expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Senin, 02 Agustus 2010

REFLEKSI GERAKAN MAHASISWA SETELAH 12 TAHUN REFORMASI

By Harris Kristiawan (Admin FMHI)

SK Mendikbud 1978 yang melarang kegiatan politik dikampus serta
dikeluarkan peraturan tentang Normalisasi Kehidupan Kampus / Badan
Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang kegiatan politik mahasiswa
terpasung oleh peraturan tersebut. Implikais dikeluarkanya peraturan
tersebut yaitu dibekukan senat mahasiswa. Tugas mahasiswa hanya
difokuskan pada aktifitas keilmuan. Peraturan yang diserta sanksi
tersebut membuat kegiatan dan dinamika kehidupan kampus menjadi
terpasung. Jika berbicara tentang politik didalam ruang kuliah, meraka
menjadi khawatir ditangkap oleh aparat intel.

Tetapi dalam perkembangannya, defenisi politik praktis itu menjadi
semu dan tidak jelas batasnya. Menurut Prof. Dr. Retmono, politik
sebagai sebuah representasi dan mewakili aspirasi rakyat tidak salah
jika juga digelorakan oleh warga kampus
Politik kampus mengusung dua misi, pertama gerakan moral sebagai
patron gerakan moral dan gerakan politik sebagai pengejewantahan.
Gerakan moral adalah gerakan politik mahasiswa diluar mainstream elit
politik dimana mereka akan menyuarakan sesuatu yang tidak benar dan
tidak perlu menunggu order dari elit politik. Sedangkan gerakan
politik dimaknai sebagai sebuah upaya untuk mengarahkan pada kekuatan
yang baik.

Menurut Arbi Sanit, ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka
dengan permasalahan kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk
melakukan perubahan. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang
memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas
untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat. Kedua,
sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan,
mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di
antara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup
unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka.
Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas
susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan
tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok elit di
kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam
pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat,
memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke
jenjang karier.

Seiring berjalannya waktu, mahasiswa tak jarang mengisi waktu dengan
mendirikan komunitas-komunitas kecil dan kelompok-kelompok studi
dikampus. Banyak pula yang bergabung dengan LSM-LSM tertentu. Gerakan
bawah tanah semakin menemukan bentuk menjelang tahun 1997 yang
ditandai dengan semakin seringnya mahasiswa melakukan demontrasi dan
puncaknya adalah pendudukan gedung MPR/DPR pada mei 1998.

Menjelang akhir tahun 1997 saat Indonesia dilanda krisis moneter dan
diikuti dengan berbagai krisis lainnya, para aktivis mahasiswa semakin
memantapkan posisinya untuk melakukan gerakan menuntut Soeharto
mundur. Pada saat itu, muncul banyak sekali elemen-elemen aksi
mahasiswa yang bersifat instan dengan mengusung warna ideologi
masing-masing. Namun, satu hal yang mempersatukan mereka adalah
keinginan bersama untuk menjatuhkan rejim totaliter Soeharto. Didukung
oleh berbagai demonstrasi besar-besaran di berbagai kota di tanah air,
gerakan ini kemudian mengkristal menjadi gerakan massa. Sayangnya,
gerakan massa rakyat tersebut diwarnai dengan berbagai kerusuhan,
terutama di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, yang justru
mencoreng citra gerakan mahasiswa itu sendiri. Walaupun demikian,
tekanan perubahan yang dahsyat pada waktu itu memaksa Soeharto
mengundurkan diri dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998. Di sinilah
mahasiswa bersama elemen masyarakat lainnya berperan sangat sentral
dalam menggulingkan rejim Orde Baru.

Kalau pada tahun 1966 mahasiswa bekerjasama dengan militer dalam
menggulingkan Orde Lama, maka pada tahun 1998 mahasiswa justru
menjadikan militer sebagai musuh bersama (common enemy) yang dianggap
anti reformasi. Demikianlah, momentum perubahan politik nasional pada
1998 yang terkenal dengan istilah “gerakan reformasi” tidak serta
merta membawa perubahan yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat.
Setelah empat tahun rejim Soeharto dijatuhkan, kemudian berturut-turut
penguasa berganti dari Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati
Soekarnoputri, dan kini Susilo Bambang Yudoyono perubahan yang sejak
awal dicita-citakan mahasiswa belum banyak memenuhi harapan. Disisi
lain perlu kita akui juga bahwa penegakan hukum sudah ada mulai
terlihat perubahan yang nyata terutama dalam memberantas korupsi, hal
ini dapat kita lihat dengan tindakan yang dilakukan oleh KPK dengan
menindak para pelaku korupsi dari kalangan anggota DPR dan tindak
korupsi lainnya. Walaupun masih ada agenda reformasi yang belum
tuntas, maka sinilah peran gerakan mahasiswa era selanjutnya harus
dimainkan, yakni menuntaskan berbagai agenda reformasi yang belum
berjalan.
Lantas, bagaimana gerakan mahasiswa Indonesia ke depan? Apakah mereka
akan menemukan bentuknya yang relevan, atau justru kembali pada
pengulangan sejarah dalam ketidakberdayaannya? Kalau kita melihat
kondisi ril sejak reformasi 1998, gerakan mahasiswa cenderung tidak
jelas. Keberhasilan gerakan tahun 1998 tidak serta merta memberikan
dinamika positif pada gerakan mahasiswa selanjutnya secara
keseluruhan. Ternyata, depolitisasi Orde baru masih tersimpan dalam
alam bawah sadar mahasiswa dan masyarakat kita hingga kini. Sehingga
pembinaan mahasiswa di lembaga intra kampus pun belum berubah dan
beranjak maju. Dengan kata lain, masih seperti dulu pada jaman
NKK/BKK. Lemahnya proses ideologisasi dan hanya ditopang oleh semangat
euforia sesaat, menyebabkan gerakan tahun 1998 hanya menemukan
momentumnya yang sementara, dan kemudian redup.

Walaupun demikian, gerakan mahasiswa tidak boleh berhenti, sebelum
perubahan masyarakat seperti yang dicita-citakan terwujud. Generasi
boleh berganti, tapi semangat, cita-cita dan idealisme gerakan tidak
boleh redup

BELAJAR DARI TUKIJAN ( SEBUAH PERUMPAMAAN ) DALAM REALITAS

Tukijan seorang mahasiswa semester 1, berpenampilan sederhana, suka
berorganisasi semasa SLTA, sangat kritis terhadap kebijakan dosen yang
tidak disiplin di kampus tempat ia menimba ilmu.


Waktu perkuliahan dimulai, sekitar pukul 09.30 wib, dosen membuka
salam didepan kelas, selesai dosen membuka salam, Tukijan angkat
tangan dan mengatakan pada dosenya, Maaf buk, seperti komitmen kita
diawal perkuliahan, waktu ibuk memperkenalkan diri dan membuat aturan,
bahwa 10 menit mahasiswa terlambat masuk kelas dari jadwal yang telah
tertera di silabus, maka mahasiswa yang bersangkutan tidak dibenarkan
mengikuti perkuliahan dan 3 kali mahasiswa tersebut tidak mengkikuti
perkuliahan dengan mata kuliah yang sama, maka mahasiswa tersebut
tidak dibolehkan mengikuti ujian, meskipun itu kebijakan sepihak,
karena ibu memiliki otoritas sebagai dosen, maka kebijakan itu wajib
kami terima.

Apa yang kami dapatkan sekarang, ibuk terlambat datang 1 jam tanpa
keterangan dan kami sudah gelisah menunggu, sehingga muncul
pertanyaan, Apakah aturan itu bisa diberlakukan pula sama ibuk? kami
minta diganti dengan dosen yang lain untuk mata perkuliahan ini,
sebagai sanksi dari pelanggaran ketidak disiplinan ibuk. Sebagai
dosen, ibuk adalah role model bagi kami, ibuk seharusnya memberikan
teladan yang baik dikampus ini.

Mohon maaf buk, bangsa kita ini tertinggal oleh jepang, cina dan
singapura, karena tidak menghargai waktu dan pemimpin kita tidak
komitmen dengan kebijakan yang telah mereka buat. Jika ibuk seorang
intelektual yang bijaksana, maka ibuk tidak akan marah mendengar
kritikan saya, tetapi ibuk akan mengoreksi diri tentang aturan main
yang telah ibuk buat.

Kasus diatas, hanya segelintir tentang bentuk ketidak disiplinan yang
ada dilingkungan kampus, tempat calon intelektual dicetak. Menyimak
apa yang terjadi dinegara ini, mencerminkan keamburadulan sistem yang
dimulai dari lapisan dunia pendidikan. Mahasiswa sebagai penerus
generasi bangsa, secara tidak langsung telah terpapar dengan ketidak
disiplinan dari pendidik mereka.

Implikasi dari ketidak disiplinan seorang dosen terhadap waktu, telah
memberikan pembelajaran negatif kepada mahasiswanya, ketika mahasiswa
tersebut telah bekerja atau berada dilingkungan masyarakat maka tidak
akan risih atau merasa bersalah dengan keterlambatan datang saat
rapat, lambat datang saat bekerja dan lambat datang saat pertemuan
dengan jadwal yang telah disepakati, sebab dibenak mereka janji dan
komitmen hanya sebatas wacana yang tidak perlu ditanggapi serius.

Sebagai penerus cita-cita pejuang bangsa yang telah gugur, maka
mahasiswa jangan hanya diam atas ketidak disiplinan, aturan buat
disepakati bersama, bukan hanya berlaku pada kaum yang tertindas dan
lemah, tetapi untuk semua yang tercakup dalam kebijakan tersebut. Kita
memiliki azas demokrasi, bebas mengemukakan pendapat, untuk itu
tanamkanlah sikap kritis seperti Tukijan demi perubahan yang lebih
baik dimasa yang akan datang.

GERAKAN MAHASISWA DALAM MANUVER BORJUISME

By Harris Kristiawan (Admin FMHI)

Melenyapkan kejahatan adalah awal dari kebajikan, dan menyingkirkan
kebodohan adalah awal dari kebijaksanaan. (Gerard M Hopkins)

Mencermati perjalanan reformasi seiring dengan proses transformasi
kepemimpinan nasional, ada beberapa hal yang patut disimak. Berbagai
hal kegiatan yang berbau politik muncul dipermukaan, dari yang serius
bahkan sampai yang bersifat dagelan muncul tanpa ada rem cakram
pencegahnya alias blong.

Perubahan dan guliran konstelasi politik sedemikian cepat meninggalkan
stasiun per stasiun, di mulai sidang umum dengan terpilihnya presiden
baru Gus Dur sampai kemudian mengalami eskalasi kepada
terselenggaranya Sidang tahunan MPR. Reformasi total yang dulu
digembar-gemborkan oleh mahasiswa dan bahkan telah sempat untuk
membangunkan kesadaran rakyat pada kesadaran riil kini mulai mengalami
pembiasan.

Masih bertenggernya Golkar di puncak kekuasaan dengan “paradigma baru”
sebagai iklan pariwara utamanya, semakin mengukuhkan pendapat
bahwasanya reformasi yang ada sekarang adalah reformasi milik
kekuasaan dan kata yang sempat sangar sampai bikin antek ORBA merasa
kiamat kini telah berganti menjadi “Repotnasi”.

Keadaan makin diperparah dengan munculnya badut-badut reformasi yang
dengan congkaknya mengaku bapak reformasi tapi perilaku politiknya
jauh melenceng dari cita-cita reformasi yang sebenarnya. Sidang
tahunan yang digelar MPR pun pada akhirnya tak lebih menghasilkan
putusan-putusan yang sangat tidak substansional, sehingga muncullah
istilah Sidang Tahunan MPR tak lebih sebagai politik dagang sapi atau
bahasa kerennya disebut koe-handel.

Sidang Tahunan inipun justru makin memperparah kondisi politik
nasional, bukannya mendapatkan solusi yang lebih tepat untuk jalan
keluar bangsa inidari krisis multi dimensional tapi ternyata malah
menambah masalah baru. Terbukti dengan munculnya desakan dari salah
satu fraksi yang menginginkan dimasukannya 7 (tujuh) kalimat dari
piagam Jakarta, ditundanya penghapusan keberadaan TNI/POLRI di “gedung
terhormat” sampai tahun 2009. Ini menandakan bahwasanya elit politik
negeri ini belum siap untuk menuju Indonesia Baru atau lebih tepatnya
masih senang berkubang dengan Indonesia keparat.

Permainan ketoprak humor para politisi ini mulai membingungkan rakyat
bahkan cenderung membawa rakyat kepada keputusasaan sosial. Ekonomi
yang morat-marit makin membawa rakyat menuju kearah ketidakpecayaan
mereka terhadap perjalanan reformasi.

Gerakan-gerakan rakyat terutama yang dilakukan mahasiswapun
seakan-akan mulai mengalami frustasi politik. Gerakan mahasiswa yang
pada masa 1998 dalam upaya penggulingan diktaktor Soeharto begitu
hebatnya perlahan mulai menyurut seiring dengan tekanan dan strategi
elit politik yang makin hari makin melakukan tingtank ala petinju ”
job and run”.

Hanya beberapa kota dan organ gerakan prodemokrasi yang masih menjaga
stamina perlawanan. Gerakan aksi massa yang dulu sangat masif kini
makin menyusut, dan ini tidak bisa dilepaskan dari perkembangan
konstalasi politik Indonesia.

Efouria reformasi yang melingkupi ruang pemikiran rakyat ternyata
berimbas besar terhadap perkembangan proses perlawanan ini. Di satu
pihak bernilai positif, dimana rakyat mulai berani mengungkapkan
realita ketertindasan namun di pihak lain justru membuka ruang konflik
horisontal yang sangat besar.

Persoalan ini menjadi dilema yang seakan-akan sulit terpecahkan.
Demikian juga dengan gerakan pro demokrasi, sangat sulit untuk
melepaskan diri dari beban mental proses reformasi ini.

Munculnya kekuatan-kekuatan fundamentalis makin menampakan kesangaran
dari sebuah bias reformasi, entah dengan sebuah kepentingan murni
ataukah karena hanya karena kepentingan kelompoknya atau mungkin ini
adalah bagian yang tidak bisa terpisahkan dari strategi kekuatan pro
status quo dalam upaya pengalihan tuntutan reformasi yang sejati.

Kejadian dalam beberapa waktu yang lalu termasuk berbagai aksi teror
dan kekerasan adalah wujud dari sebuah masa peralihan dimana antara
kekuatan “pelestari” kekuasaan berimbang bahkan cenderung melebihi
kekuatan pembaharu,dan terbukti sangat efektif sekali untuk
mengendapkan tuntutan real refomasi.

Bisa dilihat bahwa tuntutan bubarkan GOLKAR, cabut dwi fungsi
TNI/POLRI, pengadilan dan nasionalisasi aset-aset kekayaan Soeharto
dan kroni-kroninya , pendidikan murah dan lain-lain menjadi terlupakan
dan tertutupi oleh isu-isu teror dan kekerasan.

Semua peristiwa yang ada menjadikan daya gerak dan daya dobrak kaum
pergerakan menjadi makin keblinger.

MAU KEMANA GERAKAN MAHASISWA?

Pertanyaan yang sekiranya adalah pertanyaan yang tidak terlalu
membutuhkan jawaban teoritis namun justru membutuhkan kerja praktis
dan kongkrit.

Posisi dilematis yang dihadapi oleh kalangan gerakan pro demokasi
terutama oleh gerakan mahasiswa memang sedang dalam keadaan yang
menyedihkan. Perubahan konstalasi politik yang berjalan hampir setiap
sepersekian detik, sangat mempengaruhi kajian dan analisa dari gerakan
mahasiswa dan secara tidak langsung hal ini sangat mempengaruhi
kinerja dari gerakan mahasiswa.

Keinginan untuk secepatnya mewujudkan tujuan reformasi yaitu Indonesia
baru seakan-akan menjadi bumerang dalam proses gerak juangnya,
ketidaksiapan rakyat Indonesia menghadapi revolusi adalah menjadi
kendala utama gerakan mahasiswa untuk menuntaskan reformasi total ini.

Terjepitnya perekonomian rakyat malah justru menjadikan mereka mulai
merindukan masa-masa “keindahan” ORBA, dan ini yang sebenarnya harus
diwaspadai oleh seluruh elemen gerakan pro demokrasi apalagi sekarang
negara ini sedang ada dibawah rezim populis yang mau tidak mau harus
membuat gerakan pro demokrasi terutama gerakan mahasiswa untuk mulai
berhati-hati dalam memainkan strategi taktis aksi.

Terus, apa yang harus dilakukan oleh gerakan mahasiswa di tengah
kancah permainan dan manuver borjuasi nasional ini?

1. KEMBALI KE SEKTOR RAKYAT

Tentunya akan ada pertanyaan lanjutan dari pernyataan ini. Diakui atau
tidak bahwasanya rakyatlah yang paling berperan dalam proses perubahan
bangsa ini, gerakan untuk kembali ke rakyat harus dimulai dalam upaya
untuk membangun kesadaran politik di kalangan msyarakat bawah.

“Tidak akan pernah ada revolusi yang berhasil tanpa disertai oleh
massa yang sadar” (Soekarno), pernyataan dari mantan revolusioner ini
seharus dicamkan oleh kalangan gerakan mahasiswa jika ingin mewujudkan
perubahan yang sejati.

Penyadaran itu dapat dimulai dengan mengadakan
pendampingan-pendampingan pada daerah berkasus, dan ini sangat
signifikan untuk dilakukan karena pada dasarnya jiwa perlawanan ada
pada manusia yang mengalami penindasan secara langsung.

Namun perlu ditegaskan disini, pendampingan sekaligus penyadaran
politik bukan berarti datang dan terus menjadi malaikat. Kesadaran
yang dibangun bukan dengan memberikan pendidikan sistematis ataupun
pendidian gaya bank, dimana masyarakat hanya menerima dan dijejali
dengan teori tertentu sebagai upaya penyadaran hak sebagai warga
negara, namun yang lebih mendasar adalah memberikan penyadaran tentang
hak mereka dan selanjutnya menempatkan masyarakat ini sebagai subyek
dari proses pendidikan ini.

Pendidikan ini dikatakan berhasil apabila masyarakat sudah bisa
melepaskan diri dari sikap fatalismenya dan mempunyai mobilitas yang
tinggi serta secara aktif terlibat dalam sistem politik.

Penumbuhan kesadaran ini sangat efektif untuk mencegah terjadinya
bahaya laten kerinduan terhadap Orde Baru. Pada akhirnya pendidikan
ini berupaya untuk membuat rakyat memiliki Goldman, “kesadaran riil
melalui kesadaran yang sangat memungkinkan (real consciuosness through
maximal possibble consciuosness, Paulo Freire) yang merupakan inti dan
dasar dari sebuah revolusi.

2. “KEMBALI” KE KAMPUS

Bukan berarti bahwa gerakan kembali ke kampus disini sama dengan
gerakan NKK/BKK, tapi harus ada penilaian dan sebuah refleksi yang
sangat obyektif dalam memandang arah dan pola gerakan mahasiswa.
Berkaca dari gerakan mahasiswa di daratan Eropa dan Amerika Latin
tahun 60-an, dimana sebagian besar gerakan rakyat tumbuh dari
akumulasi gerakan / gejolak didalam kampus. Ini seharusnya menjadi
acuan yang sangat mendasar bagi pola gerakan di negara ketiga
khususnya Indonesia.

“Kembali” ke kampus bukan berarti mahasiswa untuk seterusnya menjadi
kutu buku, namun gerakan ini harus mulai membangun kekuatan untuk
sebuah revolusi pendidikan. Mau tidak mau harus diakui bahwa
menyurutnya gerakan mahasiswa juga akibat dari sistem pendidikan
Indonesia yang sangat menindas.

Keputusan “laknat” Daoed Joesoef dengan SK NKK/BKK nya mepunyai
implikasi yang sangat besar bagi perkembangan gerakan mahasiswa.
Pemandulan mahasiswa dengan sistem SKS, DO, absensi 75 persen terbukti
efektif, sehingga sampai sekarang mahasiswa seakan-akan telah
kehilangan “sense of sosial” nya dan hak politiknya.

Kondisi ini yang sekarang harus mulai di dobrak oleh kalangan pro
demokrasi, dan ini telah dilakukan oleh sebagian besar kampus di
Indonesia, namun semua ini barulah pada tahapan permukaan belum pada
tataran yang lebih substansional.

Penyadaran tentang hak politik mahasiswa dan pemahaman tentang
penindasan negara melalui sistem pendidikan harus mulai diinjeksikan
kepada kalangan grass root mahasiswa sebagai upaya membangun kekuatan
dan konsolidasi menghadapi manuver kaum borjuasi nasional. Sehingga
dalam kurun beberapa waktu maka tidak lagi hanya ada segelintir
aktifis mahasiswa tetapi akan tumbuh ratusan bahkan ribuan mahasiswa
yang siap untuk revolusi.

Dua hal ini sekiranya yang harus dilakukan oleh gerakan mahasiswa
ditengah permainan elit politik sekarang ini. Dengan mempertimbangkan
situasi nasional dan psikologis rakyat yang sudah mulai jenuh dengan
perjalanan reformasi total yang belum tuntas, sudah seharusnya gerakan
mahasiswa mengubah pola gerak yang ada, namun tetap harus disesuaikan
dengan kondisi tiap daerah tertentu.

Kondisi geografis Indonesia yang sebagian besar dibatasi oleh lautan
tidak memungkinkan melakukan gerakan seperti mahasiswa di belahan
Amerika Latin dan Eropa dengan pola bola saljunya.

Tapi keterbangunan common enemy dikalangan gerakan mahasiswa terutama
di kalangan gerakan mahasiswa yang radikal sudah semestinya dilakukan
untuk sebuah gerakan yang masif. Dengan melakukan penyadaran di kedua
sektor ini maka suatu saat dalam sebuah momentum politik yang tepat,
maka diyakini akan timbul sebuah perlawanan dari rakyat yang sadar.

Dan pola ini bukan berarti meninggalkan tuntutan reformasi tetapi
justru menjadi entry point yang sangat kuat untuk melangkah kepada
tuntutan itu dengan meminimalisir ketakutan rakyat akibat kesadaran
politik yang semu dari negara .

Membangun kekuatan dan mengantisipasi kerinduan terhadap Soeharto
hanyalah bisa dilakukan dengan pendidikan secara langsung, dimana
rakyat melakukan perlawanan bukan atas dasar ajakan tetapi lebih
karena sadar akan adanya ketertindasan. Educacao como practica da
liberdade (Paulo Freire), pendidikan adalah sebagai praktik pembebasan
keyakinan akan massa yang sadar dan keyakinan akan sebuah pendidikan
pembebasan, maka sudah seharusnya gerakan mahasiswa tidak ragu-ragu
lagi dengan gerakan penyadaran dan pengorganisiran massa.