expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Rabu, 20 Januari 2010

RESUME TEORI TAFSIR

R E S U M E

T E O R I T A F S I R


Dibuat Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Studi Islam

Dosen Pengampu : Bpk. Khoirul Anam





Disusun Oleh :


09340042







FAKULTAS SYARI’AH

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YORYAKARTA

2009


TEORI TAFSIR


1.

Apakah Kita Mempunyai Teori Tafsir ?

Faktor terpenting yang membedakan kita sebagai umat (baik kita sebagai masyarakat kontemporer atau peradaban klasik) adalah karena kita menerima “wahyu” yang memiliki minimal tiga keistimewaan. Pertama, ia merupakan fase akhir perkembangan wahyu dalam sejarah sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Kedua, ia terjaga sebagai kitab dalam Al-Qur’an sehingga bebas dari bahaya perubahan yang telah menimpa Kitab-kitab suci lain (yaitu Taurat dan Injil di lingkungan Bani Israil). Ketiga, Al-Qur’an sebagai kitab suci yang tidak diturunkan secara bertahap seperti kata ulama “bukan sebagai wahyu yang diberikan, tetapi sebagai wahyu yang diserukan sesuai dengan tuntutan kondisi dan kebutuhan manusia”.

Al-Qur’an ditulis dalam bahas Arab, untuk mengetahui wahyu kita harus mengetahuinya dengan cara membaca dan memahaminya. Filsuf hukum islam teori maqashid syariah merupakan teori untuk memahami, padahal satu-satunya cara untuk memahami Al-Qur’an adalah teori tafsir. Menempatkan kembali wahyu sebagai sumber sekaligus obyek pengetahuan merupakan langkah awal yang niscaya sebelum mendeduksi hukum syariah, sebelum membangun ilmu keislaman apa pun, bahkan sebelum merekontruksi ilmu-ilmu tradisionalnya yang terdiri dari ushul, fikih, tasawuf, kalam dan filsafat.

Jika kita menengok kondisi kontemporer teori-teori kita dalam bidang tafsir, maka tidak memiliki teori solid solid yang mempunyai prinsip-prinsip yang teruji dan terseleksi, yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Sebab, tafsir kita tidak mempunyai fase syarah (komentar), tafsil (detailisasi), tikrar (pengulangan) dan penjelasan tentang apa yang sedikit banyak tidak dibutuhkannya. Seorang mufasir tidak berusaha memperbaiki kondisi manusia, padahal dia minimal harus mendengarkan dan memperbaiki kondisi mereka. Mufasir dalam situasi yang pertama adalah syarih (komentator), sedangkan yang kedua adalah khatib (retoris). Kdua-duanya bukanlah mufasir, karena mufasif adalah seorang muslim (reformer) penyeru untuk memperbaiki kondisi masyarakat, di mana ia melihat problem umat islam dengan segala pemecahannya di dalam teks.

Namun demikian ada faktor yang lebih penting daripada stile deskriptif, karena dua syarat asasi dan klasik bagi seorang mufasik (khususnya jika dia seorang fakih) adalah ilmu bahasa dan ilmu tanzil. Ilmu bahasa akan mengantarkan pada penentuan makna teks keagamaan setelah penerapan prinsip linguistik pada bahasa tertentu (seperti hakekat dan majaz, muhkam dan mutasyabih, mujmal dan mubayyan, zahi dan muawwal, mukayyad dan mutlak, am dan khas pada teks untuk menjamin kesahihan makna yang dideduksi daripadanya). Sedangkan ilmu tanzil memberikan asbabun nujul kepada mufasir tradisonal untuk mengetahui makna yang benar dalam suatu ayat dalam kaitannya dengan kejadian pertama di mana ayat itu diturunkan.

Jadi teori tafsir adalah teori yang menghubungkan antara wahyu dan realitas (katakanlah antara agama dan dunia atau, lebih afdal, antara Allah dan manusia). Jika melihat tafsir kontenporer kita, terlihar kita tidak memiliki teori yang solid. Sebab, ada ilmu-ilmu tarsir tradisional yang bertumpu pada ilmu-ilmu al-qur’an dan hadis tetapi kemudian ada realitas kontenporer yang dipikirkan oleh seseorang insane mandiri, yang tidak dilahirkan dari teks keagamaan secara langsung tetapi berangkat dari realitas dan situasi-situasi itu sendiri, yang berusaha untuk memahaminya dengan berlandaskan pada dorongan kemanusiaan murni. Artinya, kondisi mengungkapkan adanya dualisme antara teks keagamaan dan dunia nyata, yang berseberangan.

Ada upaya-upaya modern untuk menjembatani dualisme antara teks dan realitas model ini. Namun demikian, upaya-upaya ini didominasi oleh beberapa kelemahan, sehingga tidak menjadi teori tafsir yang solid, yang sebenarnya merupakan merupakan metode reformasi dan perubahan. Kelemahan pertama adalah karena tarsir itu selalu lebih merupakan teori tentang eksistensi allah daripada sebagai teori tentang eksistensi manusia. Artinya teori ini diarahkan untuk menegaskan wujud Allah dengan membahas esensi, sifat dan perbuatan-Nya, sekaligus mempertegas bahwa alam adalah ciptaan dan manusia akan diminta pertanggungjawaban. Tujuan asasi aspek dogmatis dan teologis islam sebenarnya adalah mengungkapkan pembentukan dan posisi manusia di dalam alam, khususnya karena maksud syari (Allah) secara “a priori”, menurut pakar-pakar ushul fikih, adalah melestarikan lima tujuan daruri (yang sudah banyak dikenal orang–yaitu agama, jiwa, akal, harga diri dan harta), yang kesemuanya merupakan dimensi dimensi zamani manusia.

Kelemahan kedua adalah karena tafsir kontenporer selalu terkait dengan kondisi local islam tempat dulu islam lahir khususnya dari segi sosial, dan ekonomi. Sebab, tafsir ini mempunyai herarki kelas dalam rejeki dengan menjelaskan ayat dan mengimati nilai spiritual dan moral dengan teks Al-Quran. Namun kadangkala, seperti dalam masalah perbudakan, tafsir dapat sampai pada kesimpulan mengharamkannya (Umar bin Khattab), padahal penafsiran literalis tidak akan sampai pada kesimpulan semacam itu.

Kelemahan ketiga adalah karena tidak pernah memulai dengan mengeritik, menyerukan perbaikan dan perubahan radikal atas kondisi yang bertentangan dengan agama. Sebaliknya, selalu mengekor dan mengukuhkan setiap perbaikan atau perubahan yang dimulai dari luar teks keagamaan, yaitu dari pemikiran manusia mandiri, yang diekspresikan dan dilaksanakan oleh seseorang pemberontak.

“Apakah kita punya teori tafsir”?? maka timbul jawaban dengan menegasikan sebab-sebab berikut ini:

1.

Tafsir masih merupakan bagian dari ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis tanpa memiliki prioritas sebagai teori epistemologi yang berlandaskan pada wahyu, karena tafsir merupakan logika wahyu.
2.

Tafsir tradisional berkutat di sekitar komentar, tafsir dan bagian yang tidak ada urgensinya, yang tidak memperhatikan makna teks independen maupun kondisi kontenporer umat.
3.

Tafsir didominasi oleh logika bahasa untuk mendeduksi makna dari teks dengan bantuan asbabun nuzul, tanpa mempergunakan intuisi langsung teks untuk memahami makna yang jelas secara langsung dengan menunjuk kepada pengalaman hidup kontenporer yang didasari oleh mufasir dalam kehidupan pribadi dan sosialnya, yang sebenarnya merupakan sisi lain teks lain agama.
4.

Kelemahan-kelemahan upaya tafsir moderen. Pertama, karena lebih diarahkan pada dimensi dogmatis teologis dibandingkan dimensi manusia dalam hubungannya dengan orang lain dan alam. Kedua, karena tidak memecahkan kondisi kontenporer karena cukup untuk mengetahui sejauh apa komitmennya, khususnya karena feodalisme dan imperialisme selalu merongrong sebagian besar masyarakat Islam, sehingga sangat mengharuskan penafsiran refolusioner. Ketiga, karena merupakan penafsiran yang mengekor dan menguatkan, bukan penafsiran yang memulai, mengeritik dan menciptakan.


2.

Mana Lebih Dahulu: Teori Tafsir atau Metode Analisis Pengalaman?

Semua tafsir tradisional mengikuti metode analisis teoritis, baik dengan menukil otoritas riwayat (alma’thur) maupun penafsiran rasional (rafsir bi l-ra’y). artinya seorang mufasir (seperti yang dikatakan sebelumnya, tidak terkecuali komentator) mendeduksi makna dari teks dengan menggunakan akal murni kemudian memperkuat sikapnya dengan otoritas riwayat atau argumen rasional. Metode analisis kritis ini memiliki tiga kelemahan:

1.

Berpendapat berdasarkan otoritas riwayat, walau semua jalur periwayatan mengatakan kesahihannya, meninggalkan makna teks tanpa hujjah dari dalam teks, karena argumen dari otoritas-riwayat memperkuat makna dideduksi oleh si mufasir daripadanya secara dzanni (probable), yaitu bahwa kepastian otoritas-riwayat tidak mempengarui kedzannian (probabilitas) makna yang diberikan oleh mufasir. Sebagai akibatnya, dimana berpendapat dengan landasan otoritas riwayat tidak dapat memberikannya dari luar dirinya.
2.

Karena tafsir rasional (walau berasal dari makna yang sama, yang diberikan oleh mufasir karena keduanya adalah makna) lebih baik daripada perpendapat berdasarkan-otoritas riwayat tetapi juga dzanni, padahal dzann (probabilitas) tidak dapat merubah dzann menjadi kepastian, terutama sekali dalam kasus terjadi berbagai bahkan berrtentangan pendapat. Sebagai akibatnya, mana yang harus diambil? Mana yang ;ebih rajin?
3.

Karena mufasir mengomentari setiap teks tanpa kecuali (baik ketika dibutuhkan maupun tidak), karena ia mulai dari awal hingga akhir surat, dari awal hingga akhir rubu’ atau dari awal hingga akhir hizb padahal Al-Quran diturunkan secara bertahap: setiap ayat mengandung makna independen sebagai pemecahan atas situasi yang pelik dalam kehidupan sehari-hari manusia, bahkan sampai ayat-ayat yang memaksa mufasir untuk mengomentarinya sekuat mungkin.

Mana lebih dahulu: teori tafsir atau metode analisis pengalaman?, maka dapat dikatakan bahwa metode analisis pengalaman merupakan teori satu-satunya yang mungkin dalam tafsir. Sebab, pemahaman teks tidak akan terjadi kecuali dengan merujukkan pada sumbernya dalam pengalaman hidup dimana ia tumbuh, karena mufasir pada waktu yang bersamaan adalah pembaca buku. Untuk memahami, “boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal sesuatu itu lebih baik bagi kalian. Sebaliknya boleh jadi kalian menyukai sesuatu, padahal sesuatu itu buruk bagi kalian” ia tidak perlu mengkaji maknanya. Namun demikian, ia perlu menganalisis kehidupannya kesehariannya, yang mungkin membantunya memulai suatu pengalaman atau lebih yang menjelaskan kepadanya bahwa apa yang suatu ketika ia sangka buruk, ternyata sekarang terbukti baik. Sebaliknya, apa yang suatu ketika ia sangka baik ternyata terbukti buruk.

Ringkasan poin-poin:

1.

Kelemahan tafsir teoritis yang mulai dengan mengomentari teks keagamaan secara total (baik berlandaskan pada otoritas riwayat atau otoritas akal). Sebab makna teks tetap aja dzanni, yang membutuhkan kepastian yang dating dari dalam dirinya dan dikaitkan dengan realitas dan menjadikan realitas ini sinonimnya.
2.

Keharusan membahas makna teks dalam pengalaman hidup yang ditunjuk oleh oleh teks, yang dari situ merubah penglihatan makna rasional menjadi kesaksian faktual.
3.

Tidak ada keterdahuluan zamani antara pemahaman makna dari teks dan analisis pengalaman hidup yang tumbuh daripadanya, tetapi ada kebersamaan zamani karena makna adalah penjamin bagi kebenaran analisis pengalaman, bahkan bagi pemilihan faktualitasnya.
4.

Metode baru dalam analisis pengalaman tidaklah asing bagi peradaban islam dan tidak mengekor metode lain, karena ia lahir dari beberapa bentuk dalam ilmu-ilmu keislaman (baik dalam ilmu-ilmu Al-Quran dan hadiss, ilmu fikih, tasawuf, bahkan dalam ilmu kalam dan filsafat).
5.

Metode ini tidak merusak wahyu sebagai sumber ilahiah teks. Sebab, wahyu selalu menjaminsubyektivitas pengalaman, mempercayai pemberian positivitas pohon islam, karena wahyu adalah penjaminnya yang pertama dalam kebenaran analisis wujud kemanusiaan.


3.

Kembali kepada Sumber atau Kembali kepada Alam

Gerakan salafiah, yang menyeru kepada otentisitas, berciri mengajak kembali kepada yang-lama dibawah slogan “Kembali kepada Sumber” (Retour aux Sources). Artinya kembali kepada kitab suci. Slogan Luther dalam reformasi agama adalah Solo Scriptura (hanya kitab suci saja).

Jika hal ini terjadi dari niat baik, maka tampaklah kesulitan, yang menyebabkan “Kembali kepada Sumber”, yaitu merubah masa kini sesuai dengan model masa lalu. Kesulitan Pertama, benturan dengan linguistik, karena sumber adalah kitab suci (yaitu teks), yang tidak dapat diajak berkomunikasi kecuali sengan perantaran bahasa. Kesulitan kedua, terjeak dalam tafsir yang bertentangan dengan dengan gerakan realitas dan menjadikan “Kembali pada sumber” sebagai sarana untuk menumpas perubahan realitas alamiah, khususnya jika bahasa memungkinkan itu. Kesulitan ketiga, jika tafsir progresif sosial benar-benar terjadi, seperti yang ada dalam Tafsir Al-Manar, tetapi progress lahir dari realitas, teks mengikuti.


dartar pustaka
hasan hanafi terjemahan Yudian Wahyudi.... (Lupa deh tahun terbitnya)yang pasti ini asli kok baik untuk kepustakaan. ok

Artikel Terkait Lainnya :



Comments
1 Comments
Widget edited by fmhi

1 komentar:

  1. kalo teori harus mengungkap sebuah makna pemahaman tertentu maka diperlukan teori interpretasinya sebelum teori tafsir. Bersama kami mengkaji Teori Tafsir akan menemukan sebuah interpretasi yang mengungkap sebuah penalaran yang benar dari fenomena ayat Al-Qur'an.

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...