expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Senin, 12 April 2010

HUKUM TENAGA KERJA INDONESIA

KETENTUAN PIDANA DI DALAM UU NO. 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TKI DI LUAR NEGERI (UU PPTKILN) PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


By M. Jamil [1]
Oleh : Marhendra Handoko[2]

ABSTRAKSI
Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindugan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri (UU PPTKILN) yang disetujui dalam sidang paripurna DPR-RI tanggal 24 September 2004 telah berlaku sejak tanggal ditandatangani oleh presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 18 Oktober 2004 dan dimuat dalam Lembaran Negara tahun 2004 No. 133 dan tambahan lembaran No. 4445. Dengan berlakunya UU PPTKILN juga merupakan langkah prestatif yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang (legislator), mengingat sejak Indonesia merdeka baru pertama kali Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Permasalahan penempatan TKI di luar negeri merupakan masalah yang cukup krusial, terutama masalah penempatan TKI ke luar negeri secara illegal atau permasalahan perdagangan manusia (trafficking) pada saat proses penempatan TKI di luar negeri. Hal ini yang melatarbelakangi munculnya UU No. 39 Tahun 2004, dengan harapan agar proses penempatan TKI di luar negeri memiliki payung hukum dan memberi kekuatan hukum para TKI, agar kemudian para pahlawan devisa (sebutan untuk TKI) mampu menuntut hak jikalau dikemudian hari terjadi permasalahan antara TKI dengan user (pemakai jasa TKI atau perusahaan yang mempekerjakan TKI). Permasalahan kebijakan kriminalisasi dan pertanggungjawaban pidana dalam UU No. 39 Tahun 2004, bahwasanya hukum Islam memandang tinggi sebuah nilai kemaslahatan umat, yang dalam hal ini sudah dengan baik di intepretasikan dalam redaksional undang-undang tersebut sehingga penerapan kebijakan kriminalisasi dan pertanggungjawaban pidan sudah sesuai dengan nilai-nilai yang dianut di dalam hukum Islam.
Keywords: Kebijakan Kriminalisasi, Pertanggungjawaban Pidana.

I. LATAR BELAKANG MUNCULNYA UNDANG-UNDANG NO. 39 TAHUN 2004
Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar negeri (UU PPTKILN) yang disetujui dalam Sidang Paripurna DPR-RI tanggal 29 September 2004 telah berlaku sejak tanggal ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 18 Oktober 2004 dan dimuat dalam lembaran Negara Tahun 2004 No.133 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4445.
Kehadiran UU PPTKILN merupakan kebutuhan mendesak, mengingat dengan semakin meningkatnya tenaga kerja yang ingin bekerja di luar negeri dan banyaknya TKI yang sekarang bekerja di luar negeri, sejalan dengan itu meningkat pula kasus perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI, baik di dalam maupun di luar negeri. Kasus yang berkaitan dengan nasib TKI semakin beragam, bahkan berkembang kearah perdagangan manusia yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.[3]
Dengan berlakunya UU PPTKILN juga merupakan langkah prestatif yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang (legislator), mengingat sejak Indonesia merdeka baru pertama kali Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Selama ini secara yuridis peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar acuan penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri adalah Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia untuk Melakukan Pekerjaan di luar Indonesia (Staatblad Tahun 1887 No.8) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep. 104A/Men/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri serta peraturan pelaksanaannya. Peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan pengaturan penempatan dan perlindungan TKI yang bekerja di luar negeri secara lengkap dan komprehensif. Pengaturan melalui KepMen-pun ternyata belum dapat mengatasi permasalahan penempatan TKI di luar negeri secara optimal, terutama dalam mencegah penempatan TKI ke luar negeri secara illegal.[4]
Dasar pemikiran mewujudkan undang-undang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, tidak dimaksudkan bahwa pemerintah menganjurkan Warga Negara Indonesia (WNI) untuk bekerja ke luar negeri. Tetapi untuk melindungi warga Negara yang akan bekerja di luar negeri. Selain itu UU PPTKILN ini diharapkan mampu mencegah penempatan Warga Negara Indonesia (WNI) secara illegal yang dalam praktek di lapangan tidak ubahnya sebagai perdagangan manusia (trafficking).
Dengan kata lain, mengingat masalah yang timbul dalam penempatan adalah berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, maka semangat untuk memberikan perlindungan dan pencegahan penempatan WNI dan TKI secara illegal itu diwujudkan dalam pasal-pasal yang memberikan ancaman hukuman pidana yang berat terhadap pelakunya. Di sini nampaknya penyusun undang-undang sengaja memberikan shock terapy agar dengan ancaman hukuman yang tinggi diharapkan terdapat rasa takut dan tidak akan melakukan pelanggaran.
Sejak berbentuk RUU dan setelah diberlakukan ternyata penolakan terhadap keberadaan UU PPTKILN tak kunjung padam. Penolakan dan perlawanan paling keras datang dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menganggap bahwa kebijakan pemerintah dalam RUU PPTKILN memandang TKI alias buruh migran tak lebih sebagai komoditas. [5] Implementasi kebijakan pemerintah masih mengandung semangat diskriminasi dan bahkan kebijakan penempatan buruh migran sudah mengarah pada kebijakan perdagangan manusia (trafficking). [6]
Setelah UU PPTKILN diundangkan penolakan kian marak. Sebab, sebagaimana ditegaskan oleh Wahyu Susilo selaku analis dari LSM Migrant Care, kebijakan penempatan TKI dalam UU PPTKILN lebih mengatur teknis operasional dan administratif dan target pemenuhan devisa negara sehingga mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan. [7] Kebijakan negara adalah dengan memobilisasi pengiriman TKI untuk target perolehan devisa Rp 169 trilyun pada tahun 2009. [8] Karena itu LSM Migrant Care dalam statemennya secara tegas menuntut agar Indonesia menempuh langkah konkrit mencabut UU PPTKILN yang tidak berperspektif penegakan Hak Asasi Manusia. [9]
Dengan demikian terlihat bahwa kebijakan legislasi menggunakan sarana hukum pidana atau kebijakan hukum pidana (criminal law policy/penal policy/politik hukum pidana) [10] dalam UU PPTKILN belum secara optimal mampu diterapkan dan mencegah penempatan TKI secara ilegal atau melalui jalur yang tidak sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang ada. Oleh karena itu adalah menarik dan penting untuk mengkaji ulang tentang kebijakan hukum pidana yang diterapkan dalam UU PPTKILN. Namun mengingat pokok bahasan tentang kebijakan hukum pidana terlalu luas, [11] maka penelitian ini diarahkan pada bidang hukum pidana materil[12] dan difokuskan pada kajian tentang masalah kebijakan kriminalisasi[13] dan pertanggungjawaban pidana[14] dalam UU PPTKILN.
Persoalan kebijakan kriminalisasi dan pertanggungjawaban pidana tersebut kian menarik dan penting jika ditinjau dari Hukum Pidana Islam. Persoalan inilah yang menjadi latar belakang dan daya tarik penulis didalam melakukan penulisan karya ilmiah ini atau melakukan penelitian. Sehingga besar harapan kemudian adalah, penulis mendapatkan saran dan kritikan yang membangun guna menyempurnakan penelitian atau penulisan karya ilmiah ini dan kemudian penulis mampu menyelesaikan nya dengan baik.

II. TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KEBIJAKAN KRIMINALISASI DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DIDALAM UU NO. 39 TAHUN 2004 (UU PPTKILN)
A. Analisis dari segi Kebijakan Kriminalisasi.
Proses penetapan suatu tindakan kriminal (kriminalisasi) tidak begitu saja dilakukan, akan tetapi melewati suatu proses berfikir (berijtihad) yang sistematis dan terarah. Oleh karena itu, tindakan kriminal yang diatur didalam UU No. 39 Tahun 2004 bab ketentuan pidana merupakan hasil yang cukup maksimal guna memenuhi kebutuhan ketentuan hukum yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.
Kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Yang kemudian proses kriminalisasi diakhiri dengan terbentuknya undang-undang dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana. [15] Selain itu juga, kriminalisasi merupakan proses penetapan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana. [16]
Pengertian kebijakan sendiri memiliki tiga arti yang cukup luas, diantaranya kebijakan dalam arti sempit, luas, dan paling luas. Pengertian kebijakan dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana, sedangkan dalam arti luas kebijakan merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. Dalam pengertian yang paling luas, kebijakan merupakan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. [17] Jadi pengertian kebijakan kriminalisasi adalah suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana),” [18] atau kebijakan dalam menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana kejahatan. [19] Jadi, pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari “kebijakan hukum pidana” (penal policy).
Kemudian perbuatan-perbuatan yang dikriminalkan didalam UU No. 39 Tahun 2004 adalah sebagai berikut : pasal 102 :
Ayat 1:
a. Orang perorangan dilarang menempatkan Warga Negara Indonesia (WNI) untuk bekerja diluar negeri (pasal 102 jo pasal 4 UU PPTKILN).
b. Perusahaan yang akan menjadi pelaksana penempatan TKI (pelaksana penempatan TKI swasta) wajib mendapat izin tertulis berupa SIPPTKI (Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia) dari Menteri Ketenagakerjaan (pasal 102 jo pasal 12 UU PPTKILN).
c. Setiap orang dilarang menempatkan calon TKI/TKI pada jabatan dan tempat pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian dan norma kesusilaan serta peraturan perundang-undangan, baik di Indonesia maupun di negara tujuan atau di negara tujuan yang telah dinyatakan tertutup sebagaimana dimaksud dalam pasal 27. Penjelasan 27 sebagai berikut : penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan kenegara tujuan yang pemerintahanya telah membuat perjanjian tertulis dengan pemerintah Republik Indonesia atau ke negara tujuan yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenga kerja asing (pasal 102 jo pasal 27 jo pasal 30 UU PPTKILN).
Didalam pasal 103 dijelaskan :
Ayat 1 :
a. Mengalihkan atau memindahtangankan SIPPTKI (Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia) kepada orang lain (pasal 103 jo pasal 19 UU PPKTILN).
b. Mengalihkan atau memindahtangankan SIP (Surat Izin Pengerahan) kepada pihak lain untuk melakukan perekrutan calon TKI (pasal 103 jo pasal 33 UU PPTKILN).
c. Melakukan perekrutan calon TKI yang tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut : (i). Berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada pengguna perseorangan sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun. (ii). Sehat jasmani dan rohani. (iii). Tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan. (iv). Berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat (pasal 103 jo pasal 35 UU PPTKILN).
d. Menempatkan TKI yang tidak lulus dalam uji kompetensi kerja (pasal 103 jo pasal 45 UU PPTKILN).
e. Menempatkan TKI yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan dan psikologi (pasal 103 jo pasal 50 UU PPTKILN).
f. Menempatkan calon TKI/TKI tidak memiliki dokumen yang meliputi : (i) Kartu Tanda Penduduk, ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran, atau surat keterangan kenal lahir, (ii). Surat keterangan status perkawinan, bagi yang telah menikah melampirkan copy buku nikah, (iii). Surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali, (iv). Sertifikat Kompetensi Kerja, (v). Surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi, (vi). Paspor yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat, (vii). Visa kerja, (viii). Perjanjian penempatan TKI, (ix). Perjanjian penempatan kerja, (x). KTKLN (Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri). Pasal 103 jo pasal 51 UU PPTKILN.
g. Menempatkan TKI di luar negeri tanpa perlindungan program asuransi (pasal 103 jo pasal 68 UU PPTKILN).
h. Memperlakukan calon TKI secara tidak wajar dan tidak manusiawi selama masa di penampungan (pasal 103 jo pasal 70 ayat 3 UU PPTKILN).
Pasal 104 menjelaskan :
Ayat 1 :
a. Menempatkan TKI tidak melalui mitra usaha di negara tujuan (pasal 104 jo pasal 24 UU PPTKILN).
b. Menempatkan TKI di luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri tanpa izin tertulis dari menteri (pasal 104 jo pasal 26 ayat 1 UU PPTKILN).
c. Mempekerjakan calon TKI yang sedang mengikuti pendidikan dan pelatihan (pasal 104 jo pasal 46 UU PPTKILN).
d. Menempatkan TKI di luar negeri yang tidak memiliki KTKLN (Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri). Pasal 104 jo pasal 64 UU PPTKILN.
e. Tidak memberangkatkan TKI ke luar negeri yang telah memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen (pasal 104 jo pasal 67 UU PPTKILN). [20]
Dasar atau kriteria penetapan suatu tindakan atau perbuatan yang dikriminalkan diatas didasarkan pada syarat suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan kriminal, yang dalam hal ini syarat-syaratnya adalah sebagai berikut :
1. Sifat Melawan Hukum (Unsur Formil).
2. Pelakunya, yakni orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut, dapat dipersalahkan/disesalkan atas perbuatannya (Unsur Materiil).
3. Perbuatan yang dilakukan adalah merupakan perbuatan yang oleh hukum dinyatakan perbuatan yang dapat dihukum (Unsur Moril). [21]
Memperhatikan unsur-unsur tindak pidana diatas menurut pendapat Makhrus Munajat, ketiga unsur diatas tidak selamanya terlihat jelas dan terang, namun dikemukakan guna mempermudah dalam mengkaji persoalan-persoalan hukum pidana Islam dari sisi kapan peristiwa pidana terjadi. [22]
Selain itu juga, menentukan suatu tindakan atau perbuatan kedalam perbuatan pidana didasarkan kepada sebuah kriteria, yang dalam hal ini Sudarto berpendapat, dalam menghadapi permasalahan kriminalisasi harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut[23] :
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini (penggunaan) hukum pidana bertujuan menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki,” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau sprituil) atas warga masyarakat.
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle).
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
Selain itu juga, untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindakan kriminal, perlu memperhatikan kriteria umum sebagai berikut[24] :
1. Apakah perbuatan itu tidak sesuai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban.
2. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban, pelaku dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.
3. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya.
4. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa Indonesia sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.
Dalam hal ini juga dipandang perlu melakukan sebuah pendekatan holistik (secara menyeluruh, bersifat secara keseluruhan), yang kemudian tersimpul dalam beberapa kriteria yang patut dipertimbangkan yang diajukan oleh Sudarto[25] dalam menetapkan kriminalisasi, yaitu :
1. Hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan pengurangan terhadap tindakan penaggulangan itu sendiri. Pemahaman dan perwujudan mengenai tujuan hukum pidana ini sangatlah perlu demi tercapainya kesejahteraan masyarakat dan anggota masyarakat secara seimbang.
2. Ukuran untuk menetapkan perbuatan yang tidak dikehendaki atau tidak disukai oleh masyarakat disamping ketercelaan tindakan tersebut juga karena perbuatan itu merugikan atau mendatangkan korban.
3. Harus diperhatikan cost dan benefit principle, artinya usaha untuk mengkriminalisasikan harus seimbang dengan hasilnya.
4. Harus dipertimbangkan apakah kriminalisasi menambah beban dari aparatur penegak hukum sehingga tidak sampai menimbulkan overbelasting (kelampauan beban tugas sehingga peraturan itu menjadi kurang efektif).
Memperhatikan kriteria kriminalisasi diatas maka secara tegas dapat diketahui bahwasanya setiap perbuatan yang merupakan tindak pidana kejahatan akan mengalami suatu pendiskriminasian oleh masyarakat. Tujuan dikriminalkan suatu perbuatan menurut pendapat Makhrus Munajat adalah karena perbuatan itu sangat merugikan kepada tatanan kemasyarakatan, atau kepercayaan-kepercayaan atau harta benda, nama baik, kehormatan, jiwa dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu menurut hukum syara’ harus dipelihara, dihormati serta dilindungi[26]. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh konsep atau kaidah fiqh (Al-qowa’idul Fiqhiyyah) yang dalam hal ini dapat dikaitkan pada kaidah yang pertama[27], yakni :
“segala sesuatu (perbuatan) tergantung pada tujuannya”.
Mengapa dapat dikatakan demikian, karena setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia akan selalu dipengaruhi oleh tujuan, sehingga para pembuat undang-undang (legislator/ulil amri) telah menetapkan suatu kaidah mengenai tujuan mengapa perbuatan tersebut dikriminalkan. Para legislator atau ulil amri dalam hal ini telah menetapkan kriteria, jika dilihat akan sesuai dengan kriteria yang telah dijelaskan di atas.
Penetapan hukum yang dilakukan oleh ulil amri atau mujtahid atau legislator dalam hal perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri mendasarkan pada indikasi setiap perbuatan yang telah dikriminalkan didalam undang-undang tersebut telah memiliki nilai kemudharatan atau akan membawa dampak pada rusaknya tatanan kemasyarakatan, atau kepercayaan-kepercayaan atau harta benda, nama baik, kehormatan, jiwa dan lain sebagainya, serta pada umumnya merugikan kepentingan dan ketentraman masyarakat[28], sehingga para ulil amri telah memiliki kesapakatan didalam ijtihad jamai’, bahwasanya perbuatan yang termuat didalam kriteria perbuatan kriminal diatas dilarang untuk dilakukan oleh perorangan atau pun korporasi, yang dikarenakan telah memiliki sanksi yang cukup berat seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Abdul Wahab Khalaf menjelaskan bahwa tujuan umum disyari’atkan hukum adalah untuk merealisir kemaslahatan umat. [29] Hal ini lah yang menjadi latar belakang ataupun tujuan para mujtahid mengkriminalkan perbuatan yaitu bertujuan untuk menjaga tatanan kemasyarakatan, atau menjaga kepercayaan-kepercayaan atau menjaga harta benda, menjaga nama baik, menjaga kehormatan, menjaga jiwa dan lain sebagainya, serta pada umumnya menjaga kepentingan dan ketentraman masyarakat[30] sehingga tujuan penjatuhan hukuman pun akan tercapai yaitu menjaga akhlak, karena jika akhlak terpelihara maka akan terpelihara juga kesehatan badan, akal, hak milik, jiwa dan ketentraman masyarakat. [31]
Berdasar pada tujuan dikriminalkan suatu perbuatan dan tujuan penjatuhan hukuman, maka dapat kita lihat, bahwasanya ketentuan pidana yang termuat didalam UU No. 39 Tahun 2004 mengenai perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri memberikan suatu penjelasan bahwa antara hukum positif dan hukum Islam masih memiliki keterikatan yang sama, yakni mengenai tujuan hukum dan pada satu sisi hukum positif masih mencari akar pemecahan permasalahannya (problem solver) pada kaidah-kaidah hukum Islam. Hal ini menunjukkan bahwa ditetapkan suatu perbuatan menjadi perbuatan pidana (kriminalisasi) yang termuat didalam UU No. 39 Tahun 2004 memberi manfaat pada konsep hukum Islam, yaitu : melindungi atau memberi perlindungan terhadap nilai agama (hifdzul dien), memberi perlindungan terhadap akal (hifdzul aql), memberi perlindungan terhadap harta (hifdzul maal), memberi perlindungan terhadap keturunan (hifdzul nasl) dan yang terakhir memberi perlindungan terhadap kehormatan (hifdzul ‘ ird).

B. Analisis dari Segi Pertanggungjawaban Pidana
Melihat besarnya tantangan yang dihadapi oleh hukum Islam didalam menjawab perubahan hukum, maka tidak menutup kemungkinan hukum Islam melakukan sebuah perubahan penafsiran ataupun aplikasinya. Akan tetapi hal tersebut tidaklah merubah semua ketentuan yang sudah ada, melainkan harus melihat perubahan penafsiran yang disesuaikan dengan konteks waktu, zaman dan tempat sehingga hukum Islam tetap fleksibel didalam menjawab sekaligus mengatasi permasalahan hukum yang ada atau yang dihadapi.
Ada 3 masalah pokok dalam bidang hukum pidana materiil yaitu perumusan perbuatan yang dilarang (kriminalisasi), pertanggungjawaban pidana (kesalahan), dan sanksi yang diancamkan. [32] Jika menilik pada permasalahan pidana materiil, maka pembahasan pertanggungjawaban pidana merupakan pembahasan yang cukup menarik, berbicara pertanggungjawaban pidana maka tidak akan terlepas pada pembahasan mengenai asas kesalahan. Hal ini didasarkan pada prinsip pertanggungjawaban pidana yang berdasar padas asas “tiada pidana tanpa kesalahan” yang dikenal dengan Asas Kesalahan. Artinya, pelaku pidana dapat dipidana bila melakukan perbuatan pidana yang dilandasi sikap batin yang salah/jahat. Namun dalam perkembangannya ada pula pertanggungjawaban pidana yang menyimpang dari Asas Kesalahan [33].
Selain hal diatas, berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana akan membahas pada wilayah obyek hukum (Mahkum Fih). Mahkum Fih yang sering juga disebut mahkum ‘alaih ialah obyek hukum syara’ atau perkara yang berhubungan dengan hukum syara’ atau perbuatan orang mukallaf yang menjadi obyek hukum syara’, baik berupa perintah, larangan maupun kebolehan atau perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa yang mampu dikerjakan maupun tidak, baik berupa kewajiban terhadap Allah SWT maupun terhadap sesama manusia. [34]
Pertanggungjawaban pidana mengandung pengertian bahwa seseorang bertanggung jawab atas sesuatu perbuatan pidana yang secara sah dan telah diatur oleh undang-undang. Jadi dapat dikatakan bahwa pidana itu dapat dikenakan secara sah berarti untuk tindakan ini telah ada aturannya dalam sistem hukum tertentu, dan sistem hukum itu telah berlaku dan mengikat atas perbuatan itu. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa tindakan ini dibenarkan oleh sistem hukum. Hal inilah yang menjadi konsep mengenai pertanggungjawaban pidana.
Pengertian pertanggungjawaban pidana didalam konsep syari’at Islam ialah pembebasan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan (atau tidak ada perbuatan) yang dikerjakannya dengan kemauannya sendiri, dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatan itu. [35]
Hukum Islam didalam memandang konsep pertanggungjawaban pidana tidak menampilkan perbedaan secara mendasar, bahkan kesamaan pengertian dan aplikasinya tidak dapat dielakkan lagi. Seperti yang dijelaskan didalam surat Al-Muddatstsir ayat 38 (QS : 74 : 38) yang berbunyi : [36]
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”

Didalamnya mengandung pengertian bahwa setiap jiwa terikat pada apa yang dia kerjakan, dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang dibuat oleh orang lain. Sangat jelas telah diterangkan didalam isi surat tersebut, hal ini menandakan bahwa beban kesalahan atau beban pidana tidak dapat diwakilkan kepada orang lain atau dimenjadi beban orang lain.
Bahkan isi kandungan ayat tersebut juga dikuatkan atau didukung oleh ayat-ayat yang lain, seperti yang terkandung didalam surat Al-An’am ayat 164 (QS : 6 : 164) yang berbunyi [37] :
Katakanlah: “Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan”.
Dijelaskan bahwa Allah SWT menyatakan, bahwa setiap pribadi melakukan sesuatu kejahatan akan menerima balasan kejahatan yang dilakukannya. Hal ini berarti, bahwa tidak boleh sekali-kali beban seseorang dijadikan beban orang lain.
Selain ayat-ayat diatas terdapat beberapa ayat lain yang menjelaskan mengenai permasalahan ini, diantara nya surat Faathir ayat 18 (QS : 35 : 18) [38] menerangkan, bahwa orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, yang pada intinya adalah beban dosa tidak bisa dibebankan kepada orang lain. Didalam surat Az-Zumar ayat 7 (QS : 39 : 7) [39] . Yang berbunyi :
“Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam (dada)mu.”

Surat Al-Najm ayat 38 (QS : 53 : 38) [40] pun menerangkan hal yang sama, yang berbunyi :
(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,

Dari ayat-ayat tersebut, jelas bahwa orang tidak dapat diminta memikul tanggung jawab mengenai kejahatan atau kesalahan orang lain. Karena pertanggungjawaban pidana itu individual sifat nya, kesalahan seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain.
Pertanggungjawaban pidana ditegakkan atas 3 (tiga) hal, yaitu [41] :
1. Adanya perbuatan yang dilarang.
2. Dikerjakan dengan kemauan sendiri.
3. Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.
Melihat perbuatan yang dikriminalkan pada bab ketentuan pidana, telah memiliki ketentuan pertanggungjawaban pidana yang berbentuk sanksi pidana penjara, kurungan dan denda. Sehingga apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pidana tersebut, pelaku delik atau pelaku pidana akan dikenakan sanksi yang tegas. Seperti pada contoh yang dijelaskan berikut ini; mengenai Seorang teman yang telah memberikan informasi kepada Imran tentang kesempatan/lowongan kerja sebagai TKI secara ilegal. Perbuatan yang dilakukan oleh teman Imran tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan trafficking (perdagangan manusia) dan teman Imran bukan pelaku kejahatan yang memperdagangkan manusia (bukan trafiker). Sebab, perbuatan teman Imran itu tidak memenuhi unsur-unsur trafiking, seperti memindahkan dengan penipuan untuk dipekerjakan secara ilegal. [42] Namun, perbuatan tersebut dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana berupa :
Menurut Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, teman Imran bisa saja dijerat sebagai orang yang menempatkan calon TKI pada pekerjaan, tanpa dilengkapi dokumen-dokumen yang memadai. Dalam Pasal 103, disebutkan bahwa setiap orang yang menempatkan calon TKI/TKI yang tidak memiliki dokumen sebagaimana dimaksud Pasal 51, ia bisa dipidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).

Aturan dalam undang-undang ini dilahirkan karena dalam kenyataannya banyak kejadian yang menimpa para buruh migran yang tidak memiliki dokumen. [43]


Memperhatikan dan sekaligus mempelajari kasus diatas maka dapat kita lihat bahwa Perbuatan sang teman selaku orang perseorangan yang telah memberikan informasi kepada Imran tentang kesempatan/lowongan kerja sebagai TKI ilegal di luar negeri dapat digolongkan perbuatan menempatkan calon TKI (CTKI) pada pekerjaan tanpa dokumen yang merupakan tindak pidana kejahatan sebagaimana diatur Pasal 103 ayat (1) huruf f UU PPTKILN. Perbuatan pidana teman Imran itu dapat juga dijerat dengan Pasal 102 ayat (1) huruf a UU PPTKILN. Sebab, teman Imran selaku orang perseorangan (bukan badan hukum korporasi bebentuk Perseroan Terbatas) telah melakukan penempatan TKI yang tergolong perbuatan terlarang sebagaimana dimaksud Pasal 4 UU PPTKILN dengan sanksi pidana dan denda lebih berat.
Pada contoh kasus diatas, dapat dikatakan bahwa teman Imran telah dengan sengaja atau dengan sadar melakukan tindak pidana kejahatan, yang dalam hal ini merupakan tindak kejahatan yang telah diatur ketentuan pidananya didalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2004. Jadi sangat jelas mengenai perumusan pidananya, sehingga apabila terdapat indikasi terjadinya pelanggaran tindak pidana serupa atau sebaliknya, maka beban pertanggungjawaban pidananya sudah sangat jelas dan kepada pelaku delik pidana dapat dikenakan sanksi hukuman yang telah ditetapkan pada ketentuan pidana didalam UU No. 39 Tahun 2004.
Pada contoh kasus di atas juga terlihat bahwa teman Imran sudah dapat dijatuhi pidana walau ia tidak punya niat jahat/sikap batin jahat ketika menyampaikan informasi kesempatan kerja tanpa dokumen di luar negeri. Bahkan teman Imran dapat dipidana walau akibat perbuatannya si Imran tidak dirugikan sama sekali (atau malah sukses sebagai TKI ilegal). Dengan kata lain teman Imran dikenakan pertanggungjawaban pidana dan dipidana semata-mata lantaran perbuatannya itu telah memenuhi ketentuan Pasal 102 ayat (1) huruf a jo. Pasal 103 ayat (1) huruf f UU PPTKILN tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Dalam hukum pidana pertanggungjawaban itu dikenal dengan istilah strict liability yang menyimpang dari Asas Kesalahan. [44]
Di samping itu PPTKIS atau PJTKI selaku “orang” atau subjek hukum badan hukum yang berbentuk korporasi ternyata diakui oleh UU PPTKILN sebagai pelaku pidana yang dapat dijatuhi hukuman pidana. [45] Masalah badan hukum korporasi sebagai subjek tindak pidana telah menimbulkan persoalan dalam hukum pidana karena berhubungan dengan pembebanan tanggungjawab pidana yang menyimpang dari Asas Kesalahan. [46]
Selain kasus diatas masih terdapat contoh lain, yakni : kejadian yang dialami oleh Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI) yang bernama :
1. Nama : Sudaryanti
Umur : 24 Tahun
Alamat : Sindutan A RT 20/10 Sindutan Temon Kulon Progo Yogyakarta

2. Nama : Pawit Utami
Umur : 21 Tahun
Alamat : Suruhan RT/RW. 48/21 Karangsari Pengasih Kulon Progo
Yogyakarta

3. Nama : Sri Suratmi
Umur : 27 Tahun
Alamat : Serangrejo RT 10/05 Kulwaru Kulon Progo Yogyakarta

4. Nama : Tri Rahayuningsih
Umur : 28 Tahun
Alamat : Jetis RT 12/05 Sogan Wates Kulon Progo Yogyakarta

Keempat orang CTKI tersebut pada awalnya mengikuti seleksi di Disnakertrans (Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi) Kab. Kulon Progo untuk bekerja (work) di Pabrik SENSATA TECHNOLOGIES SDN. BHD Selangor, Malaysia secara langsung. Akan tetapi pada kenyataannya keempat CTKI tersebut mengalami tindak pidana penipuan yang dilakukan oleh PT. SAFANA MITRA UTAMA pada tanggal 19 Februari 2008, yang beralamat kantor dijalan Magelang KM. 5 Karanganyar No. 178 RT/RW. 08/29 Sinduadi, Mlati, Sleman Yogyakarta. Penipuan yang dilakukan oleh PT. SAFANA MITRA UTAMA adalah dalam hal penipuan job order (permintaan kerja), yang semestinya pada awal keempat CTKI akan dipekerjakan di Pabrik SENSATA TECHNOLOGIES SDN. BHD akan tetapi pada akhirnya mereka dipekerjakan di pabrik yang lain, yaitu di pabrik MEMC. Selama proses rekrut, keempat CTKI tersebut tidak diberikan dokumen yang semestinya wajib dimiliki oleh CTKI seperti surat keterangan izin orang tua, surat perjanjian penempatan, foto copy kontrak kerja, dan tidak diikut sertakan dalam program asuransi perlindungan TKI yang bersifat wajib. [47]
Yang menjadi permasalahan dan sekaligus analisa penulis didalam kasus yang dialami oleh keempat CTKI adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh PT. SAFANA MITRA UTAMA telah memenuhi syarat pertanggungjawaban pidana, yaitu [48] :
1. Adanya perbuatan yang dilarang.
2. Dikerjakan dengan kemauan sendiri.
3. Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.
PT. SAFANA MITRA UTAMA selaku badan hukum atau korporasi telah terbukti secara jelas dan tegas melakukan perbuatan yang dilarang oleh UU No. 39 Tahun 2004 bab ketentuan pidana mengenai perlindugan dan penempatan TKI di luar negeri. Selanjutnya perbuatan pidana tersebut dilakukan dengan kemauan sendiri dan PT. SAFANA MITRA UTAMA telah mengetahui akibat hukum atau pertanggungjawaban pidananya.
Pasal 103 ayat 1 (satu) huruf f jo pasal 51 UU PPTKILN [49] menjelaskan mengenai pertanggungjawaban pidana yang dikenakan atau dibebankan kepada PT. SAFANA MITRA UTAMA yang secara sah terbukti melanggar ketentuan pidana. Dalam hal ini PT. SAFANA MITRA UTAMA telah melakukan penempatan CTKI/TKI tanpa disertai dokumen yang sah, yaitu : (i). Surat keterangan izin suami/istri, izin orang tua, atau izin wali, (ii). Perjanjian penempatan TKI, (iii). Perjanjian penempatan kerja. Sehingga akan berdampak bahwa TKI tidak memiliki kekuatan hukum apabila dikemudian hari terjadi tindakan yang tidak diinginkan.
Didalam pasal ini 103 UU No. 39 Tahun 2004 sanksi hukum yang dikenakan atau dibebankan kepada pelaku adalah : “dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), setiap orangnya”.
Memperhatikan dan sekaligus mempelajari kasus diatas maka dapat kita lihat bahwa Perbuatan PT. SAFANA MITRA UTAMA dapat digolongkan sebagai perbuatan menempatkan calon TKI (CTKI) pada pekerjaan tanpa dokumen sah yang merupakan tindak pidana kejahatan sebagaimana diatur Pasal 103 ayat 1 (satu) huruf f jo. pasal 51 UU PPTKILN.
Pada contoh kasus diatas, PT. SAFANA MITRA UTAMA dapat dikatakan telah dengan sengaja atau dengan sadar melakukan tindak pidana kejahatan, yang dalam hal ini merupakan tindak kejahatan yang telah diatur ketentuan pidananya didalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2004. Jadi sangat jelas mengenai perumusan pidananya, sehingga apabila terdapat indikasi terjadinya pelanggaran tindak pidana serupa atau sebaliknya, maka beban pertanggungjawaban pidananya sudah sangat jelas dan kepada pelaku delik pidana dapat dikenakan sanksi hukuman yang telah ditetapkan pada ketentuan pidana
Di samping itu PPTKIS atau PJTKI (PT. SAFANA MITRA UTAMA) selaku “orang” atau subjek hukum badan hukum yang berbentuk korporasi ternyata diakui oleh UU PPTKILN sebagai pelaku pidana yang dapat dijatuhi hukuman pidana. [50] Masalah badan hukum korporasi sebagai subjek tindak pidana telah menimbulkan persoalan dalam hukum pidana karena berhubungan dengan pembebanan tanggungjawab pidana yang menyimpang dari Asas Kesalahan. [51]
Jadi untuk konsep pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada perbuatan pidana pada bab ketentuan pidana UU No. 39 Tahun 2004 memiliki fungsi dan manfaat yang cukup besar, yang dalam hukum Islam hal tersebut memiliki suatu nilai kemashlahatan umat atau mendatangkan kemaslahatan serta menghindari kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan :
Sehingga dapat menjaga tatanan kemasyarakatan, atau kepercayaan-kepercayaan atau harta benda, nama baik, kehormatan, jiwa dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu menurut hukum syara’ harus dipelihara, dihormati serta dilindungi dan menjaga kepentingan dan ketentraman masyarakat, melindungi atau memberi perlindungan terhadap nilai agama (hifdzul dien), memberi perlindungan terhadap akal (hifdzul aql), memberi perlindungan terhadap harta (hifdzul maal), memberi perlindungan terhadap keturunan (hifdzul nasl) dan yang terakhir memberi perlindungan terhadap kehormatan (hifdzul ‘ ird). Sehingga tercipta kondisi masyarakat madani sebagai pondasi kehidupan Negara, sehingga Negara menjadi bangsa yang bermartabat, dan bermoral.

DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, cet. II, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005.
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cet. 1.Bandung : PT. Citra Aditya Bakti , 1996
Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, cet. 1. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti , 2003
Arief, Barda Nawawi. Perbandingan Hukum Pidana, cet. II, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1994
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan terjemahannya. Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah, Penafsiran Al-Qur’an, 1984.

Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Adjaran Ahlus Sunnah, cet. I, Jakarta : Bulan
Bintang, 1976
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. III, Jakarta : Bulan Bintang, 1967
Khalaf, Abd al-Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir Dar al-Qalam, 1998
Kodir, Faqihuddin Abdul. Fiqih Anti Trafiking, Cet. I. Cirebon : Fahmina Institute, 2006
Mudjib, Abdul, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh (Al-qowa’idul Fiqhhiyah), cet. I. Jakarta : Kalam Mulia, 1994
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, cet. 1. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995
Munajat, Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. I. Yogyakarta : Logung Pustaka, 2004
Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), cet. I, Jakarta : Sinar Grafika, 2004
Prasetyo, Teguh dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), cet. III. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005
Priyanto, Dwidja. Kebijakan Legislasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Cet. I, Bandung: CV Utomo, 2004
Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana, Cet. IV, Bandung: Alumni, 1986
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1981
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, cet. IV, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000

Catatan Kaki:
[1] Salah satu Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Angkatan Pertama (2009/2010)

[2] Penulis adalah mahasiswa Jinayah Siyasah UIN Sunan Kalijaga aktif di Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) DPC. Yogyakarta.

[3] Baca Pejelasan Umum UU PPTKILN; lihat juga “UU PPTKILN Mencegah Penempatan TKI Ilegal,” http://www.nakertrans. go.id/newsdetail.php?id=194, akses 8 Januari 2008.

[4] Ibid.

[5] “Pemerintah Hanya Jadikan TKI Sebagai Komoditas,” http://www. eramoslem.com/br/fo/48/12377,1,v. html, akses 8 Januari 2008.

[6] Komnas HAM, “Hak Asasi Buruh Migran Indonesia,” http://www. Tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/06/17/nrs,20040617-07,id.html, akses 8 Januari 2008; “Depnakertrans Bantah RUU Perlindungan TKI Mengukuhkan Trafficking,” http://www.tempointeraktif.com /hg/nasional/2004/09/17/brk, 20040917-31,id.html, akses 26 Nopember 2006.

[7] “Penempatan TKI Masih dengan Paradigma Komoditas,” Kedaulatan Rakyat, No. 353 , Th. LXII, (Minggu, 30 September 2007), hlm. 11.

[8] “Membangun Negeri dengan Keringat TKI,” Kedaulatan Rakyat, No. 319, Th. LXII, (Senin, 27 Agustus 2007), Komnas Perempuan dkk, Sia-sia Reformasi Dibelenggu Birokrasi. Catatan Hasil Pemantauan Awal Terhadap INPRES No. 6 Tahun 2006, , akses 13 Desember 2007, hlm. 16

[9] “Human Rights Council untuk Penegakan Hak Asasi Buruh Migran,” http://buruhmigranberdaulat.blogspot.com/2006/05/human-rights-council-untuk-penegakan.html, akses 8 Januari 2008.
“Penempatan TKI Masih dengan Paradigma Komoditas,” Kedaulatan Rakyat, No. 353, Th. LXII, (Minggu, 30 September 2007), hlm. 11.

[10] “Kebijakan hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik”. Lihat Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cet. Ke-I (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti , 1996), hlm. 27-28.

[11] Kebijakan hukum pidana mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana material, di bidang hukum pidana formal dan di bidang hukum pelaksanaan pidana. Lihat Ibid, hlm. 30.

[12] Ada 3 masalah pokok dalam bidang hukum pidana materil yaitu perumusan perbuatan yang dilarang (kriminalisasi), pertanggungjawaban pidana (kesalahan), dan sanksi yang diancamkan. Lihat Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, cet. Ke-I (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 50.

[13] “Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi, pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari “kebijakan hukum pidana” (penal policy). Lihat Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, cet. Ke-I (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti , 2003), hlm. 240.

[14] Pada prinsipnya pertanggungjawaban pidana didasarkan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” yang dikenal dengan Asas Kesalahan. Artinya, pelaku pidana dapat dipidana bila melakukan perbuatan pidana yang dilandasi sikap batin yang salah / jahat. Namun dalam perkembangannya ada pula pertanggungjawaban pidana yang menyimpang dari Asas Kesalahan. Lihat Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, cet. Ke-I (Bandung : Penerbit CV. Utomo, 2004), hlm. 50.

[15] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, cet. Ke- IV (Bandung : Alumni, 1986), hlm. 31-32.

[16] ibid. Hlm. 151.

[17] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1981), hlm. 113-114, lihat juga dalam Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung, Alumni, 1981), hlm. 161, lihat juga lihat juga dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 1.

[18] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, cet. Ke-I (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 240.

[19] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, cet. Ke-II (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 57.

[20] Baca UU NO. 39 Tahun 2004 Bab XIII mengenai Ketentuan Pidana Pasal 102, 103, 104.

[21] Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Adjaran Ahlus Sunnah, cet. Ke-I (Jakarta : Bulan Bintang, 1971), hlm. 66. Lihat juga Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. Ke-I (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2004), hlm. 10.

[22] Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. Ke-I (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2004), hlm. 11.

[23] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Jakarta : Alumni, 1977), hlm. 44-48. Lihat juga, Teguh Prasetyo, Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan dekriminalisasi), cet. Ke-II (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 40-41.

[24] Teguh Prasetyo, Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan dekriminalisasi), cet. Ke-II (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 42.

[25] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Jakarta : Alumni, 1977), hlm. 45-50. Lihat juga, Teguh Prasetyo, Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan dekriminalisasi), cet. Ke-II (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 42-43.

[26] Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. Ke-I (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2004), hlm. 5.

[27] Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh (Al-qowa’idul Fiqhiyyah), cet. Ke-I (Jakarta : Kalam Mulia, 1994), hlm. 9.

[28] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), cet. Ke-I (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hlm. 14.

[29] Abd al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Mesir Dar al-Qalam, 1998), hlm. 198.

[30] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), cet. Ke-I (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hlm. 14.

[31] Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. Ke-I (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2004), hlm. 8.

[32] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, cet. Ke-I (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 50.

[33] Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, cet. Ke-I (Bandung : Penerbit CV. Utomo, 2004), hlm. 50.

[34] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, cet. Ke-VI (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 480-481.

[35] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-III (Jakarta : Bulan Bintang, 1967), hlm. 154.

[36] Al-Muddatstsir (74) : 38.

[37] Al-An’am (6) : 164.

[38] Faathir (35) : 18.

[39] Az-Zumar (39) : 7.

[40] Al-Najm (53) : 38.

[41] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-III (Jakarta : Bulan Bintang, 1967), hlm. 154.

[42] Faqihuddin Abdul Kodir, Fiqh Anti Trafiking, cet. Ke-I (Cirebon : fahmina-institute, 2006), hlm. 151.

[43] Ibid.. hlm. 156 – 157. Dalam buku tersebut tertulis Pasal 102 UU PPTKILN; semestinya yang benar adalah Pasal 103 ayat (1) huruf f UU PPTKILN. Namun, teman Imran dapat juga dijerat dengan Pasal 102 ayat (1) huruf a UU PPTKILN karena teman Imran selaku orang perseorangan telah melakukan penempatan TKI yang tergolong perbuatan terlarang sebagaimana dimaksud Pasal 4 UU PPTKILN.

[44] Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, cet. Ke-II (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 28.

[45] Pasal 1 angka 15 UU PPTKILN menyebutkan bahwa yang dimaksud orang dalam UU PPTKILN adalah pihak orang perseorangan atau badan hukum.

[46] Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, cet. 1 (Bandung : Penerbit CV. Utomo, 2004), hlm. 6; Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, cet. 1 (Bandung : Penerbit Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1991), hlm. 55.

[47] Data diperoleh dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Divisi Penelitian dan Pengembangan (Yogyakarta, 2008) yang kemudian dianalisa oleh penulis.

[48] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-III (Jakarta : Bulan Bintang, 1967), hlm. 154.

[49] Baca Ketentuan Pidana UU No. 39 Tahun 2004, pasal 103 ayat 1 (satu) huruf f jo. Pasal 51 menjelaskan : Menempatkan calon TKI/TKI tidak memiliki dokumen yang meliputi : (i) Kartu Tanda Penduduk, ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran, atau surat keterangan kenal lahir, (ii). Surat keterangan status perkawinan, bagi yang telah menikah melampirkan copy buku nikah, (iii). Surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali, (iv). Sertifikat Kompetensi Kerja, (v). Surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi, (vi). Paspor yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat, (vii). Visa kerja, (viii). Perjanjian penempatan TKI, (ix). Perjanjian penempatan kerja, (x). KTKLN (Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri). Pasal 103 jo pasal 51 UU PPTKILN.

[50] Pasal 1 angka 15 UU PPTKILN menyebutkan bahwa yang dimaksud orang dalam UU PPTKILN adalah pihak orang perseorangan atau badan hukum.

[51] Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, cet. Ke-I (Bandung : Penerbit CV. Utomo, 2004), hlm. 6; Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, cet. Ke-I (Bandung : Penerbit Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1991), hlm. 55.

Artikel Terkait Lainnya :



Comments
1 Comments
Widget edited by fmhi

1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...