Majapahit, Sriwijaya atau kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu. Ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 yang mengatakan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”. Dalam praktek yang dimaksud dengan peraturan yang ada dan masih langsung berlaku itu, tidak lain ialah peraturan perundang-undangan Hindia Belanda. Bukan peraturan Kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, atau kerajaan lainnya. Bukan pula meneruskan peraturan pemerintah militer Jepang, sebagai penguasa terakhir negeri kita sebelum kita membentuk negara Republik Indonesia.
Setelah kita merdeka, tentu terdapat keinginan yang kuat dari para penyelenggara negara untuk membangun hukum sendiri yang bersifat nasional, untuk memenuhi kebutuhan hukum negara yang baru. Keinginan itu berjalan seiring dengan tumbuhnya berbagai kekuatan politik di negara kita, di samping tumbuhnya lembaga-lembaga negara, serta struktur pemerintahan di daerah. Pembangunan hukum di bidang tatanegara dan administrasi negara tumbuh pesat. Namun kita harus mengakui pembangunan hukum di bidang hukum pidana dan perdata, termasuk hukum ekonomi berjalan sangat lamban. Baru di era Pemerintahan Orde Baru, kita menyaksikan proses pembangunan norma-norma hukum di bidang ini berjalan relatif cepat untuk mendukung pembangunan ekonomi kita.
Keadaan ini berjalan lebih cepat lagi, ketika kita memasuki era Reformasi. Ketika UUD 1945 telah diamandeman, kekuasaan membentuk undang-undang yang semula ada di tangan Presiden dengan persetujuan DPR diubah menjadi sebaliknya, maka makin banyak lagi norma-norma hukum baru yang dilahirkan. Burgerlijk Wetboek atau KUH Perdata peninggalan Belanda telah begitu banyak diubah dengan berbagai peraturan perundang-undangan nasional, apalagi ketentuan-ketentuan di bidang hukum dagang dan kepailitan, yang kini dikategorikan sebagai hukum ekonomi. Namun Wetboek van Sraftrechts atau KUH Pidana masih tetap berlaku. Tetapi berbagai norma hukum baru yang dikategorikan sebagai tindak pidana khusus telah dilahirkan, sejalan dengan pertumbuhan lembaga-lembaga penegakan hukum, dan upaya untuk memberantas berbagai jenis kejahatan. Kita misalnya memiliki UU Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika, Terorisme dan sebagainya.

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUKUM
Setelah kita merdeka, kita telah memiliki undang-undang dasar, yang kini, oleh Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2004, diletakkan dalam hirarki tertinggi peraturan perundang-undangan kita. Setelah MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan ketetapan, maka semua undang-undang harus mengacu langsung kepada undang-undang dasar. Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan uji materiil terhadap undang-undang dasar. Kalau mahkamah berpendapat bahwa materi pengaturan di dalam undang-undang bertentangan dengan pasal-pasal tertentu di dalam undang-undang dasar, maka undang-undang itu dapat dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku, baik sebagian maupun seluruhnya.
Dilihat dari sudut teori ilmu hukum, undang-undang dasar adalah sumber hukum. Artinya undang-undang dasar itu adalah sumber dalam kita menggali hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif, dalam hal ini undang-undang. Sudah barangtentu undang-undang dasar semata, tidaklah selalu dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam merumuskan norma hukum positif, mengingat sifat terbatas dari pengaturan di dalam undang-undang dasar itu sendiri. Undang-undang dasar adalah hukum dasar yang tertulis, yang pada umumnya memuat aturan-aturan dasar dalam penyelenggaran negara, kehidupan sosial dan ekonomi, termasuk jaminan hak-hak asasi manusia dan hak asasi warganegara. Di samping undang-undang dasar terdapat hukum dasar yang tidak tertulis, yakni berbagai konvensi yang tumbuh dan terpelihara di dalam praktik penyelenggaraan negara. Dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif di bidang hukum tatanegara dan administrasi negara khususnya, bukan hanya hukum dasar yang tertulis yang dijadikan rujukan, tetapi juga hukum dasar yang tidak tertulis itu.
Dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif lainnya, para perumus kaidah-kaidah hukum positif harus pula merujuk pada faktor-faktor filosofis bernegara kita, jiwa dan semangat bangsa kita, komposisi kemajemukan bangsa kita, kesadaran hukum masyarakat, dan kaidah-kaidah hukum yang hidup, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sebab itulah, dalam merumuskan kaidah hukum positif, kita tidak boleh bertindak sembarangan, oleh karena jika kaidah-kaidah yang kita rumuskan itu bertentangan dengan apa yang saya sebutkan ini, maka kaidah hukum yang kita rumuskan itu sukar untuk dilaksanakan di dalam praktik. Unsur-unsur filosofis bernegara kita, jiwa dan semangat bangsa kita, komposisi kemajemukan bangsa kita, dapat kita simak di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Tentu kita dapat menguraikan dan menafsirkan rumusan-rumusan itu dari sudut filsafat hukum, walau tentu di kalangan para ahli akan terdapat perbedaan-perbedaan penekanan dan pandangan.



SYARIAT, FIKIH DAN QANUN
Dari uraian-uraian di atas, timbullah pertanyaan, di manakah letak atau posisi hukum Islam yang saya maksudkan, dalam hukum nasional kita? Sebelum menguraikan lebih lanjut jawaban atas pertanyaan ini, saya harus menguraikan lebih dulu, apakah yang dimaksud dengan “hukum Islam” itu dalam perspektif teoritis ilmu hukum. Kalau kita membicarakan hukum Islam, kita harus membedakannya antara syariat Islam, fikih Islam dan qanun. Mengenai syariat Islam itu sendiri, ada perbedaan pandangan di kalangan para ahli. Ibnu Taymiyyah misalnya berpendapat bahwa keseluruhan ajaran Islam yang dijumpai di dalam al-Qur’an dan al-Hadits itu adalah syariat Islam. Namun untuk kepentingan studi ilmu hukum pengertian yang sangat luas seperti diberikan Ibnu Taymiyyah itu tidak banyak membantu.
Ada baiknya jika kita membatasi syariat Islam itu hanya kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang secara eksplisit mengandung kaidah hukum di dalamnya. Kita juga harus membedakannya dengan kaidah-kaidah moral sebagai norma-norma fundamental, dan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan sopan santun. Dengan pembatasan seperti ini, maka dengan merujuk kepada pendapat Abdul Wahhab al-Khallaf, maka kaidah-kaidah hukum dalam syariah itu — baik di bidang peribadatan maupun di bidang mu’amalah — tidaklah banyak jumlahnya. Al-Khallaf menyebutkan ada 228 ayat al-Qur’an yang dapat dikategorikan mengandung kaidah-kaidah hukum di bidang mu’amalah tadi, atau sekitar 3 persen dari keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an.Rumusan kaidah-kaidah hukum di dalam ayat-ayat itu pada umumnya masih bersifat umum. Dengan demikian, belum dapat dipraktikkan secara langsung, apalagi harus dianggap sebagai kaidah hukum positif yang harus dijalankan di sebuah negara. Bidang hukum yang diatur secara rinci di dalam ayat-ayat hukum sesungguhnya hanya terbatas di bidang hukum perkawinan dan kewarisan.
Bidang-bidang hukum yang lain seperti hukum ekonomi, pidana, diberikan asas-asasnya saja. Khusus dibidang pidana, ada dirumuskan berbagai delik kejahatan dan jenis-jenis sanksinya, yang dikategorikan sebagai hudud dan ta’zir. Kalau kita menelaah hadits-hadits Rasulullah, secara umum kitapun dapat mengatakan bahwa hadits-hadits hukum jumlahnya juga tidak terlalu banyak. Dalam sejarah perkembangannya, ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits syari’ah telah mengalami pembahasan dan perumusan yang luar biasa. Pembahasan itulah yang melahirkan fikih Islam. Saya kira fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para sahabat dan para ulama di kemudian hari, sejauh menyangkut masalah hukum, dapat pula dikategorikan ke dalam fikih Islam. Sepanjang sejarahnya pula, norma-norma syari’ah telah diangkat menjadi kaidah hukum positif di kekhalifahan, kesultanan atau kerajaan Islam di masa lalu. Dari sinilah lahir kodifikasi hukum Islam, yang dikenal dengan istilah Qanun itu.
Pembahasan dalam fikih Islam telah melahirkan karya-karya ilmiah di bidang hukum yang amat luar biasa. Para ahli hukum Islam juga membahas filsafat hukum untuk memahami pesan-pesan tersirat al-Qur’an dan hadits, maupun di dalam merumuskan asas-asas dan tujuan dirumuskannnya suatu kaidah. Fikih Islam telah melahirkan aliran-aliran atau mazhab-mazhab hukum, yang mencerminkan landasan berpikir, perkembangan sosial masyarakat di suatu zaman, dan kondisi politik yang sedang berlaku. Fikih Islam juga mengadopsi adat kebiasaan yang berlaku di suatu daerah. Para fuqaha kadang-kadang juga mengadopsi hukum Romawi. Menelaah fikih Islam dengan seksama akan mengantarkan kita kepada kesimpulan, betapa dinamisnya para ilmuwan hukum Islam dalam menghadapi perkembangan zaman. Walau, tentunya ada zaman keemasan, ada pula zaman kemunduran.
Patut kita sadari Islam masuk ke wilayah Nusantara dan Asia Tenggara pada umumnya, dan kemudian membentuk masyarakat politis pada penghujung abad ke 13, ketika pusat-pusat kekuasaan Islam di Timur Tengah dan Eropa telah mengalami kemunduran. Ulama-ulama kita di zaman itu nampaknya belum dibekali kemampuan intelektual yang canggih untuk membahas fikih Islam dalam konteks masyarakat Asia Tenggara, sehingga kitab-kitab fikih yang ditulis pada umumnya adalah ringkasan dari kitab-kitab fikih di zaman keemasan Islam, dan ketika mazhab-mazhab hukum telah terbentuk. Namun demikian, upaya intelektual merumuskan Qanun tetap berjalan. Di Melaka, misalnya mereka menyusun Qanun Laut Kesultanan Melaka. Isinya menurut hemat saya, sangatlah canggih untuk ukuran zamannya, mengingat Melaka adalah negara yang bertanggungjawab atas keamanan selat yang sangat strategis itu. Qanun Laut Kesultanan Melaka itu mengilhami qanun-qanun serupa di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara yang lain, seperti di Kesultanan Bima.

KEBERLAKUAN HUKUM ISLAM
Dengan uaraian-uraian di atas itu, saya ingin mengatakan bahwa hukum Islam di Indonesia, sesungguhnya adalah hukum yang hidup, berkembang, dikenal dan sebagiannya ditaati oleh umat Islam di negara ini. Bagaimanakah keberlakuan hukum Islam itu? Kalau kita melihat kepada hukum-hukum di bidang perubadatan, maka praktis hukum Islam itu berlaku tanpa perlu mengangkatnya menjadi kaidah hukum positif, seperti diformalkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bagaimana hukum Islam mengatur tatacara menjalankan solat lima waktu, berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan kaidah hukum positif. Bahwa solat lima waktu itu wajib fardhu ‘ain menurut hukum Islam, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat mengintervensi, dan juga melakukan tawar menawar agar solat lima waktu menjadi sunnah mu’akad misalnya. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa dapat diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan yang dapat memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan hukum-hukum peribadatan itu, atau paling jauh adalah aspek-aspek hukum administrasi negara untuk memudahkan pelaksanaan dari suatu kaidah hukum Islam.
Ambillah contoh di bidang hukum perburuhan, tentu ada aturan yang memberikan kesempatan kepada buruh beragama Islam untuk menunaikan sholat Jum’at misalnya. Begitu juga di bidang haji dan zakat, diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan jemaah haji, administrasi zakat dan seterusnya. Pengaturan seperti ini, berkaitan erat dengan fungsi negara yang harus memberikan pelayanan kepada rakyatnya. Pengaturan seperti itu terkait pula dengan falsafah bernegara kita, yang menolak asas “pemisahan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan” yang dikonstatir oleh Professor Soepomo dalam sidang-sidang BPUPKI, ketika para pendiri bangsa menyusun rancangan undang-undang dasar negara merdeka.
Adapun hal-hal yang terkait dengan hukum perdata seperti hukum perkawinan dan kewarisan, negara kita menghormati adanya pluralitas hukum bagi rakyatnya yang majemuk, sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Bidang hukum perkawinan dan kewarisan termasuk bidang hukum yang sensitif, yang keterkaitannya dengan agama dan adat suatu masyarakat. Oleh sebab itu, hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan diakui secara langsung berlaku, dengan cara ditunjuk oleh undang-undang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 misalnya, secara tegas menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu. Di sini bermakna, keabsahan perkawinan bagi seorang Muslim/Muslimah adalah jika sah menurut hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sebagaimana halnya di zaman VOC telah ada Compendium Frijer, maka pada masa Orde Baru juga telah dirumuskan Kompilasi Hukum Islam, walau dasar keberlakuannya hanya didasarkan atas Instruksi Presiden.
Setahun yang lalu, Pemerintah telah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Terapan Pengadilan Agama. RUU ini merupakan upaya untuk mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat menjadi hukum positif. Cakupannya adalah bidang-bidang hukum yang menjadi kewenangan dari Peradilan Agama. Tentu saja subyek hukum dari hukum positif ini nantinya berlaku khusus bagi warganegara yang beragama Islam, atau yang secara sukarela menundukkan diri kepada hukum Islam. Presiden dan DPR juga telah mensahkan Undang-Undang tentang Wakaf, yang mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam ke dalam hukum positif. Berbagai undang-undang yang terkait dengan hukum bisnis juga telah memberikan tempat yang sewajarnya bagi kaidah-kaidah hukum Islam yang berkaitan dengan perbankan dan asuransi.

SYARIAT SEBAGAI SUMBER HUKUM
Suatu hal yang agak “krusial” sehubungan dengan syariat Islam dalam kaitannya dengan hukum positif ialah kaidah-kaidahnya di bidang hukum pidana dan hukum publik lainnya. Kaidah-kaidah hukum pidana di dalam sayariat itu dapat dibedakan ke dalam hudud dan ta’zir. Hudud adalah kaidah pidana yang secara jelas menunjukkan perbuatan hukumnya (delik) dan sekaligus sanksinya. Sementara ta’zir hanya merumuskan delik, tetapi tidak secara tegas merumuskan sanksinya. Kalau kita membicarakan kaidah-kaidah di bidang hukum pidana ini, banyak sekali kesalahpahamannya, karena orang cenderung untuk melihat kepada sanksinya, dan bukan kepada perumusan deliknya. Sanksi-sanksi itu antara lain hukuman mati, ganti rugi dan maaf dalam kasus pembunuhan, rajam untuk perzinahan, hukum buang negeri untuk pemberontakan bersenjata terhadap kekuasaan yang sah dan seterusnya. Kalau kita melihat kepada perumusan deliknya, maka delik hudud pada umumnya mengandung kesamaan dengan keluarga hukum yang lain, seperti Hukum Eropa Kontinental dan Hukum Anglo Saxon. Dari sudut sanksi memang ada perbedaannya.
Sudah barang tentu kaidah-kaidah syariat di bidang hukum pidana, hanya mengatur prinsip-prinsip umum, dan masih memerlukan pembahasan di dalam fikih, apalagi jika ingin transformasi ke dalam kaidah hukum positif sebagai hukum materiil. Delik pembunuhan misalnya, bukanlah delik yang sederhana. Ada berbagai jenis pembunuhan, antara lain pembunuhan berencana, pembunuhan salah sasaran, pembunuhan karena kelalaian, pembunuhan sebagai reaksi atas suatu serangan, dan sebagainya. Contoh-contoh ini hanya ingin menunjukkan bahwa ayat-ayat hukum yang mengandung kaidah pidana di dalam syariat belum dapat dilaksanakan secara langsung, tanpa suatu telaah mendalam untuk melaksanakannya.
Problema lain yang juga dapat mengemuka ialah jenis-jenis pemidanaan (sanksi) di dalam pidana hudud. Pidana penjara jelas tidak dikenal di dalam hudud, walaupun kisah tentang penjara disebutkan dalam riwayat Nabi Yusuf. Pidana mati dapat diterima oleh masyarakat kita, walau akhir-akhir ini ada yang memperdebatkannya. Namun pidana rajam, sebagian besar masyarakat belum menerimanya, kendatipun secara tegas disebutkan di dalam hudud. Memang menjadi bahan perdebatan akademis dalam sejarah hukum Islam, apakah jenis-jenis pemidanaan itu harus diikuti huruf demi huruf, ataukah harus mempertimbangkan hukuman yang sesuai dengan penerimaan masyarakat di suatu tempat dan suatu zaman. Kelompok literalis dalam masyarakat Muslim, tentu mengatakan tidak ada kompromi dalam melaksanakan nash syari’at yang tegas. Sementara kelompok moderat, melihatnya paling tinggi sebagai bentuk ancaman hukuman maksimal (ultimum remidium), yang tidak selalu harus dijalankan di dalam praktik. Masing-masing kelompok tentu mempunyai argumentasi masing-masing, yang tidak akan diuraikan dalam makalah ini.
Pada waktu tim yang dibentuk oleh Menteri Kehakiman, sejak era Ismail Saleh, diberi tugas untuk merumuskan draf Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, tim perumus nampaknya telah menjadikan hukum yang hidup di dalam masyarakat, sebagai sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum pidana yang bersifat nasional. Karena itu, tidak mengherankan jika ada delik pidana adat — seperti orang yang secara terbuka menyatakan dirinya memiliki kemampuan melakukan santet untuk membunuh orang lain — yang sebelumnya tidak ada di dalam KUHP warisan Belanda, dimasukkan ke dalam draf KUHP Nasional. Demikian pula rumusan pidana perzinahan, nampaknya mengambil rumusan hukum Islam, walaupun tidak dalam pemidanaannya. Dalam draf KUHP Nasional, perzinahan diartikan sebagai hubungan seksual di luar nikah.
Sementara KUHP warisan Belanda jelas sekali perumusannya dipengaruhi oleh hukum Kanonik Gereja Katolik, yang merumuskan perzinahan sebagai hubungan seksual di luar nikah, tetapi dilakukan oleh pasangan, yang salah satu atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain. Dengan demikian, menurut KUHP warisan Belanda, hubungan seksual di luar nikah antara dua orang yang tidak terikat perkawinan— misalnya pasangan kumpul kebo — bukanlahlah perzinahan. Perumusan perzinahan dalam KUHP Belanda ini nampak tidak sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Mereka mengambil rumusan perzinahan dari hukum Islam, tetapi pemidanaanya mengambil jenis pemidaan dari eks hukum Belanda, yakni pidana penjara.
Dari uraian saya yang panjang lebar di atas, terlihat dengan jelas bahwa syari’at Islam, hukum Islam maupun fikih Islam, adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk yang majemuk, maka dalam hal hukum keluarga dan kewarisan, maka hukum Islam itu tetaplah dinyatakan sebagai hukum yang berlaku. Sebagaimana juga halnya, jika ada pemeluk agama lain yang mempunyai hukum sendiri di bidang itu, biarkanlah hukum agama mereka itu yang berlaku. Terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum perdata lainnya, seperti hukum perbankan dan asuransi, negara dapat pula mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam di bidang itu dan menjadikannya sebagai bagian dari hukum nasional kita. Sementara dalam hal hukum publik, yang syariat Islam itu sendiri hanya memberikan aturan-aturan pokok, atau asas-asasnya saja, maka biarkanlah ia menjadi sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum nasional.
Di negara kita, bukan saja hukum Islam – dalam pengertian syariat – yang dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi juga hukum adat, hukum eks kolonial Belanda yang sejalan dengan asas keadilan dan sudah diterima masyarakat, tetapi kita juga menjadikan berbagai konvensi internasional sebagai sumber dalam merumuskan kaidah hukum positif kita. Ketika hukum positif itu telah disahkan, maka yang berlaku itu adalah hukum nasional kita, tanpa menyebut lagi sumber hukumnya. Ada beberapa pihak yang mengatakan kalau hukum Islam dijadikan sebagai bagian dari hukum nasional, dan syariat dijadikan sumber hukum dalam perumusan kaidah hukum positif, maka Indonesia, katanya akan menjadi negara Islam. Saya katakan pada mereka, selama ini hukum Belanda dijadikan sebagai hukum positif dan juga dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi saya belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa negara kita ini akan menjadi negara Belanda. UU Pokok Agraria, terang-terangan menyebutkan bahwa UU itu dirumuskan berdasarkan kaidah-kaidah hukum adat, tetapi sampai sekarang saya juga belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa Indonesia sudah menjadi negara Adat.

Penutup
Di manapun di dunia ini, kecuali negaranya benar-benar sekular, pengaruh agama dalam merumuskan kaidah hukum nasional suatu negara, akan selalu terasa. Konsititusi India tegas-tegas menyatakan bahwa India adalah negara sekular, tetapi siapa yang mengatakan hukum Hindu tidak mempengaruhi hukum India modern. Ada beberapa studi yang menelaah pengaruh Buddhisme terhadap hukum nasional Thailand dan Myanmar. Hukum Perkawinan Pilipina, juga melarang perceraian. Siapa yang mengatakan ini bukan pengaruh dari agama Katolik yang begitu besar pengaruhnya di negara itu. Sekali lagi saya ingin mengatakan bahwa mengingat hukum Islam itu adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka negara tidak dapat merumuskan kaidah hukum positif yang nyata-nyata bertentangan dengan kesadaran hukum rakyatnya sendiri. Demokrasi harus mempertimbangkan hal ini. Jika sebaliknya, maka negara kita akan menjadi negara otoriter yang memaksakan kehendaknya sendiri kepada rakyatnya.


Catatan Kaki:
[1] Makalah ini pernah disampaikan dalam Seminar tentang “Hukum Islam di Asia Tenggara” yang dilaksanakan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 5 Desember 2007.
[2] Salah satu Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Angkatan Pertama (2009/2010)
[3] Guru Besar Hukum Tata Negara dan Mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia

HUKUM TENAGA KERJA INDONESIA

KETENTUAN PIDANA DI DALAM UU NO. 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TKI DI LUAR NEGERI (UU PPTKILN) PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


By M. Jamil [1]
Oleh : Marhendra Handoko[2]

ABSTRAKSI
Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindugan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri (UU PPTKILN) yang disetujui dalam sidang paripurna DPR-RI tanggal 24 September 2004 telah berlaku sejak tanggal ditandatangani oleh presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 18 Oktober 2004 dan dimuat dalam Lembaran Negara tahun 2004 No. 133 dan tambahan lembaran No. 4445. Dengan berlakunya UU PPTKILN juga merupakan langkah prestatif yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang (legislator), mengingat sejak Indonesia merdeka baru pertama kali Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Permasalahan penempatan TKI di luar negeri merupakan masalah yang cukup krusial, terutama masalah penempatan TKI ke luar negeri secara illegal atau permasalahan perdagangan manusia (trafficking) pada saat proses penempatan TKI di luar negeri. Hal ini yang melatarbelakangi munculnya UU No. 39 Tahun 2004, dengan harapan agar proses penempatan TKI di luar negeri memiliki payung hukum dan memberi kekuatan hukum para TKI, agar kemudian para pahlawan devisa (sebutan untuk TKI) mampu menuntut hak jikalau dikemudian hari terjadi permasalahan antara TKI dengan user (pemakai jasa TKI atau perusahaan yang mempekerjakan TKI). Permasalahan kebijakan kriminalisasi dan pertanggungjawaban pidana dalam UU No. 39 Tahun 2004, bahwasanya hukum Islam memandang tinggi sebuah nilai kemaslahatan umat, yang dalam hal ini sudah dengan baik di intepretasikan dalam redaksional undang-undang tersebut sehingga penerapan kebijakan kriminalisasi dan pertanggungjawaban pidan sudah sesuai dengan nilai-nilai yang dianut di dalam hukum Islam.
Keywords: Kebijakan Kriminalisasi, Pertanggungjawaban Pidana.

I. LATAR BELAKANG MUNCULNYA UNDANG-UNDANG NO. 39 TAHUN 2004
Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar negeri (UU PPTKILN) yang disetujui dalam Sidang Paripurna DPR-RI tanggal 29 September 2004 telah berlaku sejak tanggal ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 18 Oktober 2004 dan dimuat dalam lembaran Negara Tahun 2004 No.133 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4445.
Kehadiran UU PPTKILN merupakan kebutuhan mendesak, mengingat dengan semakin meningkatnya tenaga kerja yang ingin bekerja di luar negeri dan banyaknya TKI yang sekarang bekerja di luar negeri, sejalan dengan itu meningkat pula kasus perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI, baik di dalam maupun di luar negeri. Kasus yang berkaitan dengan nasib TKI semakin beragam, bahkan berkembang kearah perdagangan manusia yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.[3]
Dengan berlakunya UU PPTKILN juga merupakan langkah prestatif yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang (legislator), mengingat sejak Indonesia merdeka baru pertama kali Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Selama ini secara yuridis peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar acuan penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri adalah Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia untuk Melakukan Pekerjaan di luar Indonesia (Staatblad Tahun 1887 No.8) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep. 104A/Men/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri serta peraturan pelaksanaannya. Peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan pengaturan penempatan dan perlindungan TKI yang bekerja di luar negeri secara lengkap dan komprehensif. Pengaturan melalui KepMen-pun ternyata belum dapat mengatasi permasalahan penempatan TKI di luar negeri secara optimal, terutama dalam mencegah penempatan TKI ke luar negeri secara illegal.[4]
Dasar pemikiran mewujudkan undang-undang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, tidak dimaksudkan bahwa pemerintah menganjurkan Warga Negara Indonesia (WNI) untuk bekerja ke luar negeri. Tetapi untuk melindungi warga Negara yang akan bekerja di luar negeri. Selain itu UU PPTKILN ini diharapkan mampu mencegah penempatan Warga Negara Indonesia (WNI) secara illegal yang dalam praktek di lapangan tidak ubahnya sebagai perdagangan manusia (trafficking).
Dengan kata lain, mengingat masalah yang timbul dalam penempatan adalah berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, maka semangat untuk memberikan perlindungan dan pencegahan penempatan WNI dan TKI secara illegal itu diwujudkan dalam pasal-pasal yang memberikan ancaman hukuman pidana yang berat terhadap pelakunya. Di sini nampaknya penyusun undang-undang sengaja memberikan shock terapy agar dengan ancaman hukuman yang tinggi diharapkan terdapat rasa takut dan tidak akan melakukan pelanggaran.
Sejak berbentuk RUU dan setelah diberlakukan ternyata penolakan terhadap keberadaan UU PPTKILN tak kunjung padam. Penolakan dan perlawanan paling keras datang dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menganggap bahwa kebijakan pemerintah dalam RUU PPTKILN memandang TKI alias buruh migran tak lebih sebagai komoditas. [5] Implementasi kebijakan pemerintah masih mengandung semangat diskriminasi dan bahkan kebijakan penempatan buruh migran sudah mengarah pada kebijakan perdagangan manusia (trafficking). [6]
Setelah UU PPTKILN diundangkan penolakan kian marak. Sebab, sebagaimana ditegaskan oleh Wahyu Susilo selaku analis dari LSM Migrant Care, kebijakan penempatan TKI dalam UU PPTKILN lebih mengatur teknis operasional dan administratif dan target pemenuhan devisa negara sehingga mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan. [7] Kebijakan negara adalah dengan memobilisasi pengiriman TKI untuk target perolehan devisa Rp 169 trilyun pada tahun 2009. [8] Karena itu LSM Migrant Care dalam statemennya secara tegas menuntut agar Indonesia menempuh langkah konkrit mencabut UU PPTKILN yang tidak berperspektif penegakan Hak Asasi Manusia. [9]
Dengan demikian terlihat bahwa kebijakan legislasi menggunakan sarana hukum pidana atau kebijakan hukum pidana (criminal law policy/penal policy/politik hukum pidana) [10] dalam UU PPTKILN belum secara optimal mampu diterapkan dan mencegah penempatan TKI secara ilegal atau melalui jalur yang tidak sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang ada. Oleh karena itu adalah menarik dan penting untuk mengkaji ulang tentang kebijakan hukum pidana yang diterapkan dalam UU PPTKILN. Namun mengingat pokok bahasan tentang kebijakan hukum pidana terlalu luas, [11] maka penelitian ini diarahkan pada bidang hukum pidana materil[12] dan difokuskan pada kajian tentang masalah kebijakan kriminalisasi[13] dan pertanggungjawaban pidana[14] dalam UU PPTKILN.
Persoalan kebijakan kriminalisasi dan pertanggungjawaban pidana tersebut kian menarik dan penting jika ditinjau dari Hukum Pidana Islam. Persoalan inilah yang menjadi latar belakang dan daya tarik penulis didalam melakukan penulisan karya ilmiah ini atau melakukan penelitian. Sehingga besar harapan kemudian adalah, penulis mendapatkan saran dan kritikan yang membangun guna menyempurnakan penelitian atau penulisan karya ilmiah ini dan kemudian penulis mampu menyelesaikan nya dengan baik.

II. TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KEBIJAKAN KRIMINALISASI DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DIDALAM UU NO. 39 TAHUN 2004 (UU PPTKILN)
A. Analisis dari segi Kebijakan Kriminalisasi.
Proses penetapan suatu tindakan kriminal (kriminalisasi) tidak begitu saja dilakukan, akan tetapi melewati suatu proses berfikir (berijtihad) yang sistematis dan terarah. Oleh karena itu, tindakan kriminal yang diatur didalam UU No. 39 Tahun 2004 bab ketentuan pidana merupakan hasil yang cukup maksimal guna memenuhi kebutuhan ketentuan hukum yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.
Kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Yang kemudian proses kriminalisasi diakhiri dengan terbentuknya undang-undang dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana. [15] Selain itu juga, kriminalisasi merupakan proses penetapan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana. [16]
Pengertian kebijakan sendiri memiliki tiga arti yang cukup luas, diantaranya kebijakan dalam arti sempit, luas, dan paling luas. Pengertian kebijakan dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana, sedangkan dalam arti luas kebijakan merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. Dalam pengertian yang paling luas, kebijakan merupakan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. [17] Jadi pengertian kebijakan kriminalisasi adalah suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana),” [18] atau kebijakan dalam menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana kejahatan. [19] Jadi, pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari “kebijakan hukum pidana” (penal policy).
Kemudian perbuatan-perbuatan yang dikriminalkan didalam UU No. 39 Tahun 2004 adalah sebagai berikut : pasal 102 :
Ayat 1:
a. Orang perorangan dilarang menempatkan Warga Negara Indonesia (WNI) untuk bekerja diluar negeri (pasal 102 jo pasal 4 UU PPTKILN).
b. Perusahaan yang akan menjadi pelaksana penempatan TKI (pelaksana penempatan TKI swasta) wajib mendapat izin tertulis berupa SIPPTKI (Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia) dari Menteri Ketenagakerjaan (pasal 102 jo pasal 12 UU PPTKILN).
c. Setiap orang dilarang menempatkan calon TKI/TKI pada jabatan dan tempat pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian dan norma kesusilaan serta peraturan perundang-undangan, baik di Indonesia maupun di negara tujuan atau di negara tujuan yang telah dinyatakan tertutup sebagaimana dimaksud dalam pasal 27. Penjelasan 27 sebagai berikut : penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan kenegara tujuan yang pemerintahanya telah membuat perjanjian tertulis dengan pemerintah Republik Indonesia atau ke negara tujuan yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenga kerja asing (pasal 102 jo pasal 27 jo pasal 30 UU PPTKILN).
Didalam pasal 103 dijelaskan :
Ayat 1 :
a. Mengalihkan atau memindahtangankan SIPPTKI (Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia) kepada orang lain (pasal 103 jo pasal 19 UU PPKTILN).
b. Mengalihkan atau memindahtangankan SIP (Surat Izin Pengerahan) kepada pihak lain untuk melakukan perekrutan calon TKI (pasal 103 jo pasal 33 UU PPTKILN).
c. Melakukan perekrutan calon TKI yang tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut : (i). Berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada pengguna perseorangan sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun. (ii). Sehat jasmani dan rohani. (iii). Tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan. (iv). Berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat (pasal 103 jo pasal 35 UU PPTKILN).
d. Menempatkan TKI yang tidak lulus dalam uji kompetensi kerja (pasal 103 jo pasal 45 UU PPTKILN).
e. Menempatkan TKI yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan dan psikologi (pasal 103 jo pasal 50 UU PPTKILN).
f. Menempatkan calon TKI/TKI tidak memiliki dokumen yang meliputi : (i) Kartu Tanda Penduduk, ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran, atau surat keterangan kenal lahir, (ii). Surat keterangan status perkawinan, bagi yang telah menikah melampirkan copy buku nikah, (iii). Surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali, (iv). Sertifikat Kompetensi Kerja, (v). Surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi, (vi). Paspor yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat, (vii). Visa kerja, (viii). Perjanjian penempatan TKI, (ix). Perjanjian penempatan kerja, (x). KTKLN (Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri). Pasal 103 jo pasal 51 UU PPTKILN.
g. Menempatkan TKI di luar negeri tanpa perlindungan program asuransi (pasal 103 jo pasal 68 UU PPTKILN).
h. Memperlakukan calon TKI secara tidak wajar dan tidak manusiawi selama masa di penampungan (pasal 103 jo pasal 70 ayat 3 UU PPTKILN).
Pasal 104 menjelaskan :
Ayat 1 :
a. Menempatkan TKI tidak melalui mitra usaha di negara tujuan (pasal 104 jo pasal 24 UU PPTKILN).
b. Menempatkan TKI di luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri tanpa izin tertulis dari menteri (pasal 104 jo pasal 26 ayat 1 UU PPTKILN).
c. Mempekerjakan calon TKI yang sedang mengikuti pendidikan dan pelatihan (pasal 104 jo pasal 46 UU PPTKILN).
d. Menempatkan TKI di luar negeri yang tidak memiliki KTKLN (Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri). Pasal 104 jo pasal 64 UU PPTKILN.
e. Tidak memberangkatkan TKI ke luar negeri yang telah memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen (pasal 104 jo pasal 67 UU PPTKILN). [20]
Dasar atau kriteria penetapan suatu tindakan atau perbuatan yang dikriminalkan diatas didasarkan pada syarat suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan kriminal, yang dalam hal ini syarat-syaratnya adalah sebagai berikut :
1. Sifat Melawan Hukum (Unsur Formil).
2. Pelakunya, yakni orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut, dapat dipersalahkan/disesalkan atas perbuatannya (Unsur Materiil).
3. Perbuatan yang dilakukan adalah merupakan perbuatan yang oleh hukum dinyatakan perbuatan yang dapat dihukum (Unsur Moril). [21]
Memperhatikan unsur-unsur tindak pidana diatas menurut pendapat Makhrus Munajat, ketiga unsur diatas tidak selamanya terlihat jelas dan terang, namun dikemukakan guna mempermudah dalam mengkaji persoalan-persoalan hukum pidana Islam dari sisi kapan peristiwa pidana terjadi. [22]
Selain itu juga, menentukan suatu tindakan atau perbuatan kedalam perbuatan pidana didasarkan kepada sebuah kriteria, yang dalam hal ini Sudarto berpendapat, dalam menghadapi permasalahan kriminalisasi harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut[23] :
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini (penggunaan) hukum pidana bertujuan menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki,” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau sprituil) atas warga masyarakat.
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle).
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
Selain itu juga, untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindakan kriminal, perlu memperhatikan kriteria umum sebagai berikut[24] :
1. Apakah perbuatan itu tidak sesuai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban.
2. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban, pelaku dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.
3. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya.
4. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa Indonesia sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.
Dalam hal ini juga dipandang perlu melakukan sebuah pendekatan holistik (secara menyeluruh, bersifat secara keseluruhan), yang kemudian tersimpul dalam beberapa kriteria yang patut dipertimbangkan yang diajukan oleh Sudarto[25] dalam menetapkan kriminalisasi, yaitu :
1. Hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan pengurangan terhadap tindakan penaggulangan itu sendiri. Pemahaman dan perwujudan mengenai tujuan hukum pidana ini sangatlah perlu demi tercapainya kesejahteraan masyarakat dan anggota masyarakat secara seimbang.
2. Ukuran untuk menetapkan perbuatan yang tidak dikehendaki atau tidak disukai oleh masyarakat disamping ketercelaan tindakan tersebut juga karena perbuatan itu merugikan atau mendatangkan korban.
3. Harus diperhatikan cost dan benefit principle, artinya usaha untuk mengkriminalisasikan harus seimbang dengan hasilnya.
4. Harus dipertimbangkan apakah kriminalisasi menambah beban dari aparatur penegak hukum sehingga tidak sampai menimbulkan overbelasting (kelampauan beban tugas sehingga peraturan itu menjadi kurang efektif).
Memperhatikan kriteria kriminalisasi diatas maka secara tegas dapat diketahui bahwasanya setiap perbuatan yang merupakan tindak pidana kejahatan akan mengalami suatu pendiskriminasian oleh masyarakat. Tujuan dikriminalkan suatu perbuatan menurut pendapat Makhrus Munajat adalah karena perbuatan itu sangat merugikan kepada tatanan kemasyarakatan, atau kepercayaan-kepercayaan atau harta benda, nama baik, kehormatan, jiwa dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu menurut hukum syara’ harus dipelihara, dihormati serta dilindungi[26]. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh konsep atau kaidah fiqh (Al-qowa’idul Fiqhiyyah) yang dalam hal ini dapat dikaitkan pada kaidah yang pertama[27], yakni :
“segala sesuatu (perbuatan) tergantung pada tujuannya”.
Mengapa dapat dikatakan demikian, karena setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia akan selalu dipengaruhi oleh tujuan, sehingga para pembuat undang-undang (legislator/ulil amri) telah menetapkan suatu kaidah mengenai tujuan mengapa perbuatan tersebut dikriminalkan. Para legislator atau ulil amri dalam hal ini telah menetapkan kriteria, jika dilihat akan sesuai dengan kriteria yang telah dijelaskan di atas.
Penetapan hukum yang dilakukan oleh ulil amri atau mujtahid atau legislator dalam hal perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri mendasarkan pada indikasi setiap perbuatan yang telah dikriminalkan didalam undang-undang tersebut telah memiliki nilai kemudharatan atau akan membawa dampak pada rusaknya tatanan kemasyarakatan, atau kepercayaan-kepercayaan atau harta benda, nama baik, kehormatan, jiwa dan lain sebagainya, serta pada umumnya merugikan kepentingan dan ketentraman masyarakat[28], sehingga para ulil amri telah memiliki kesapakatan didalam ijtihad jamai’, bahwasanya perbuatan yang termuat didalam kriteria perbuatan kriminal diatas dilarang untuk dilakukan oleh perorangan atau pun korporasi, yang dikarenakan telah memiliki sanksi yang cukup berat seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Abdul Wahab Khalaf menjelaskan bahwa tujuan umum disyari’atkan hukum adalah untuk merealisir kemaslahatan umat. [29] Hal ini lah yang menjadi latar belakang ataupun tujuan para mujtahid mengkriminalkan perbuatan yaitu bertujuan untuk menjaga tatanan kemasyarakatan, atau menjaga kepercayaan-kepercayaan atau menjaga harta benda, menjaga nama baik, menjaga kehormatan, menjaga jiwa dan lain sebagainya, serta pada umumnya menjaga kepentingan dan ketentraman masyarakat[30] sehingga tujuan penjatuhan hukuman pun akan tercapai yaitu menjaga akhlak, karena jika akhlak terpelihara maka akan terpelihara juga kesehatan badan, akal, hak milik, jiwa dan ketentraman masyarakat. [31]
Berdasar pada tujuan dikriminalkan suatu perbuatan dan tujuan penjatuhan hukuman, maka dapat kita lihat, bahwasanya ketentuan pidana yang termuat didalam UU No. 39 Tahun 2004 mengenai perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri memberikan suatu penjelasan bahwa antara hukum positif dan hukum Islam masih memiliki keterikatan yang sama, yakni mengenai tujuan hukum dan pada satu sisi hukum positif masih mencari akar pemecahan permasalahannya (problem solver) pada kaidah-kaidah hukum Islam. Hal ini menunjukkan bahwa ditetapkan suatu perbuatan menjadi perbuatan pidana (kriminalisasi) yang termuat didalam UU No. 39 Tahun 2004 memberi manfaat pada konsep hukum Islam, yaitu : melindungi atau memberi perlindungan terhadap nilai agama (hifdzul dien), memberi perlindungan terhadap akal (hifdzul aql), memberi perlindungan terhadap harta (hifdzul maal), memberi perlindungan terhadap keturunan (hifdzul nasl) dan yang terakhir memberi perlindungan terhadap kehormatan (hifdzul ‘ ird).

B. Analisis dari Segi Pertanggungjawaban Pidana
Melihat besarnya tantangan yang dihadapi oleh hukum Islam didalam menjawab perubahan hukum, maka tidak menutup kemungkinan hukum Islam melakukan sebuah perubahan penafsiran ataupun aplikasinya. Akan tetapi hal tersebut tidaklah merubah semua ketentuan yang sudah ada, melainkan harus melihat perubahan penafsiran yang disesuaikan dengan konteks waktu, zaman dan tempat sehingga hukum Islam tetap fleksibel didalam menjawab sekaligus mengatasi permasalahan hukum yang ada atau yang dihadapi.
Ada 3 masalah pokok dalam bidang hukum pidana materiil yaitu perumusan perbuatan yang dilarang (kriminalisasi), pertanggungjawaban pidana (kesalahan), dan sanksi yang diancamkan. [32] Jika menilik pada permasalahan pidana materiil, maka pembahasan pertanggungjawaban pidana merupakan pembahasan yang cukup menarik, berbicara pertanggungjawaban pidana maka tidak akan terlepas pada pembahasan mengenai asas kesalahan. Hal ini didasarkan pada prinsip pertanggungjawaban pidana yang berdasar padas asas “tiada pidana tanpa kesalahan” yang dikenal dengan Asas Kesalahan. Artinya, pelaku pidana dapat dipidana bila melakukan perbuatan pidana yang dilandasi sikap batin yang salah/jahat. Namun dalam perkembangannya ada pula pertanggungjawaban pidana yang menyimpang dari Asas Kesalahan [33].
Selain hal diatas, berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana akan membahas pada wilayah obyek hukum (Mahkum Fih). Mahkum Fih yang sering juga disebut mahkum ‘alaih ialah obyek hukum syara’ atau perkara yang berhubungan dengan hukum syara’ atau perbuatan orang mukallaf yang menjadi obyek hukum syara’, baik berupa perintah, larangan maupun kebolehan atau perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa yang mampu dikerjakan maupun tidak, baik berupa kewajiban terhadap Allah SWT maupun terhadap sesama manusia. [34]
Pertanggungjawaban pidana mengandung pengertian bahwa seseorang bertanggung jawab atas sesuatu perbuatan pidana yang secara sah dan telah diatur oleh undang-undang. Jadi dapat dikatakan bahwa pidana itu dapat dikenakan secara sah berarti untuk tindakan ini telah ada aturannya dalam sistem hukum tertentu, dan sistem hukum itu telah berlaku dan mengikat atas perbuatan itu. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa tindakan ini dibenarkan oleh sistem hukum. Hal inilah yang menjadi konsep mengenai pertanggungjawaban pidana.
Pengertian pertanggungjawaban pidana didalam konsep syari’at Islam ialah pembebasan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan (atau tidak ada perbuatan) yang dikerjakannya dengan kemauannya sendiri, dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatan itu. [35]
Hukum Islam didalam memandang konsep pertanggungjawaban pidana tidak menampilkan perbedaan secara mendasar, bahkan kesamaan pengertian dan aplikasinya tidak dapat dielakkan lagi. Seperti yang dijelaskan didalam surat Al-Muddatstsir ayat 38 (QS : 74 : 38) yang berbunyi : [36]
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”

Didalamnya mengandung pengertian bahwa setiap jiwa terikat pada apa yang dia kerjakan, dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang dibuat oleh orang lain. Sangat jelas telah diterangkan didalam isi surat tersebut, hal ini menandakan bahwa beban kesalahan atau beban pidana tidak dapat diwakilkan kepada orang lain atau dimenjadi beban orang lain.
Bahkan isi kandungan ayat tersebut juga dikuatkan atau didukung oleh ayat-ayat yang lain, seperti yang terkandung didalam surat Al-An’am ayat 164 (QS : 6 : 164) yang berbunyi [37] :
Katakanlah: “Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan”.
Dijelaskan bahwa Allah SWT menyatakan, bahwa setiap pribadi melakukan sesuatu kejahatan akan menerima balasan kejahatan yang dilakukannya. Hal ini berarti, bahwa tidak boleh sekali-kali beban seseorang dijadikan beban orang lain.
Selain ayat-ayat diatas terdapat beberapa ayat lain yang menjelaskan mengenai permasalahan ini, diantara nya surat Faathir ayat 18 (QS : 35 : 18) [38] menerangkan, bahwa orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, yang pada intinya adalah beban dosa tidak bisa dibebankan kepada orang lain. Didalam surat Az-Zumar ayat 7 (QS : 39 : 7) [39] . Yang berbunyi :
“Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam (dada)mu.”

Surat Al-Najm ayat 38 (QS : 53 : 38) [40] pun menerangkan hal yang sama, yang berbunyi :
(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,

Dari ayat-ayat tersebut, jelas bahwa orang tidak dapat diminta memikul tanggung jawab mengenai kejahatan atau kesalahan orang lain. Karena pertanggungjawaban pidana itu individual sifat nya, kesalahan seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain.
Pertanggungjawaban pidana ditegakkan atas 3 (tiga) hal, yaitu [41] :
1. Adanya perbuatan yang dilarang.
2. Dikerjakan dengan kemauan sendiri.
3. Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.
Melihat perbuatan yang dikriminalkan pada bab ketentuan pidana, telah memiliki ketentuan pertanggungjawaban pidana yang berbentuk sanksi pidana penjara, kurungan dan denda. Sehingga apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pidana tersebut, pelaku delik atau pelaku pidana akan dikenakan sanksi yang tegas. Seperti pada contoh yang dijelaskan berikut ini; mengenai Seorang teman yang telah memberikan informasi kepada Imran tentang kesempatan/lowongan kerja sebagai TKI secara ilegal. Perbuatan yang dilakukan oleh teman Imran tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan trafficking (perdagangan manusia) dan teman Imran bukan pelaku kejahatan yang memperdagangkan manusia (bukan trafiker). Sebab, perbuatan teman Imran itu tidak memenuhi unsur-unsur trafiking, seperti memindahkan dengan penipuan untuk dipekerjakan secara ilegal. [42] Namun, perbuatan tersebut dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana berupa :
Menurut Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, teman Imran bisa saja dijerat sebagai orang yang menempatkan calon TKI pada pekerjaan, tanpa dilengkapi dokumen-dokumen yang memadai. Dalam Pasal 103, disebutkan bahwa setiap orang yang menempatkan calon TKI/TKI yang tidak memiliki dokumen sebagaimana dimaksud Pasal 51, ia bisa dipidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).

Aturan dalam undang-undang ini dilahirkan karena dalam kenyataannya banyak kejadian yang menimpa para buruh migran yang tidak memiliki dokumen. [43]


Memperhatikan dan sekaligus mempelajari kasus diatas maka dapat kita lihat bahwa Perbuatan sang teman selaku orang perseorangan yang telah memberikan informasi kepada Imran tentang kesempatan/lowongan kerja sebagai TKI ilegal di luar negeri dapat digolongkan perbuatan menempatkan calon TKI (CTKI) pada pekerjaan tanpa dokumen yang merupakan tindak pidana kejahatan sebagaimana diatur Pasal 103 ayat (1) huruf f UU PPTKILN. Perbuatan pidana teman Imran itu dapat juga dijerat dengan Pasal 102 ayat (1) huruf a UU PPTKILN. Sebab, teman Imran selaku orang perseorangan (bukan badan hukum korporasi bebentuk Perseroan Terbatas) telah melakukan penempatan TKI yang tergolong perbuatan terlarang sebagaimana dimaksud Pasal 4 UU PPTKILN dengan sanksi pidana dan denda lebih berat.
Pada contoh kasus diatas, dapat dikatakan bahwa teman Imran telah dengan sengaja atau dengan sadar melakukan tindak pidana kejahatan, yang dalam hal ini merupakan tindak kejahatan yang telah diatur ketentuan pidananya didalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2004. Jadi sangat jelas mengenai perumusan pidananya, sehingga apabila terdapat indikasi terjadinya pelanggaran tindak pidana serupa atau sebaliknya, maka beban pertanggungjawaban pidananya sudah sangat jelas dan kepada pelaku delik pidana dapat dikenakan sanksi hukuman yang telah ditetapkan pada ketentuan pidana didalam UU No. 39 Tahun 2004.
Pada contoh kasus di atas juga terlihat bahwa teman Imran sudah dapat dijatuhi pidana walau ia tidak punya niat jahat/sikap batin jahat ketika menyampaikan informasi kesempatan kerja tanpa dokumen di luar negeri. Bahkan teman Imran dapat dipidana walau akibat perbuatannya si Imran tidak dirugikan sama sekali (atau malah sukses sebagai TKI ilegal). Dengan kata lain teman Imran dikenakan pertanggungjawaban pidana dan dipidana semata-mata lantaran perbuatannya itu telah memenuhi ketentuan Pasal 102 ayat (1) huruf a jo. Pasal 103 ayat (1) huruf f UU PPTKILN tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Dalam hukum pidana pertanggungjawaban itu dikenal dengan istilah strict liability yang menyimpang dari Asas Kesalahan. [44]
Di samping itu PPTKIS atau PJTKI selaku “orang” atau subjek hukum badan hukum yang berbentuk korporasi ternyata diakui oleh UU PPTKILN sebagai pelaku pidana yang dapat dijatuhi hukuman pidana. [45] Masalah badan hukum korporasi sebagai subjek tindak pidana telah menimbulkan persoalan dalam hukum pidana karena berhubungan dengan pembebanan tanggungjawab pidana yang menyimpang dari Asas Kesalahan. [46]
Selain kasus diatas masih terdapat contoh lain, yakni : kejadian yang dialami oleh Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI) yang bernama :
1. Nama : Sudaryanti
Umur : 24 Tahun
Alamat : Sindutan A RT 20/10 Sindutan Temon Kulon Progo Yogyakarta

2. Nama : Pawit Utami
Umur : 21 Tahun
Alamat : Suruhan RT/RW. 48/21 Karangsari Pengasih Kulon Progo
Yogyakarta

3. Nama : Sri Suratmi
Umur : 27 Tahun
Alamat : Serangrejo RT 10/05 Kulwaru Kulon Progo Yogyakarta

4. Nama : Tri Rahayuningsih
Umur : 28 Tahun
Alamat : Jetis RT 12/05 Sogan Wates Kulon Progo Yogyakarta

Keempat orang CTKI tersebut pada awalnya mengikuti seleksi di Disnakertrans (Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi) Kab. Kulon Progo untuk bekerja (work) di Pabrik SENSATA TECHNOLOGIES SDN. BHD Selangor, Malaysia secara langsung. Akan tetapi pada kenyataannya keempat CTKI tersebut mengalami tindak pidana penipuan yang dilakukan oleh PT. SAFANA MITRA UTAMA pada tanggal 19 Februari 2008, yang beralamat kantor dijalan Magelang KM. 5 Karanganyar No. 178 RT/RW. 08/29 Sinduadi, Mlati, Sleman Yogyakarta. Penipuan yang dilakukan oleh PT. SAFANA MITRA UTAMA adalah dalam hal penipuan job order (permintaan kerja), yang semestinya pada awal keempat CTKI akan dipekerjakan di Pabrik SENSATA TECHNOLOGIES SDN. BHD akan tetapi pada akhirnya mereka dipekerjakan di pabrik yang lain, yaitu di pabrik MEMC. Selama proses rekrut, keempat CTKI tersebut tidak diberikan dokumen yang semestinya wajib dimiliki oleh CTKI seperti surat keterangan izin orang tua, surat perjanjian penempatan, foto copy kontrak kerja, dan tidak diikut sertakan dalam program asuransi perlindungan TKI yang bersifat wajib. [47]
Yang menjadi permasalahan dan sekaligus analisa penulis didalam kasus yang dialami oleh keempat CTKI adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh PT. SAFANA MITRA UTAMA telah memenuhi syarat pertanggungjawaban pidana, yaitu [48] :
1. Adanya perbuatan yang dilarang.
2. Dikerjakan dengan kemauan sendiri.
3. Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.
PT. SAFANA MITRA UTAMA selaku badan hukum atau korporasi telah terbukti secara jelas dan tegas melakukan perbuatan yang dilarang oleh UU No. 39 Tahun 2004 bab ketentuan pidana mengenai perlindugan dan penempatan TKI di luar negeri. Selanjutnya perbuatan pidana tersebut dilakukan dengan kemauan sendiri dan PT. SAFANA MITRA UTAMA telah mengetahui akibat hukum atau pertanggungjawaban pidananya.
Pasal 103 ayat 1 (satu) huruf f jo pasal 51 UU PPTKILN [49] menjelaskan mengenai pertanggungjawaban pidana yang dikenakan atau dibebankan kepada PT. SAFANA MITRA UTAMA yang secara sah terbukti melanggar ketentuan pidana. Dalam hal ini PT. SAFANA MITRA UTAMA telah melakukan penempatan CTKI/TKI tanpa disertai dokumen yang sah, yaitu : (i). Surat keterangan izin suami/istri, izin orang tua, atau izin wali, (ii). Perjanjian penempatan TKI, (iii). Perjanjian penempatan kerja. Sehingga akan berdampak bahwa TKI tidak memiliki kekuatan hukum apabila dikemudian hari terjadi tindakan yang tidak diinginkan.
Didalam pasal ini 103 UU No. 39 Tahun 2004 sanksi hukum yang dikenakan atau dibebankan kepada pelaku adalah : “dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), setiap orangnya”.
Memperhatikan dan sekaligus mempelajari kasus diatas maka dapat kita lihat bahwa Perbuatan PT. SAFANA MITRA UTAMA dapat digolongkan sebagai perbuatan menempatkan calon TKI (CTKI) pada pekerjaan tanpa dokumen sah yang merupakan tindak pidana kejahatan sebagaimana diatur Pasal 103 ayat 1 (satu) huruf f jo. pasal 51 UU PPTKILN.
Pada contoh kasus diatas, PT. SAFANA MITRA UTAMA dapat dikatakan telah dengan sengaja atau dengan sadar melakukan tindak pidana kejahatan, yang dalam hal ini merupakan tindak kejahatan yang telah diatur ketentuan pidananya didalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2004. Jadi sangat jelas mengenai perumusan pidananya, sehingga apabila terdapat indikasi terjadinya pelanggaran tindak pidana serupa atau sebaliknya, maka beban pertanggungjawaban pidananya sudah sangat jelas dan kepada pelaku delik pidana dapat dikenakan sanksi hukuman yang telah ditetapkan pada ketentuan pidana
Di samping itu PPTKIS atau PJTKI (PT. SAFANA MITRA UTAMA) selaku “orang” atau subjek hukum badan hukum yang berbentuk korporasi ternyata diakui oleh UU PPTKILN sebagai pelaku pidana yang dapat dijatuhi hukuman pidana. [50] Masalah badan hukum korporasi sebagai subjek tindak pidana telah menimbulkan persoalan dalam hukum pidana karena berhubungan dengan pembebanan tanggungjawab pidana yang menyimpang dari Asas Kesalahan. [51]
Jadi untuk konsep pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada perbuatan pidana pada bab ketentuan pidana UU No. 39 Tahun 2004 memiliki fungsi dan manfaat yang cukup besar, yang dalam hukum Islam hal tersebut memiliki suatu nilai kemashlahatan umat atau mendatangkan kemaslahatan serta menghindari kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan :
Sehingga dapat menjaga tatanan kemasyarakatan, atau kepercayaan-kepercayaan atau harta benda, nama baik, kehormatan, jiwa dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu menurut hukum syara’ harus dipelihara, dihormati serta dilindungi dan menjaga kepentingan dan ketentraman masyarakat, melindungi atau memberi perlindungan terhadap nilai agama (hifdzul dien), memberi perlindungan terhadap akal (hifdzul aql), memberi perlindungan terhadap harta (hifdzul maal), memberi perlindungan terhadap keturunan (hifdzul nasl) dan yang terakhir memberi perlindungan terhadap kehormatan (hifdzul ‘ ird). Sehingga tercipta kondisi masyarakat madani sebagai pondasi kehidupan Negara, sehingga Negara menjadi bangsa yang bermartabat, dan bermoral.

DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, cet. II, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005.
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cet. 1.Bandung : PT. Citra Aditya Bakti , 1996
Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, cet. 1. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti , 2003
Arief, Barda Nawawi. Perbandingan Hukum Pidana, cet. II, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1994
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan terjemahannya. Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah, Penafsiran Al-Qur’an, 1984.

Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Adjaran Ahlus Sunnah, cet. I, Jakarta : Bulan
Bintang, 1976
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. III, Jakarta : Bulan Bintang, 1967
Khalaf, Abd al-Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir Dar al-Qalam, 1998
Kodir, Faqihuddin Abdul. Fiqih Anti Trafiking, Cet. I. Cirebon : Fahmina Institute, 2006
Mudjib, Abdul, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh (Al-qowa’idul Fiqhhiyah), cet. I. Jakarta : Kalam Mulia, 1994
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, cet. 1. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995
Munajat, Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. I. Yogyakarta : Logung Pustaka, 2004
Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), cet. I, Jakarta : Sinar Grafika, 2004
Prasetyo, Teguh dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), cet. III. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005
Priyanto, Dwidja. Kebijakan Legislasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Cet. I, Bandung: CV Utomo, 2004
Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana, Cet. IV, Bandung: Alumni, 1986
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1981
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, cet. IV, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000

Catatan Kaki:
[1] Salah satu Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Angkatan Pertama (2009/2010)

[2] Penulis adalah mahasiswa Jinayah Siyasah UIN Sunan Kalijaga aktif di Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) DPC. Yogyakarta.

[3] Baca Pejelasan Umum UU PPTKILN; lihat juga “UU PPTKILN Mencegah Penempatan TKI Ilegal,” http://www.nakertrans. go.id/newsdetail.php?id=194, akses 8 Januari 2008.

[4] Ibid.

[5] “Pemerintah Hanya Jadikan TKI Sebagai Komoditas,” http://www. eramoslem.com/br/fo/48/12377,1,v. html, akses 8 Januari 2008.

[6] Komnas HAM, “Hak Asasi Buruh Migran Indonesia,” http://www. Tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/06/17/nrs,20040617-07,id.html, akses 8 Januari 2008; “Depnakertrans Bantah RUU Perlindungan TKI Mengukuhkan Trafficking,” http://www.tempointeraktif.com /hg/nasional/2004/09/17/brk, 20040917-31,id.html, akses 26 Nopember 2006.

[7] “Penempatan TKI Masih dengan Paradigma Komoditas,” Kedaulatan Rakyat, No. 353 , Th. LXII, (Minggu, 30 September 2007), hlm. 11.

[8] “Membangun Negeri dengan Keringat TKI,” Kedaulatan Rakyat, No. 319, Th. LXII, (Senin, 27 Agustus 2007), Komnas Perempuan dkk, Sia-sia Reformasi Dibelenggu Birokrasi. Catatan Hasil Pemantauan Awal Terhadap INPRES No. 6 Tahun 2006, , akses 13 Desember 2007, hlm. 16

[9] “Human Rights Council untuk Penegakan Hak Asasi Buruh Migran,” http://buruhmigranberdaulat.blogspot.com/2006/05/human-rights-council-untuk-penegakan.html, akses 8 Januari 2008.
“Penempatan TKI Masih dengan Paradigma Komoditas,” Kedaulatan Rakyat, No. 353, Th. LXII, (Minggu, 30 September 2007), hlm. 11.

[10] “Kebijakan hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik”. Lihat Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cet. Ke-I (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti , 1996), hlm. 27-28.

[11] Kebijakan hukum pidana mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana material, di bidang hukum pidana formal dan di bidang hukum pelaksanaan pidana. Lihat Ibid, hlm. 30.

[12] Ada 3 masalah pokok dalam bidang hukum pidana materil yaitu perumusan perbuatan yang dilarang (kriminalisasi), pertanggungjawaban pidana (kesalahan), dan sanksi yang diancamkan. Lihat Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, cet. Ke-I (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 50.

[13] “Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi, pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari “kebijakan hukum pidana” (penal policy). Lihat Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, cet. Ke-I (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti , 2003), hlm. 240.

[14] Pada prinsipnya pertanggungjawaban pidana didasarkan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” yang dikenal dengan Asas Kesalahan. Artinya, pelaku pidana dapat dipidana bila melakukan perbuatan pidana yang dilandasi sikap batin yang salah / jahat. Namun dalam perkembangannya ada pula pertanggungjawaban pidana yang menyimpang dari Asas Kesalahan. Lihat Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, cet. Ke-I (Bandung : Penerbit CV. Utomo, 2004), hlm. 50.

[15] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, cet. Ke- IV (Bandung : Alumni, 1986), hlm. 31-32.

[16] ibid. Hlm. 151.

[17] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1981), hlm. 113-114, lihat juga dalam Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung, Alumni, 1981), hlm. 161, lihat juga lihat juga dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 1.

[18] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, cet. Ke-I (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 240.

[19] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, cet. Ke-II (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 57.

[20] Baca UU NO. 39 Tahun 2004 Bab XIII mengenai Ketentuan Pidana Pasal 102, 103, 104.

[21] Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Adjaran Ahlus Sunnah, cet. Ke-I (Jakarta : Bulan Bintang, 1971), hlm. 66. Lihat juga Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. Ke-I (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2004), hlm. 10.

[22] Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. Ke-I (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2004), hlm. 11.

[23] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Jakarta : Alumni, 1977), hlm. 44-48. Lihat juga, Teguh Prasetyo, Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan dekriminalisasi), cet. Ke-II (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 40-41.

[24] Teguh Prasetyo, Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan dekriminalisasi), cet. Ke-II (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 42.

[25] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Jakarta : Alumni, 1977), hlm. 45-50. Lihat juga, Teguh Prasetyo, Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan dekriminalisasi), cet. Ke-II (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 42-43.

[26] Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. Ke-I (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2004), hlm. 5.

[27] Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh (Al-qowa’idul Fiqhiyyah), cet. Ke-I (Jakarta : Kalam Mulia, 1994), hlm. 9.

[28] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), cet. Ke-I (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hlm. 14.

[29] Abd al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Mesir Dar al-Qalam, 1998), hlm. 198.

[30] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), cet. Ke-I (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hlm. 14.

[31] Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. Ke-I (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2004), hlm. 8.

[32] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, cet. Ke-I (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 50.

[33] Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, cet. Ke-I (Bandung : Penerbit CV. Utomo, 2004), hlm. 50.

[34] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, cet. Ke-VI (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 480-481.

[35] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-III (Jakarta : Bulan Bintang, 1967), hlm. 154.

[36] Al-Muddatstsir (74) : 38.

[37] Al-An’am (6) : 164.

[38] Faathir (35) : 18.

[39] Az-Zumar (39) : 7.

[40] Al-Najm (53) : 38.

[41] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-III (Jakarta : Bulan Bintang, 1967), hlm. 154.

[42] Faqihuddin Abdul Kodir, Fiqh Anti Trafiking, cet. Ke-I (Cirebon : fahmina-institute, 2006), hlm. 151.

[43] Ibid.. hlm. 156 – 157. Dalam buku tersebut tertulis Pasal 102 UU PPTKILN; semestinya yang benar adalah Pasal 103 ayat (1) huruf f UU PPTKILN. Namun, teman Imran dapat juga dijerat dengan Pasal 102 ayat (1) huruf a UU PPTKILN karena teman Imran selaku orang perseorangan telah melakukan penempatan TKI yang tergolong perbuatan terlarang sebagaimana dimaksud Pasal 4 UU PPTKILN.

[44] Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, cet. Ke-II (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 28.

[45] Pasal 1 angka 15 UU PPTKILN menyebutkan bahwa yang dimaksud orang dalam UU PPTKILN adalah pihak orang perseorangan atau badan hukum.

[46] Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, cet. 1 (Bandung : Penerbit CV. Utomo, 2004), hlm. 6; Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, cet. 1 (Bandung : Penerbit Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1991), hlm. 55.

[47] Data diperoleh dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Divisi Penelitian dan Pengembangan (Yogyakarta, 2008) yang kemudian dianalisa oleh penulis.

[48] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-III (Jakarta : Bulan Bintang, 1967), hlm. 154.

[49] Baca Ketentuan Pidana UU No. 39 Tahun 2004, pasal 103 ayat 1 (satu) huruf f jo. Pasal 51 menjelaskan : Menempatkan calon TKI/TKI tidak memiliki dokumen yang meliputi : (i) Kartu Tanda Penduduk, ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran, atau surat keterangan kenal lahir, (ii). Surat keterangan status perkawinan, bagi yang telah menikah melampirkan copy buku nikah, (iii). Surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali, (iv). Sertifikat Kompetensi Kerja, (v). Surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi, (vi). Paspor yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat, (vii). Visa kerja, (viii). Perjanjian penempatan TKI, (ix). Perjanjian penempatan kerja, (x). KTKLN (Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri). Pasal 103 jo pasal 51 UU PPTKILN.

[50] Pasal 1 angka 15 UU PPTKILN menyebutkan bahwa yang dimaksud orang dalam UU PPTKILN adalah pihak orang perseorangan atau badan hukum.

[51] Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, cet. Ke-I (Bandung : Penerbit CV. Utomo, 2004), hlm. 6; Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, cet. Ke-I (Bandung : Penerbit Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1991), hlm. 55.