expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Kamis, 27 Mei 2010

Konvensi Jenewa 1949

Konvensi Jenewa 1949 yang dihasilkan pada tanggal 12 Agustus 1949

1. Ketentuan manakah yang berlaku dalam sengketa bersenjata non-internasional atau perang pemberontakan ?, Apakah pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 ataukah Protokol II ? Siapakah yang menentukan hal ini ?
2. Apabila dalam sengketa bersenjata non-internasional yang diberlakukan adalah Protokol II, apakah ada jaminan bahwa “pemberontak” akan mematuhi Protokol itu ? (Kekhawatiran ini pantas dikemukakan karena para pemberontak bukanlah pihak pada Konvensi Jenewa dan Protokol). Bagaimanakah bila mereka tidak mentaati ketentuan pasal 3 Konvensi Jenewa dan Protokol ?

Konvensi Jenewa 1949
pranata hukum internasional yang pada pokoknya mengatur cara memperlakukan tentara yang cedera, sakit atau mengalami kecelakaan di medan perang. Konvensi ini disepakati pada 12 Agustus 1949 di Jenewa, Swiss.


Pada tahun 1977, sejumlah negara sepakat membuat aturan tambahan terhadap Konvensi itu, kemudian dikenal sebagai Protokol Tambahan I tentang Perlindungan Terhadap Korban Sengketa Bersenjata Internasional, dan Protokol Tambahan II tentang Perlindungan Terhadap Korban Sengketa Bersenjata Non Internasional.


Juni 2007, sudah 167 negara yang meratifikasi Protokol Tambahan I dan 163 negara yang meratifikasi Protokol Tambahan II. Amerika Serikat adalah negara yang hingga kini belum meratifikasinya.

Indonesia sendiri adalah negara pihak dalam Konvensi Jenewa 1949, sehingga berkepentingan meratifikasi Protokol Tambahan tersebut. Rencana ratifikasi kedua protokol kala itu ditandai dengan pembentukan Panitia Tetap Hukum Humaniter yang langsung diketuai Menteri Hukum dan HAM.


Protokol Tambahan Konvensi Jenewa

a. Protokol Tambahan I Tahun 1977

dibentuk karena metode perang yang digunakan oleh negara-negara telah berkembang, dan tata cara berperang (Conduct of War).
Protokol ini menentukan bahwa hak dari para pihak yang bersengketa untuk memilih alat dan cara berperang adalah tidak tak terbatas, juga dilarang menggunakan senjata atau proyektil senjata serta alat-alat lainnya yang dapat mengakibatkan luka-luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.

Beberapa ketentuan pokok dalam Protokol Tambahan I Tahun 1977 antara lain sebagai berikut:

1.Melarang serangan yang reprasial dan membabi buta terhadap penduduk sipil dan orang-orang sipil, objek-objek yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan penduduk sipil, benda-benda budaya dan tempat-tempat religius, bangunan dan instalasi berbahaya, dan lingkungan alam.
2.Memperluas perlindungan yang sebelumnya telah diatur dalam Konvensi Jenewa kepada semua personil medis, unit-unit dan alat transportasi medis, baik yang berasal dari organisasi sipil maupun militer.
3.Menentukan kewajiban bagi pihak Peserta Agung untuk mencari orang-orang yang hilang (Missing Persons).
4.Menegaskan ketentuan-ketentuan mengenai suplai bantuan (relief suplies) yang ditujukan kepada penduduk sipil.
5.Memberikan perlindungan terhadap kegiatan organisasi pertahanan sipil.
6.Mengkhususkan adanya tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh negara-negara untuk memfasilitasi implementasi hukum humaniter internasional.


Protokol Tambahan II Tahun 1977

terbentuk karena pada kenyataan konflik-konflik yang terjadi sesudah Perang Dunia II merupakan konflik yang bersifat non-internasional. Hanya satu ketentuan dalam Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur sengketa bersenjata non-internasional yaitu Pasal 3 Common Articles. Meskipun telah sangat rinci termuat dalam pasal tersebut, namun dianggap belum cukup memadai untuk menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan yang serius akibat terjadinya konflik-konflik internasional semacam itu.

Protokol Tambahan II Tahun 1977 menentukan hal-hal sebagai berikut:

1.Mengatur jaminan-jaminan fundamental bagi semua orang, apakah mereka terlibat ataukah tidak terlibat lagi dalam suatu pertempuran;
2.menentukan hak-hak bagi orang-orang yang kebebasannya dibatasi dalam menerima peradilan yang adil;
3.memberikan perlindungan penduduk sipil dan objek-objek perlindungan;
4.melarang dilakukannya tindakan starvasi secara sengaja.
Protokol Tambahan II tahun 1977 juga menentukan bahwa orang-orang yang terluka harus dilindungi dan dirawat, para personil kesehatan beserta alat-alat transportasi mereka harus dilindungi dan dihormati. Lambang-lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah serta Singa dan Matahari Merah harus dihormati, dan penggunaannya terbatas kepada mereka yang secara resmi berhak memakainya.

Ketentuan mana yang berlaku ?
Apabila terjadi suatu sengketa bersenjata non-internasional, dari penjelasan pada tulisan sebelumnya, maka apabila syarat-syarat dalam Protokol terpenuhi atau negara yang bersangkutan telah meratifikasinya, maka Protokol dan Pasal 3 Konvensi Jenewa akan berlaku secara simultan. Namun bila konflik tersebut intensitasnya rendah dan tidak terlihat ada unsur apapun seperti dalam Protokol, maka yang berlaku hanyalah Pasal 3 Konvensi Jenewa saja.

Siapakah yang menentukan ?

* Apabila terjadi suatu sengketa bersenjata non-internasional, maka Protokol tidak menentukan ketentuan manakah yang berlaku. Tidak ada pula ketentuan dalam hukum humaniter lainnya yang mengatur hal ini. Namun beberapa pendapat ahli mengatakan: Menurut Alberto Muyot :[4]
*“… melihat kepada pertimbangan umum negara-negara bahwa mereka menyatakan tidak ada suatu otoritas pun yang berwenang untuk menentukan bahwa Protokol dapat berlaku mengikat pada suatu situasi tertentu, maka konsekuensinya, Pemerintah dari negara di mana terjadi sengketa bersenjata non-internasional ini harus menggunakan haknya untuk menyatakan apakah kekerasan yang terjadi itu telah mencapai suatu intensitas yang diperlukan, untuk menerapkan Protokol ini”

Menurut Fritz Kalshoven :[5]

“Terdapat pula pertimbangan umum yang menyatakan bahwa tidak satu pun otoritas yang berwenang untuk menentukan bahwa Protokol berlaku untuk suatu situasi tertentu. Oleh karena itu, hal ini lebih banyak tergantung kepada iktikad baik pemerintah negara yang bersangkutan, atau pula pada tekanan dunia luar”.

Dengan melihat ke dua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang menentukan hukum manakah yang berlaku dalam sengketa bersenjata non-internasional adalah : Pemerintah dari negara yang bersangkutan.

Namun, sebagaimana diungkapkan di awal bagian ini, bahwa terdapat suatu kecenderungan bahwa negara enggan memberlakukan Protokol dengan mengajukan berbagai alasan. Keengganan ini dikarenakan kekhawatiran negara bahwa pemberlakuan Protokol II akan memberikan status belligerent kepada pemberontak.

Adakah jaminan bahwa pemberontak mematuhi Protokol ? dan Bagaimana bila mereka tidak mentaati ?

persoalan hukum di atas telah terjawab; yaitu : bahwa kelompok pemberontak sebagai warga negara dari negara yang bersangkutan turut mengemban hak dan kewajiban yang sama sebagaimana hak dan kewajiban yang diberikan kepada negara yang terlibat dalam konflik tersebut.
Sedangkan apabila pihak pemberontak tidak mau mentaati ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Jenewa maupun dalam Protokol, maka hal itu akan merugikan mereka sendiri, karena dengan demikian status mereka adalah sebagai penjahat biasa.

SUMBER:

Nurainun Mangunsong, SH., M.Hum, 2010, MATERI KULIAH HUUM DAN HAM PRODI ILMU HUKUM, FAKULTAS SYARIAH & HUKUM UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

Artikel Terkait Lainnya :



Comments
0 Comments
Widget edited by fmhi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...