expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Kamis, 27 Mei 2010

Konvensi Jenewa 1949

Konvensi Jenewa 1949 yang dihasilkan pada tanggal 12 Agustus 1949

1. Ketentuan manakah yang berlaku dalam sengketa bersenjata non-internasional atau perang pemberontakan ?, Apakah pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 ataukah Protokol II ? Siapakah yang menentukan hal ini ?
2. Apabila dalam sengketa bersenjata non-internasional yang diberlakukan adalah Protokol II, apakah ada jaminan bahwa “pemberontak” akan mematuhi Protokol itu ? (Kekhawatiran ini pantas dikemukakan karena para pemberontak bukanlah pihak pada Konvensi Jenewa dan Protokol). Bagaimanakah bila mereka tidak mentaati ketentuan pasal 3 Konvensi Jenewa dan Protokol ?

Konvensi Jenewa 1949
pranata hukum internasional yang pada pokoknya mengatur cara memperlakukan tentara yang cedera, sakit atau mengalami kecelakaan di medan perang. Konvensi ini disepakati pada 12 Agustus 1949 di Jenewa, Swiss.


Pada tahun 1977, sejumlah negara sepakat membuat aturan tambahan terhadap Konvensi itu, kemudian dikenal sebagai Protokol Tambahan I tentang Perlindungan Terhadap Korban Sengketa Bersenjata Internasional, dan Protokol Tambahan II tentang Perlindungan Terhadap Korban Sengketa Bersenjata Non Internasional.


Juni 2007, sudah 167 negara yang meratifikasi Protokol Tambahan I dan 163 negara yang meratifikasi Protokol Tambahan II. Amerika Serikat adalah negara yang hingga kini belum meratifikasinya.

Indonesia sendiri adalah negara pihak dalam Konvensi Jenewa 1949, sehingga berkepentingan meratifikasi Protokol Tambahan tersebut. Rencana ratifikasi kedua protokol kala itu ditandai dengan pembentukan Panitia Tetap Hukum Humaniter yang langsung diketuai Menteri Hukum dan HAM.


Protokol Tambahan Konvensi Jenewa

a. Protokol Tambahan I Tahun 1977

dibentuk karena metode perang yang digunakan oleh negara-negara telah berkembang, dan tata cara berperang (Conduct of War).
Protokol ini menentukan bahwa hak dari para pihak yang bersengketa untuk memilih alat dan cara berperang adalah tidak tak terbatas, juga dilarang menggunakan senjata atau proyektil senjata serta alat-alat lainnya yang dapat mengakibatkan luka-luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.

Beberapa ketentuan pokok dalam Protokol Tambahan I Tahun 1977 antara lain sebagai berikut:

1.Melarang serangan yang reprasial dan membabi buta terhadap penduduk sipil dan orang-orang sipil, objek-objek yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan penduduk sipil, benda-benda budaya dan tempat-tempat religius, bangunan dan instalasi berbahaya, dan lingkungan alam.
2.Memperluas perlindungan yang sebelumnya telah diatur dalam Konvensi Jenewa kepada semua personil medis, unit-unit dan alat transportasi medis, baik yang berasal dari organisasi sipil maupun militer.
3.Menentukan kewajiban bagi pihak Peserta Agung untuk mencari orang-orang yang hilang (Missing Persons).
4.Menegaskan ketentuan-ketentuan mengenai suplai bantuan (relief suplies) yang ditujukan kepada penduduk sipil.
5.Memberikan perlindungan terhadap kegiatan organisasi pertahanan sipil.
6.Mengkhususkan adanya tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh negara-negara untuk memfasilitasi implementasi hukum humaniter internasional.


Protokol Tambahan II Tahun 1977

terbentuk karena pada kenyataan konflik-konflik yang terjadi sesudah Perang Dunia II merupakan konflik yang bersifat non-internasional. Hanya satu ketentuan dalam Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur sengketa bersenjata non-internasional yaitu Pasal 3 Common Articles. Meskipun telah sangat rinci termuat dalam pasal tersebut, namun dianggap belum cukup memadai untuk menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan yang serius akibat terjadinya konflik-konflik internasional semacam itu.

Protokol Tambahan II Tahun 1977 menentukan hal-hal sebagai berikut:

1.Mengatur jaminan-jaminan fundamental bagi semua orang, apakah mereka terlibat ataukah tidak terlibat lagi dalam suatu pertempuran;
2.menentukan hak-hak bagi orang-orang yang kebebasannya dibatasi dalam menerima peradilan yang adil;
3.memberikan perlindungan penduduk sipil dan objek-objek perlindungan;
4.melarang dilakukannya tindakan starvasi secara sengaja.
Protokol Tambahan II tahun 1977 juga menentukan bahwa orang-orang yang terluka harus dilindungi dan dirawat, para personil kesehatan beserta alat-alat transportasi mereka harus dilindungi dan dihormati. Lambang-lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah serta Singa dan Matahari Merah harus dihormati, dan penggunaannya terbatas kepada mereka yang secara resmi berhak memakainya.

Ketentuan mana yang berlaku ?
Apabila terjadi suatu sengketa bersenjata non-internasional, dari penjelasan pada tulisan sebelumnya, maka apabila syarat-syarat dalam Protokol terpenuhi atau negara yang bersangkutan telah meratifikasinya, maka Protokol dan Pasal 3 Konvensi Jenewa akan berlaku secara simultan. Namun bila konflik tersebut intensitasnya rendah dan tidak terlihat ada unsur apapun seperti dalam Protokol, maka yang berlaku hanyalah Pasal 3 Konvensi Jenewa saja.

Siapakah yang menentukan ?

* Apabila terjadi suatu sengketa bersenjata non-internasional, maka Protokol tidak menentukan ketentuan manakah yang berlaku. Tidak ada pula ketentuan dalam hukum humaniter lainnya yang mengatur hal ini. Namun beberapa pendapat ahli mengatakan: Menurut Alberto Muyot :[4]
*“… melihat kepada pertimbangan umum negara-negara bahwa mereka menyatakan tidak ada suatu otoritas pun yang berwenang untuk menentukan bahwa Protokol dapat berlaku mengikat pada suatu situasi tertentu, maka konsekuensinya, Pemerintah dari negara di mana terjadi sengketa bersenjata non-internasional ini harus menggunakan haknya untuk menyatakan apakah kekerasan yang terjadi itu telah mencapai suatu intensitas yang diperlukan, untuk menerapkan Protokol ini”

Menurut Fritz Kalshoven :[5]

“Terdapat pula pertimbangan umum yang menyatakan bahwa tidak satu pun otoritas yang berwenang untuk menentukan bahwa Protokol berlaku untuk suatu situasi tertentu. Oleh karena itu, hal ini lebih banyak tergantung kepada iktikad baik pemerintah negara yang bersangkutan, atau pula pada tekanan dunia luar”.

Dengan melihat ke dua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang menentukan hukum manakah yang berlaku dalam sengketa bersenjata non-internasional adalah : Pemerintah dari negara yang bersangkutan.

Namun, sebagaimana diungkapkan di awal bagian ini, bahwa terdapat suatu kecenderungan bahwa negara enggan memberlakukan Protokol dengan mengajukan berbagai alasan. Keengganan ini dikarenakan kekhawatiran negara bahwa pemberlakuan Protokol II akan memberikan status belligerent kepada pemberontak.

Adakah jaminan bahwa pemberontak mematuhi Protokol ? dan Bagaimana bila mereka tidak mentaati ?

persoalan hukum di atas telah terjawab; yaitu : bahwa kelompok pemberontak sebagai warga negara dari negara yang bersangkutan turut mengemban hak dan kewajiban yang sama sebagaimana hak dan kewajiban yang diberikan kepada negara yang terlibat dalam konflik tersebut.
Sedangkan apabila pihak pemberontak tidak mau mentaati ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Jenewa maupun dalam Protokol, maka hal itu akan merugikan mereka sendiri, karena dengan demikian status mereka adalah sebagai penjahat biasa.

SUMBER:

Nurainun Mangunsong, SH., M.Hum, 2010, MATERI KULIAH HUUM DAN HAM PRODI ILMU HUKUM, FAKULTAS SYARIAH & HUKUM UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

Selasa, 25 Mei 2010

ADVOKAT, KODE ETIK ADVOKAT DAN TANGGUNG JAWAB ADVOKAT

ADVOKAT, KODE ETIK ADVOKAT DAN TANGGUNG JAWAB ADVOKAT [1]

PENGERTIAN ADVOKAT
Ketentuan Umum
(Pasal 1)
ADVOKAT adalah orang yang berprofesi memberi Jasa Hukum Baik dalam maupun diluar Pengadilan yang memenuhi persyaratan Berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
Pasal 2
(1) Yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana berlatar belakang Pendidikan Hukum dan setelah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
(2)Pengangkatan dilakukan oleh Organisasi Advokat
(3) Salinan Surat Keputusan Pengangkatan Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri
Pasal 3
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Warga Negara Republik Indonesia
b. Bertempat tinggal di Indonesia
c. Tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri atau Pejabat Negara
d. Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun
e. Berijasah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1)
f. Lulus ujian yang diadakan oleh organisasi advokat
g. Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat
h. Tidak pernah dipenjara karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan tindakan pidana penjara 5 tahun atau lebih
i. Berprilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas tinggi.
(2) Advokat yang telah diangkat Berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat menjalankan prakteknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undang.

CIRI KHUSUS PROFESI (ADVOKAT)
1. Harus ada ilmu yang dikelola di dalamnya;
2. Harus ada kebebasan dan tidak boleh ada hubungan dinas (dienst verhouding) atau hirarkhie;
3. Harus mengabdi kepada kepentingan umum dan mencari kekayaan tidak boleh menjadi tujuan utama;
4. Harus ada “clien-verhouding” yaitu hubungan kepercayaan antara advokat dan client;
5. Harus ada kewajiban merahasiakan informasi yang diterima dari client. konsekuensinya harus dilindungi haknya merahasikan informasi tersebut;
6. Harus ada immuniteit (hak tidak boleh dituntut) atas perbuatan/ tindakan dalam melakukan pembelaan;
7. Harus ada kode etik dan peradilan kode etik oleh suatu dewan kehormatan;
8. Boleh menerima honorarium yang tidak meski seimbang dengan hasil pekerjaan atau banyaknya usaha, atau jerih payah serta upaya yang dicurahkan.
9. Harus ada kewajiban menolong orang yang tidak mampu secara cuma-cuma (prodeo).
CIRI UMUM :
1. Pelayanan Hukum
2. Keahlian / Khusus
3. Sumpah
4. Kode Etik
5. Penegak Hukum
6. Mempunyai Organisasi Adv
CIRI PROFESIONALISME
1. Ada kantor / memenuhi syarat
2. Berperkara
3. Taat hukum dan melaksanakan Kode Etik
4. Kewajiban-kewajiban lainnya
KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA
Isinya :
1. Ketentuan Umum
2. Kepribadian Adv
3. Hubungan dengan Clien
4. Hubungan dengan teman sejawat
5. Tentang sejawat Asing
6. Cara bertindak menangani perkara
7. Ketentuan lain tentang Kode Etik
8. Pelaksanaan Kode Etik
9. Dewan Kehormatan
A. Ketentuan Umum
B. Pengaduan
C. Tata cara pengaduan
10. Kode Etik
11. Aturan Peralihan
12. Penutup
Pengertian Berprofesi sebagai Advokat (sesuai UU 18 tahun 2003)
Pasal 1 (1),
Ketentuan Umum Advokat adalah : Orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan umum
Pasal 2 (2),
Jasa Hukum adalah : Jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
Pengawasan
BAB III PENGAWASAN (PASAL 12)
(1). Pengawasan terhadap Adv dilakukan oleh organisasi Adv
(2). Pengawasan sebagaimana………………………….dst
PASAL 13
Hak pengawasan sebelum UU No. 18 / 2003 diatur :
Pasal 36 – UU 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Pasal 54 (1) UU No. 2 tahun 1986, Tentang Peradilan
SKB.MA & Menkeh, tanggal 6 Juli 1987, No:KMA/005/SKB/VII/1987 dan M.PR.08.05 tahun 1987,
Tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan pembelaan diri Penasehat Hukum
JASA HUKUM adalah jasa yang diberikan Advokat berupa;
memberikan konsultas hukum;
bantuan hukum,
menjalankan kuasa,
mewakili,
mendampingi,
membela dan
melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum kliennya. (Pasal 1 angka 2)

PERSYARATAN ADVOKAT (UUA. Pasal 3)
1. Warga negara Republik Indonesia;
2. Bertempat tinggal di Indonesia;
3. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
4. Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
5. Berijazah sarjana yang berlatang belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
6. Lulus ujian yang dilakukan oleh Organisasi Advokat;
7. Magang sekurang-kuranhnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
8. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih ;
9. Berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil dan mempunyai integritas yang tinggi

SIAPA YANG DAPAT DIANGKAT SEBAGAI ADVOKAT ? ( UUA. P 2)
Adalah sarjana hukum berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat .
BERLATAR BELAKANG PENDIDIKAN TINGGI HUKUM (Penjelasan UUA.
Pasal 2 ayat (1) ) adalah lulusan ;
1. Fakultas Hukum;
2. Fakultas Syariah;
3. Perguruan Tinggi Hukum Militer;
4. Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
S T A T U S (Pasal 5)
Berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.
Wilayah kerja Advokat meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia
PENINDAKAN (.Pasal 6)
Advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan :
1. Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
2. Berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;
3. Bersikap, bertingkah laku, bertutur kata atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan atau pengadilan;
4. Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya; berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan atau harkat dan martabat profesinya;
5. Melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undang an dan atau perbuatan tercela;
6. Melangar sumpah/janji Advokat dan / atau kode etik profesi Advokat.
JENIS TINDAKAN THDP ADVOKAT ( Pasal 7)
1. Teguran lisan;
2. Teguran tertulis;
3. Pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan;
4. Pemberhentian tetap dari profesinya
SIAPA YANG MELAKUKAN PENINDAKAN?
Penindakan dilakukan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat dan tembusannya disampaikan kepada Mahkamah Agung. Pengadilan Tinggi, dan lembaga penegak hukum lainnya.

SEBAB BERHENTI ATAU DIBERHENTIKAN
a. Permohonan sendiri;
b. Dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 4 (empat) tahun atau lebih
c. Berdasarkan keputusan Organisasi Advokat

HAK DAN KEWAJIBAN
Advokat BEBAS :
a. Mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan; ( P.14)
b. Menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung-jawabnya (UUA. P. 14).
c. Kebebasan tersebut dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Advokat BERHAK ;
a. Dalam menjalankan profesinya memperoleh informasi, data dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingab kliennya sesuai dengan per-uu-an (P.17)
b. Atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap pernyataan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat. ( Pasal. 19)

KEKEBALAN ADVOKAT :
a. Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikat baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan. (P. 16)
b. Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat. (P. 18)
Advokat WAJIB :
a. Mengenakan atribut dalam sidang menangani perkara pidana (toga) (P. 25)
b. Memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu (P.22)
c. Tunduk dan mematuhi kode etik profesi Advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Orrganisasi Advokat (P.26).
d. Memberikan bimbingan, pelatihan, dan kesempatan praktik bagi calon advokat yang melakukan magang.
e. Bagi advokat asing memberikan jasa hukum secara cuma-cuma untuk suatu waktu tertentu kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum.
Advokat DILARANG ;
a. Dalam menjalankan tugas profesinya membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang soaial dan budaya (P.18)
b. Memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesi
c. Memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya;
d. Menjadi pejabat negara selama memangku jabatan tersebut. Namun tidak mengurangi hubungan keperdataannya dengan kantornya (P.20)
OFFICIUM NOBILE
1. Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile)
2. Dalam menjalankan profesinya harus bersikap sopan terhadap semua pihak namun wajib mempertahankan hak dan martabat Advokat
3. Tidak dibenarkan melakukan pekerjaan yang dapat merugikan kebebasan, derajat dan martabat Advokat.

HUBUNGAN ADVOKAT DG KLIEN
Seorang Advokat :
a. Dalam perkara perdata harus mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai;:
b. Tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan klien mengenai perkara yang diurusnya;
c. Tidak dibenarkan memberikan jaminan kepada klien bahwa perkara yang ditanganinya akan menang;
d. Dalam menentukan honorarium harus memperhatikan kemampuan klien;
e. Tidak dibenarkan membebani klien untuk biaya yang tidak perlu;
f. Dalam mengurus perkara yang cuma-cuma harus memberikan perhatian yang sama dengan klien yang mampu;
g. Harus menolak menangani suatu perkara yang diyakini tidak ada dasar hukumnya;
h. Wajib menjaga rahasia klien, juga setelah putus hubungan dengan klien;
i. Tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien, atau pada saat tugas akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien ;
j. dalam mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan perkara itu;
k. Memiliki hak retensi terhadap Klien sepanjang tidak merugikan kepentingan Klien.

HUBUNGAN DENGAN TEMAN SEJAWAT
a. Hubungan antara teman sejawat Advokat harus dilandasi sikap saling menghormati, saling menghargai dan saling mempercayai;
b. Jika membicarakan teman sejawat atau jika berhadapan satu sama lain dalam sidang Pengadilan, hendaknya tidak menggunakan kata-kata yang tidak sopan baik secara lisan maupun tertulis;
c. Keberatan terhadap tindakan teman sejawat yang dianggap bertentangan dengan Kode Etik Advokat, harus diajukan kepada Dewan Kehormatan untuk diperiksa dan tidak dibenarkan untuk disiarkan melalui media masa atau cara lain;
d. Tidak dibenarkan menarik atau merebut seorang klien dari teman sejawat;
e. Apabila klien hendak mengganti Advokat, maka Advokat yang baru hanya dapat menerima perkara itu setelah menerima bukti pencabutan pemberian kuasa kepada Advokat semula dan berkewajiban mengingatkan klien untuk memenuhi kewajibannya terhadap advokat semula;
f. Apabila suatu perkara kemudian diserahkan oleh klien kepada Advokat yang baru, maka Advokat yang semula wajib memberikan kepadanya semua surat dan keterangan penting untuk mengurus perkara itu, dengan memperhatikan hak retensi Advokat terhadap klien tersebut.
CARA BERTINDAK MENANGANI PERKARA
a. Surat- surat yang dikirim teman sejawat dalam suatu perkara dapat ditunjukkan kepada Hakim, apabila dianggap perlu, kecuali surat-surat itu dibubuhi catatan “Sans Prejudice”
b. Isi pembicaraan atau korespondensi dalam rangka upaya perdamaian antar Advokat – akan tetapi tidak berhasil, tidak dibenarkan untuk digunakan sebagai bukti di Pengadilan;
c. Dalam menghadapi sebuah perkara yang sedang berjalan (perdata – pidana), Advokat hanya dapat menghubungi Hakim, apabila bersama-sama dengan Advokat pihak lain atau Jaksa penuntut Umum. Apabila mengirimkan surat termasuk yang bersifat “ad informandum”, maka seketika itu hendaknya menyampaikan tembusan kepada Advokat pihak lawan;
d. Tidak dibenarkan mengajari dan atau mempengaruhi saksi-saksi yang diajukan pihak lawan, baik Advokat maupun Jaksa;
e. Apabila seorang Advokat mengetahui bahwa pihak lawan telah menunjuk seorang Advokat, maka pembicaraan mengenai perkara itu hanya boleh dilakukan melalui Advokat lawan tersebut;
f. Advokat bebas mengeluarkan pernyataan di dalam sidang pengadilan dalam rangka pembelaan dan memiliki immunitas hukum baik perdata maupun pidana;
g. Wajib memberikan bantuan hukum cuma-Cuma (prodeo);
h. Wajib menyampaikan pemberitahuan putusan pengadilan kepada klien pada waktunya.
TANGGUNG JAWAB ADVOKAT
1. Menegakkan keadilan;
2. Menegakkan supremasi hukum;
3. Menjunjung tinggi kode etik profesi advokat.
Tanggung jawab inilah yang merupakan pilar utama dari pengabdian seorang advokat, sehingga membutuhkan keahlian dan kemampuan yang mumpuni dalam mengawalnya

CATATAN KAKI:
[1] Makalah ini disampaikan oleh Marhendra Handoko, SHI, pada acara Pelatihan Adfokasi yang diadakan oleh HIMA Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada tanggal….,….., 2010.
[2] Adalah salah satu mahasiswa yang jadi panitia pada Acara Pelatihan Adfokasi yang diadakan oleh HIMA Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada tanggal….,….., 2010.