expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 30 Januari 2010

Islamisasi or Politisasi Islam : Dinamika Politik Dana Mbojo Satu Pekade Terakhir (2000-2010) (1)



Oleh : Syarifuddin Jurdi(3)

PENGANTAR
Iklim politik Bima atau kita sebut saja dana Mbojo dewasa ini sudah semakin “kosmopolitan”, berbagai tanda yang menunjukkan kosmopolitan itu dapat dilihat dengan penataan kota, gaya hidup, budaya hedonisme dan konsurnerisme telah menjadi bagiar-bagian dari kehidupan sebagian masyarakat, tentu didukung oleh modernisasi alat transformasi seperti ojek, juga memasyarakatnya HP sebagai tanda modernisasi.
Pada saat yang sama kita menyaksikan praktek politik kaum elite yang sulit dibedakan (antara mereka yang berkuasa atau pun yang berusaha meraih berkuasa) antara yang sungguh-sungguh berjuang untuk memajukan dana Mbojo dengan mereka yang hanya "menumpang" untuk mecani hidup dan menggunakan seluruh simbol budaya, agama dan politik dou Mbojo untuk "menghancurkan” identitas dou Mbojo. Komitmen elite politik untuk membangun Mbojo yang lebih maju dan mensejahterakan rakyat semakin diragukan, apakah mereka yang kini berkuasa benar-benar punya ittikad baik untuk membangun dana Mbojo atau hanya sekedar bertopeng dibalik isu-isu politik "manipulatif” untuk menipu dan membodohi rakyat?
Melalui tulisan sederhana ini, saya akan menunjukkan beberapa persoalan empirik yang sedang dihadapi oleh masyarakat Mbojo, tentu apa yang akan saya tunjukkan ini belum dapat mewakili apa yang menjadi kegelisahan masyarakat Bima, juga apa yang akan saya kemukakan ini oleh sebagian dou Mbojo akan membantahnya, itu hal biasa dalam dunia Demokrasi asal dilakukan dengan cara-cara yang argumentative, rasional dan didukung oleh data-data empirik, meskipun data sekunder seperti yang digunakan oleh Geroge Junus Aditjondro dalam bukunya Membongkat Gurita Cikeas Dibalik Skandal Bank Century. Tulisan ini akan menelusuri proyek islamisasi dana Mbojo dengan pendekatan historic dengan memetakan bagaimana proses Islamisasi berlangsung di Bima, kemudian akan melihat dengan pendekatan kontekstual- khususnya pada rnasa rezim otoriter (Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru) dan usaha re-Islamisasi yang dilakukan oleh elite-elite daerah Bima dalam sepuluh tahun terakhir, diakhiri dengan usaha melihat kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Apakah kebijakan pemerintah Bima dewasa ini sudah mensejahterakan rakyat atau justru membuat penderitaan bagi rakyat?

Islamisasi Masyarakat Bima: Pendekatan Historis
Dalam konteks sejarah masyarakat Bima, kita dapat menyebut proses Islamisasi generasi pertama terjadi sejak kerajaan Bima membangun kontak dengan kerajaan Tallo dan kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, setidaknya dua kerajaan itu telah lebih dahulu terjadi Islamisasi setelah kedatangan Chatib Tuaggal (Dato ri Bandang), Chatib Sulaeman ( Dato ri Patimang) dan Chatib Bungsu (Dato ri Tiro) yang terjadi antara abad ke-14 sampai abad ke-15. Sementara Islamisasi di Bima dimulai dengan masuk Islamnya raja Bima La Ka'i yang keimudian berganti nama menjadi Sultan Abdul Kahir pada tanggal 5 Juli 1640, sejak saat itu pemerintahan di Bima menjalankan kekuasaan dengan syariat Islam. Meski pemerintahan secara resmi dijalankan diatas syariat, namun adat tetap dipertahankan sebagai pedoman dalam menjalankan pemerintahan.(4)
Proses transmisi Islam ke dalam wilayah kekuasaan membuka kemungkinan agama ini akan melakukan transmisi ke dalam kehidupan masyarakat secara cepat Dengan memahami konteks sosio‑politik Islamisasi generasi awal tersebut, Islam diterima sebagai seperangkat dogma dan nilai yang memandu kehidupan masyarakat, Islam yang diterima tidak seluruhnya berdasarkan pada nilai-nilai keagamaan yang otentik, Islam diterima dengan sejumlah persyaratan seperti tradisi dan kebiasaan masyarakat yang telah berurat-akar tidak boleh dihilangkan begitu saja, tegasnya Islam diterima dengan modifikasi berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Pasca kepemimpinan Sultan Abdul Kahir (La Ka'i), kepemimpinan di Bima masih memiliki pola Islamisasi yang sama dengan menguatkan pencerahan bagi warga, karena itu, Islam pasca Sultan Abdul Kahir dipergunakan sebagai ideologi gerakan untuk menentang segala bentuk kolonialisme dalam bentuk apapun, termasuk kerajaan Mbojo menentang keras segala tindakan dan perilaku pemerintah Kolonial Belanda yang dengan berbagai dalih ingin masuk ke dana Mbojo. Dengan sikapnya yang tegas terhadap Kolonialisme tersebut, kerajaan Mbojo tetap dihormati dan dihargai di wilayah Indonesia Timur, selain itu, kerajaan Mbojo membangun hubungan mutualistik dengan kerajaan Gowa, kerajaan Tallo, Kerajaan Bone dan Luwu di Sulawesi Selatan.
Kendati sikap tegas dan keras pernah ditunjukkan oleh kerajaan terhadap kolonialisme, namun pada 1906, kerajaan Mbojo berhasil ditaklukkan Belanda dan mengakui kekuasaan Belanda. Sikap kerajaan pada waktu itu melahirkan gerakan perlawanan rakyat atas kerajaan dan sekaligus perlawanan terhadap Belanda yang sudah mulai menguasai dana Mbojo. Setidaknya terdapat empat Galarang yang memprotes sikap kerajaan yang ketika itu di pimpin oleh Sultan Ibrahim yaitu galarang Ngali, Kalla, Dena dan Rasanggaro. Implikasi dari sikap protes tersebut, keempat galarang tersebut terpaksa mengangkat senjata untuk melawan kolonial Belanda, maka meletuslah perang Ngali, perang Kalla (Donggo), perang Denah dan perang Rasanggaro. Di antara perang tersebut, perang Ngalilah yang paling besar.
Apa yang ternjadi dasar mengapa keempat galarang tersebut melakukan perlaewanan? Menurut keterangan sebagian dou matua dan literatur yang membahas tentang hal tersebut adalah ideologi keagamaan. Islam-lah yang menjadi dasar mengapa mereka melakukan perlawanan, mereka mengumandangkar, tasbih, tahlil, tahmid dan takbir. Di Masjid besar Ngali misalnya dilantunkan ayat­-ayat suci al-Qur'an untuk mengobarkan samangat perlawanan warga, demikian pula pada perang Kalla, Dena dan Rasanggaro.(5)
Dengan sangat jelas, proyek Islamisasi yang dilakukan pra kemerdekaan yang berlangsung sejak kerajaan Mbojo menganut Islam dipandang sangat sukses, karena Islam tidak hanya menjadi simbol-simbol politik kerajaan semata, kendati kerajaan sendiri tidak lagi peduli dengan proyeknya sendiri, tetapi kesadaran ideologis dan keagamaan masyarakat Mbojo terhadap kolonialisme dan penjajahan dalam bentuk apapun telah tertanam begitu kuat dalam masyarakat, ini kita anggap sebagai keberhasilan proyek Islamisasi — yang semula mengandalkan pendekatan struktural, namun dalam perkembangannya dengan sangat meyakinkan justru pendekatan kultural telah membangunkan masyarakat dari ketertindasannya.
Islamsasi yang berlangsung di dana Mbojo harus dibaca dengan memahami proses transmisi Islam melalui proyek struktural yang secara meyakinkan berhasil mencipta masyarakat yang memiliki kesadaran teologis dan kesadaran itu telah membangkitkan mereka dari ketertindasan, Islam bagi dou Mbojo dengan meminjam Ali Syariati telah menjadikan Islam sebagai ideologi gerakan perlawanan terhadap hegemoni asing, ketidakadilan, kolonialisme dan berbagai bentuk penjajahan.
Dengan memahami posisi negara (kerajaan) dan masyarakat pada periode pra kemerdekaan, maka dapat disederhanakan bahwa proyek Islamisasi yang digagas oleh kerajaan sangat sukses dengan menciptakan sejumlah identitas lokal atau budaya lokal yang religius seperti budaya rimpu, budaya ini merupakan budaya yang sangat Islami, karena mengajarkan perernpuan untuk menutup aurat, menutup aurat menurut budaya Mbojo adalah rimpu, menutup aurat bagi masyarakat modern memakai jilbab, bagi masyarakat yang lain dengan cara yang lain pula, toh Nabi tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa model tutup aurat harus pakai jilbab. Dalam aktivisme warga yang terkait dengan kehidupannya, Islamisasi pra kemerdekaan kita harus mengakui sangat sukses.
Sebenarnya kita dapat saja mernbuat sejumlah daftar mengapa kita menyebut Islamisasi pra kemerdekaan sukses, misalnya aktivitas budaya Islami berlangsung secara merata di berbagai Desa dan pelosok dana Mbojo. Pada dekade-dekade terdahulu, kegiatan budaya berupa belajar mengaji atau membaca al-Qur'an berlangsung secara massif hingga dekade awal 1990-an. Apa yang terjadi sebenarnya merupakan realisasi dari warisan intelektual Islam yang sudah berurat-akar pada masyarakat. Banyak dou matua yang secara talus ikhlas mengajarkan anak-anak agar pandai membaca al-Qur'an tanpa dipungut biaya satu sen pun, mereka hanya mengharapkan pamrih sosial, artinya anak didiknya agar bisa baca Al-Qur’an dengan baik. Demikian pula budaya gotong royong yang merupakan warisan kemanusiaan dari budaya nusantara dan Mbojo sangat mewarnai kehidupan masyarakat kala itu. Dengan tegas saya harus menyebutkan bahwa proyek Islamisasi sangat sukses, mengangkat masyarakat dari ketertindasan, dari kebodohan, dari “kafir” atau belum Islam ke Islam yang identik dengan cahaya yang terus menerus menerangi kehidupannya dan menjadikan ideologi Islam sebagai ideologi masyarakat. Apakah masih berlangsung proyek Islamisasi atau minimal, mempertahankan warisan intelektual Islam periode pra kemerdekaan pada periode setelahnya?

Pendekatan Kontesktual Islamisasi Dana Mbojo
Sejak dekade 1950-an, nuansa Islam di Bima mulai mengalami pemudaran akibat langsung dari kondisi politik bangsa yang bergejolak, khususnya setelah peristiwa PRRI/Permesta di Sumatera Berat, kasus DI/TII di Jawa Barat, Aceh den Sulawesi Selatan. Pada periode yang sama, partai Masyumi sebagai partai yang dominan di Bima masih terus menjalankan aktivitasnya, namun kondisi politik nasional mulai mengalami perubahan yang ditandai, dengan langkah Soekarno menciptakan pra­kondisi untuk memuluskan jalannya membentuk Demokrasi Terpimpin dan akhirnya 1959, Soekarno mengeluarkan dekrtit Presiden yang membubarkan Parlemen dan membentuk pemerintahan baru yang langsung dipimpin Soekarno sendiri.(6)
Sejak perubahan politik tersebut, segera bergeser pada perubahan di berbagai daerah tersebutkan disini yang terasa adalah lembaga adat dan lembaga Islam (mahkamah syariah) mengalami perubahan, bahkan sejak akhir 1950-an, Mahkamah Syariah yang selama ini sebagai lembaga politik penting pada kerajaan Bima mulai kehilangan eksistensinya, padahal itu kita sebut sebagai identitas lokal dou Mbojo yang merupakan hasil dari Islamisasi sebelumnya. Pemudaran tersebut – entah berkaitan atau tidak, dengan hilangnya Sultan Muhammad Shalahuddin. Menurut Muma (Kyai Haji Abdul Ghany Masjkur) sejak akhir dekade 1950-an, lembaga-lembaga Islam yang menjadi simbol kekuasaan islam di Bima mulai mengalami pemudaran pengaruhnya, hingga Demokrasi Terpimpin dan terus menerus terjadi pada masa Orde Baru, Mahkamah Syariah tidak lagi berfungsi sebagai lembaga yang bertugas mengawal jalannya pemerintahan.(7)
Pemudaran pengaruh Islam di dana Mbojo terus dirasakan selama periode Orde Baru, bahkan simbol-simbol budaya dan warisan kekuasaan Islam di Bima Perlahan-lahan hilang. Pada dekade 1970-an dan 1980-an, sejumlah simbol-simbol kebudayaan dou Mbojo dan warisan kerajaan diambil oleh Bupati yang berkuasa antara periode tersebut. Pada periode yang sama terjadi modernisasi yang signifikan, ditandai dengar, modernisasi pada bidang pertanian, modernisasi ini membawa manfaat dan kebaikar kepada para petani seperti pupuk, bibit dan alat-alat modern lain (mesin pembajak sawah dll.) memberi efek bagi peningkatan hasil produk pertanian. Sejalan dengan itu, industri komunikasi seperti media massa dan TV mulai menjangkau masyarakat pedesaan dan pedalaman yang menyebabkan masyarakat cepat memperoleh informasi-informasi dari berbagai kota dan belahan dunia lainnya.
Sejak Demokrasi Terpimpin hingga kejatuhan Ode Baru 1998, proses Islamisasi di dana Mbojo nyaris tidak memiliki greget lagi, bahkan pamornya mengalami pemudaran yang signifikan, secara struktural - Islamisasi mengalami kegagalan total bahkan kekuasaan selama Orde Baru memiliki varian sikap terhadap Islam, mulai dari sikap antagonis (antara 1968-1982), kemudian antara Islam dan negara mengembangkan sikap resiprokal kritis (1982-1988) dan sejak 1988, Negara mengakomodasi sejumlah aspirasi Islam. Dengan membaca konteks politik nasional tersebut, dengan watak sentralistik Orde Baru, tentu implikasi tersebut merambah ke sejumlah daerah termasuk di Bima, maka mustahil melakukan gerakan Islamisasi pada ranah struktur dan demikian pula pada ranah kultural. Kuatnya kelompok phobi Islam dalam struktur negara pada era 1970-an sampai 1980-an menyulitkan proyek Islamisasi, bahkan para ustadz yang mau khutbah harus membuat naskah khutbahnya untuk diserahkan ke Babinsa atau Kapolsek, apabila tidak menyerahkan naskah khutbahnya, akan diancam akan ditangkap dan dipenjara.
Negara termasuk negara lokal Bima tidak berpretensi melarang Islam ibadah, Islam masjid atau Islam ritual, yang mereka "musuhi" adalah Islam politik dan Islamisme yang mengusung isu negara Islam atau teokrasi. Itulah sebabnya, Islam ritual, Islam ibadah dan Islam masjid di Bima berkembang dengan baik, kegiatan mengaji dan aktivitas keagamaan berlangsung dengan baik. Inilah yang sedikit memelihara warisan kebudayaan Islam di Bima, tanpa adanya tokoh-tokoh yang gigih terus berjuang pada ranah kultural tersebut, maka tentulah sulit bagi generasi yang hidup antara 1970-an - akhir 1990-an untuk menyaksikan aktivitas keagamaan yang mengagumkan.
Kegagalan dalam proyeks Islamisasi pada masa Orde Baru, juga berimbas pada rendahnya tingkat kesejahteraan warga. Hasil-hasil pertanian yang merupakan mata pencaharian mayoritas masyarakat Bima tidak cukup mengangkat kesejahteraannya, meski program pemerintah pada sektor pertanian dianggap sukses di Bima, sehingga masyarakat Bima pada masa itu surplus beras, tetapi itu tidak banyak mengangkat tingkat kesejahteraan warga, karena harga padi sangat rendah. Setidaknya dapat dikatakan bahwa hasil modernisasi membawa implikasi bagi peningkatan materi, tetapi warga kurang bahagia dalam mengamalkan dan mensosialisasikan ajaran Islam yang dipahaminya.

Re-Islamisasi or Repolitisasi: Islam di Bima 2000-2010
Pasca kejatuhan Orde Baru telah membuka Jalan bagi sejumlah gerakan Islam untuk mengembangkan aktivismenya yang selama rezim sebelumnya dibatasi ruang gerakrya. proyeks re­-Islamisasi menjadi pilihan sejumlah daerah di Indonesia, di Bulukumba (Sulsel) dianggap daerah yang sukses melakukan Islamisasi dengan lahirnya sejumlah Perda syariat, demikiar pula dengan sejumlah daerah lainya di Jawa Barat dan daerah-daerah lainnya. Sejalan dengan itu, gerakan revivalisme Islam tumbuh dan berkembang, mulai dari pusat hingga ke daerah-daerah, termasuk di dana Mbojo.
Keinginan untuk melakukan reformasi terhadap nilai-nilai lama sudah menjadi harapan umum warga, masyarakat Bima menghendaki perubahan mendasar pada level sistem dan struktur politik, khususnya sistem yang tidak mecerminkan nilai-nilai etis Islam. Keinginan untuk mengganti sistem lama yang sekuler dengan sistem baru yang Islami (nizam islami) atau Islam sebagai alternatif (al-islam ka badil) Islam adalah solusi (al-islam huwa al-hall) atau syariat sebagai solusi krisis yang sudah tertanam kuat di sebagian aktivis gerakan Islam politik.
Pada ruang inilah spirit untuk mentransmisikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat Bima dikonseptualisasi dan diorganisir menjadi agenda politik yang akan diperjuangkan. Bagi para aktor gerakan Islam memandang dana Mbojo telah kehilangan identitasnya sebagai masyarakat yang religius, bahkan warisan intelektual dari proyek Islamisasi pra kemerdekaan nyaris hilang oleh arus modernisasi dan globalisasi yang begitu massif terjadi belakangan ini. Sehingga ruang publik (public sphere) yang tadinya diisi dengan aktivitas yang positif bergeser dengan aktivitas yang tidak saja merugikan, tetapi justru menunjukkan identitas lokal Bima telah hilang, sebagian kaum muda telah terjerumus ke dalam budaya permisif, hedonisme dan konsumerisme. Ini kerugian yang sangat besar, kalau tidak segera disadari oleh elite Mbojo, baik elite politik, elite agama, intelektual dan budayawan atau pun dou matua.
Untuk merespons keadaan yang bergeser secara massif tersebut, para aktivis gerakan Islam seperti Nurfarhaty, Sathur Ahmad, Ichwan Syamsuddin dan tentu saja mereka yang berkecimpung dalam orgonisasi gerakan menjadi tumpuan harapan untuk menggalang kembali gerakan kebangkitan (revivalisme) islam di bima. Apa yang kita maksudkan dengan gerakan revivalisme Islam itu adalah gerakan untuk mengajak untuk kembali kepada nilai-nilai otentik islam. Menurut Dekmejian kebangkitan Islam menggambarkan tingginya kesadaran Islam di kalangan umat Islam, bentuk Islam yang merakyat ini ditunjukkan dengan menyebarnya masyarakat yang dipenuhi kebajikan dan persaudaraan dan ketaatan yang mencolok untuk mempraktekkan ajaran-ajaran Islam. Dalam aktivisme keagamaan selalu melibatkan kelompok Islam militan. Kelompok militan memiliki kesadaran politik tinggi, bermusuhan dengan negara sekular dan aparat pemerintah. Antara gerakan revivalis Islam dengan kelompok militan memiliki hubungan simbiotik dimana kelompok militan akan mudah melakukan rekruitmen anggota-anggota baru, dan mudah pula bersembunyi di balik gerakan kebangkitan islam ketika berkonfrontasi dengan penguasa. Tidak heran kalau dikatakan bahwa gerakan revivalis Islam dianggap sebagai suatu rangkaian kesatuan yang dinamis antara spiritualisme pasif-apolitis dengan militansi dan radikalisme.(8)
Kaum pergerakan di Bima memiliki orientasi politik yang sama yakni mewujudkan kehidupan masyarakat Bima yang religius. Saya melihat kaum pergerakan di dana Mbojo dapat dimasukkan ke dalam apa yang disebut Oliver Roy dengan Islamism dan neo-fundamentalis, Roy menyebut Islamism sebagai paham keagamaan Islam kontemporer yang memandang bahwa Islam adalah ideologi politik (Islamis as a political ideology) lebih dari sekedar agama sebagaimana pandangan yang berkembang di dalam masyarakat Barat(9). Sedangkan John L Esposito menyebutnya dengan upaya kembali kepada kepercayaan fundamental Islam, dalam seluruh aktivitasnya, kaum revivalis-fundamentalis mendasarkan segala aktivitasnya pada pemahaman al-Qur'an dari Sunnah secara literal. Gerakan revivalis Islam menurut Esposito tidak identik dengan ekstremisme, fanatisme, aktivisme politik, terorisme dan anti-Amerika. Karma itu Esposito lebih memilih menggunakan Islamic revivalism atau aktivisme Islam, untuk menggambarkan gerakan kebangkitan Islam kontemporer, karena terma ini dianggap memiliki akan tradisi Islam.(10)
Kita melihat gerakan kaum muda Muslim Mbojo dewaso ini termasuk dalam definisi gerakan revivalis model Esposito, mereka memiliki keinginan k.uat untuk mengajak masyarakat kembali kepada nilai-nilai otentik Islam, hanya dengan kembali mengamalkan nilai-nilai otentik Islam itulan menurut para aktor yang mempejuangkannya, dana Mbojo dapat bangkit, karena Islam sudah menjadi batu bata yang menjadi landasan masyarakat Mbojo. Dalam pesisi inilah saya melihat peluang politik terbuka luas pasca kejatuhan Orde Baru 1998, tidak laima berselang di Bima terjadi suksesi kepemimpinan daerah, kalau selama beberapa decade, Bima selalu di pimpin oleh "kolonial" dari bangsa lain, maka momentum suksesi 2000 itulah peluang untuk membangun kembali Bima. Meski bukan yang paling baik yang terpilih sebagai Bupati, tetapi semua warga memiliki optimisme yang tinggi untuk membumikan kembali nilai-nilai Islam, mulai dari struktur kekuasaan sampai ke jantung masyarakat dan pelosok-pedalaman.
Itulah sebabnya, masa depan dana Mbojo akan ditentukan oleh kebijakan-kebijakan Starategis yang diambil oleh pemerintah berkuasa. Kebijakan dengan pendekatan sosio-kultural harus dikedepankan bila dibandingkan dengan kebijakan yang hanya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan administratif- birokratis. Kesejahteraan dan kemajuan hanya menjadi "mimpi" bagi masyarakat, kalau para pemimpinnya tidak sungguh-sungguh merealisasikan janji mensejahterakan rakyat, sebab kalau tidak, isu kemiskinan dan kesejahteraan akan menjadi alat politisi untuk memanipulasi dukungan rakyat yang akan dipergunakan oleh elite-elite yang mau berkuasa untuk mencari simpati masyarakat, meski dalam hati yang paling dalam, elite politik yang menjual isu kesejahteraan, memberantas kemiskinan dan kemajuan tidak memiliki kapasitas, konsep, dan kemauan untuk memajukan daerah Mbojo.
Kita semua ingat, ketika Zainul Arifin terpilih sebagai Bupati Bima pada tahun 2000, semua masyarakat Bima menaruh harapan besar agar Bupati yang berasal dari putra asli Bima tersebut meletakkan dasar praktek politik di Bima yang member harapan bagi konstruksi Bima yang lebih maju dan mensejahterakan rakyatnya yang berlandaskan nillai-nilai etis agama. Sebagian harapan masyarakat pada periode awal kepennimpinan Bima pasca reformasi, telah memberikan perhatian pada rumusan-rumusan peraturan daerah (Perda) yang mencerminkan nilai-nilai religius dalam masyarakat Bima. Terdapat sejumlah Perda yang disahkan pada periode tersebut yaitu Perda Jum'at Khusu', Perda Pelacuran, Perda Kemaksiatan dan Minuman Keras dan berbagai Perda yang membuka ruang bagi konstruksi masyarakat Bima yang religius.
Semboyang yang digaungkan pada periode tersebut adalah BIMA IKHLAS, konsep tersebut sepenuhnya diambil dari teks Islam (Qur'an). Diatas kertas, gagasan Islamisasi masyarakat dengan pendekatan struktural tidak ada yang salah dan semua masyarakat memberikan dukungannya, karena itulah masyarakat Bima mengharapkan agar kebijakan politik tersebut dapat dilaksanakan, tidak hanya berlaku untuk rakyat, tetapi berlaku semua bagi dou Mbojo dan siapa saja yang berdomisili di Bima termasuk elite-elite berkuasa.
Gagasan Islamisasi tersebut direspons dengan baik oleh masyarakat, gerakan-gerakan sosial Islam yang telah lama memperjuangkan Islamisasi dengan pendekatan kultural menganggap kebijakan tersebut membantu mereka untuk membumikan nlai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat. Proyek Islamisasi berlangsung pada dua ranah yaitu pada ranah politik struktural dan pada ranah kultural dengan mengintensifkan program pemberdayaan dan penguatan dengan nilai-nilai Islam, khususnya yang dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam. Intensifnya aktivitas Islam yang dilakukan oleh pemerintah dan juga yang dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam telah memberi optimisme yang kuat di kalangan warga masyarakat secara meluas, karena itu, pemerintahan Zainul pada awalnya memperoleh sambutan dan antusiasme warga yang begitu luas, karena proyek Islamisasi yang diusungnya.
Apakah langkah Islamisasi Zainul pasca Orde Baru tersebut berhasil? Sekali lagi diatas kertas konsep-konsep Islamisasi yang dirintisnya sangat menarik untuk diteruskan, namun dalam tempo dua tahun berkuasa, pemerintahan Zainul kehilangan orientasi, entah ada motif-motif politik tertentu atau tidak, yang pasti sebagian bangunan Islamisasi yang dirumuskan pemerintah dengan pendekatan strukturalnya, justru mereka sendirilah yang melanggarkan, inilah aural delegitimasi kekuasaan Zainul. Ia tidak konsisten dengan gagasannya sendiri, masyarakat punya hak politik untuk melegifimasi atau mendelegitimasi kekuasaan siapa saja, akibatnya pada Pilkada Juni 2005, Zainul dengan sangat telah kalah dari Ferry Zulkarnaen. Padahal prediksi sejumlah pengamat dari lembaga survei, Zainul masih berpeluang besar memenangi Pilkada 2005.
Kemenangan Ferry tidak terlepas dari kegagalan Zainul dalam merealisasikan gagasan politiknya, selain itu, warga memiliki harapan yang besar terhadap kepemimpinan Ferry (Putra Mahkota [Raja Bima]) untuk merevitaiisasi konsep Islamisasi Zainul. Pada awal kekuasaannya, Ferry juga mengusung ide membumikan al-Qur'an atau bahkan proyek Bima Qur'ani, suatu konsep yang sangat baik, tentu warga Mbojo tidak punya alasan menolak gagasan tersebut. Pertanyaannya apakah gagasan Bima Qur'ani yang digagas Ferry lima tahun yang lalu terwujud atau minimal ada tanda bahwa proyek itu benar-benar digarap? Ataukah itu hanya politisasi Islam untuk kepentingan kekuasaan? Apakah tingkah laku penguasa selama lima tahun terakhir ini mengarah kepada konstruksi Bima yang religius atau Bima yang lebih maju?

Dana Mbojo: Mungkinkah Dou Mbojo Sejahtera?
Dengan menggunakan pendekatan ilmu- ilmu sosial dan pendekatan keterlibatan, maka masyarakat merupakan suatu struktur yang kait mengait dan penekanan pada konsensus, stabilitas, integrasi dan hubungan fungsional antar berbagai komponen dalam masyarakat tersebut. Setiap individu dalam masyarakat mengintegrasikan diri dengan sistem dan struktur yang ada, proses integrasi ini mengindikasikan adanya stabilitas yang didasarkan pada keharusan fungsional ataupun berdasarkan konsensus nilai-nilai yang disepakati bersama.
Dengan pendekatan ini, perubahan akan sulit terjadi, karena pendekatan ini mendukung kemapanan dan status quo, mereka yang sudah terlanjur hidup sulit dan miskin akan "dipelihara" untuk tetap terus-menerus miskin, sementara yang kaya dan elite akan terus-menerus menjadi elite dan kaya. Adanya dua kelas sosial menurut perspektif Marxis menunjukkan adanya kelas yang selain memperoleh manfaat dan keuntungan dari apa saja yang terjadi dalam masyarakat sementara kelas bawah atau proletariat akan terus menjadi kelas tertindas. Proses tindas-menindas ini berlangsung dalam sejumlah konteks dan kebijakan sehingga visi membangun masyarakat yang beradab, maju dan masyarakat sejahtera hanya ada dalam wilayah ide dan gagasan (utopia) dan tidak menjadi pemandu gerakan masyarakat, elite Mbojo hanya fokus memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya.
Gagasan menciptakari masyarakat damai dan sejahtera dalam konteks Bima harus dibaca dalam perspektif kritis, bahwa ide dan gagasan itu harus kita respons sebagai suatu gagasan yang baik, tetapi harus segera kita koreksi dan kritik secara konstruktif proses manipulasi masyarakat yang dilakukan oleh elite-elite berkuasa. Dalam kasus konflik Ngali-Renda, dengan sangat baik menunjukkan bahwa elite-elite berkuasa tidak memiliki konsep dan gagasan yang realistik menciptakan keamanan dan kedamaian dalam masyarakat, untuk merespons dan menyikapi konflik antar desa yang kecil seperti itu, elite berkuasa tidak tegas, tidak jelas dan bahkan dituduh oleh sebagian masyarakat sebagai yang sengaja diciptakan untuk suatu cause yang bagi elit berkuasa akan bernilai politis dikemudian hari.
Dalam seouluh tahun terakhir (2000-2010) elite berkuasa di Bima tidak merniliki agenda politik yang jelas, terarah dan terukur untuk menciptakan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera. Banyak elite politik yang pandai mengumbar program dan janji politik, tetapi ketika mereka berkuasa – masyarakat menuntut program dan janjinya untuk segera direalisasikan, elite berkuasa memiliki dalih dan alasan yang sangat beragam untuk menunda atau bahkan mengabaikan sejumlah janji dan programnya. Pada tingkat ini, kita akan mengatakan bahwa elite politik di dana Mbojo tidak memiliki itikad baik untuk membangun daerah, program dan janjinya, mereka hanya memanfaatkan rakyat untuk memenuhi ambisi politiknya. Dalam sepuluh tahun terahir ini, kita menyaksikan politik manipulasi kaum elite terhadap rakyatnya terjadi dengan begitu baik di Bima.
Politisi yang mencari kekuasaan di Bima, insya Allah pada 2010 ini akan banyak, mereka yang berminat ingin menjadi pejabat akan mengumbar janji baik untuk membangun dana Mbojo, kita semua tidak perlu apriori atau skeptis terhadap gagasan, program atau pun visi-misi para politisi yang mencari kekuasaan tersebut, tetapi kita harus menguji program tersebut, apakah programnya realistis atau tidak untuk direalisasikan di Bima? Ataukah program, visi dan misinya hanya "topeng" untuk menipu rakyat Bima? Selain itu, kita juga harus melihat latar belakang dan jejam rekamnya, apakah sang politisi punya prestasi apa untuk merealisasikan programnya. kalau tidak memiliki prestasi apa-apa, maka kita harus waspada terhadap elite tersebut.
Hal penting lain dalam memilih pemimpin adalah memerhatikan kepribadian sang calon, apakah ketika secara berapi-api berbicara tentang masyarakat religius, membangun Bima yang maju, sejahtera, aman, damai dan seterusnya, tetapi dalam diri sang calon tidak menunjukkan sama sekali gagasan kebaikan itu, maka ini kedok saja untuk memperoleh kekuasaan. Apalagi mereka yang sudah pernah berkuasa, berbicara tentang sesuatu yang tidak pernah dia lakukan selama berkuasa, maka itu kedok saja, tokh waktu diberi kesempatan tidak pernah dipergunakan untuk membangun dan mensejahterakan rakyat.
Menurut hemat saya, baru bisa kita berbicara tentang kedamaian, keamanan dan kesejahteraan bagi masyarakat Bima, yang perlu dibereskan terlebih dahulu adalah politisi yang sakit jiwa, politisi yang tidak memiliki kapasitas untuk memimpin, menyingkirkan politisi yang suka berbohong, berjanji bohong, suka menipu warganya sendiri dan berbagai jenis politisi busuk dan politisi bermasalah, hanya dengan cara demikian kita baru bisa berbicara dengan baik bagaimana merekonstruksi masyarakat damai dan sejahtera.
Politisi dewasa ini termasuk di Bima secara umum dan pimpinan masyarakat secara pribadi sudah tidak jujur, secara pribadi meeka pun mengidap penyakit korup. Politisi di Bima secara umum hanya mengedepankan pamrih pribadinya dan bukan pamrih politiknya, mereka hanya berorientasi pada memperkaya diri, tidak memikirkan rakyatnya, dengan demikian mereka juga akan mempergunakan segala cara untuk memenuhi ambisi pribadinya, karena itu, politik dalam masyarakat Bima telah merosot menjadi bisnis untuk memperkaya diri dan keluarganya. Politisi di Bima telah terjebak dalam suatu permainan yang menjerumuskan diri para politisi sehingga jatuh ke dalam bisnis politik yang kotor, ia mengotori tangannya demi kekuasaan politik, demi partainya, demi untuk memenangkan suatu cause, juga sekaligus mengotori dirinya sendiri, hanya pamrih kekayaan, kekuasaan dan memperkaya dirinya sendiri.
Politisi di Bima tidak banyak yang memikirkan kepentingan kolektif, mereka telah terjebak pada orientasi yang bersifat sempit, lebih sempit lagi mereka terjebak pada pengejaran kepentingan pribadi dan kelompoknya dan tidak lagi secara moral dan politik memenuhi amanah rakyat yang diwakilinya untuk memperjuangkan kesejahteraan dan keamanannya. Bahkan politisi untuk memenuhi ambisinya, membiarkan konflik, kekerasan dan penderitaan rakyat untuk kepentingan politiknya. Bahkan kemiskinan sengaja dibiarkan tetap ada, karena isu kemiskinan "seksi" untuk dijual ke masyarakat.
Kesejahteraan yang diharapkan oleh masyarakat Bima selama ini tampaknya akan sulit terpenuhi dengan komposisi elite berkuasa saat ini, mereka yang berkuasa tidak memiliki agenda aksi konkret untuk merealisasikan program kesejahteraan rakyat. Proyek sosial yang diluncurkan elite hanya sekedar "pemanis" somata, tidak memiliki landasan sosio-politik dan kultural yang kuat. Perilaku politisi di Bima dewasa ini tidak lagi mencerminkan nilai-nilai Mbojo seperti yang termuat dalam maja labo dahu atau kasabua nggahi ro rawi, ini sebenarnya memiliki filosofi yang tinggi, kalau sekiranya politisi di Bima memahami dengan baik. Masihkah layak masyarakat Bima mempertahankan kekuasaan saat ini? Apakah "impian" untuk menuju masyarakat yang sehat, damai dan sejahtera dapat direalisasikan dengan mempertahankan kekuasaan saat ini? Untuk menjawahnya sederhana saja, kita kembalikan kepada masyarakat Bima. Tapi bagi masyarakat Belo Selatan (Kec. Belo – Ngali-Renda-Monta-Soki­-Ncera), mungkin menyebut pemerintahan gagal menangani konflik horisontal yang terjadi, tidak hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga menelan korban jiwa.!!!!

Agenda dan Prioritas Bagi Pembangunan Mbojo
Dengan memahami kondisi sosio-politik masyarakat Bima yang semakin tak menentu arah masa depan, apakah mungkin membentuk masyarakat religius sebagaimana yang sudah membudaya atau menggantinya dengan budaya baru yang serba tak jelas modelnya? Namun yang pasti harus segera dilakukan adalah membangun kesadaran kolektif dou Mbojo untuk merekonstruksi nilai-nilai kultur masyarakat sebagai identitas sosial politiknya yang berbeda dengan identitas politik masyarakat lainnya.
Para politisi di Bima harus segera berbenah diri dan perlahan-lahan menyingkirkan agenda politik pribadi dan kelompoknya, segera merumuskan agenda dan program bagi konstruksi Bima yang religius atau khairah ummah. Para elite dan rakyat memiliki kewajiban yang sama untuk memelihara, melangsungkan dan menyempurnakan segala hal yang dianggap kurang dalam membangun Bima. Elite dan rakyat harus secara sungguh-sungguh melakukan pendidikan politik untuk menyadarkan rakyat agar mereka dapat memahami betapa penting mengutamakan kepentingan kolektif daripada kepentingan partikular dan parsial yang selama ini dirumuskan dan diperjuangkan. Konflik yang terjadi di Ngali-Renda pada dasarnya rendahnya kesadaran warga mengenai perlunya membangun kohesi sosial.
Dengan meminjam teori ashobiyah Ibn Khaldun bahwa kohesi sosial akan dapat dibangun apabila elite dapat berperan sebagai pihak yang layak didengar warganya, syarat elite agar berperan efektif dalam masyarakat yakni sang elite harus menyatu antara ucapan dengan perbuatan, bersikap takabur, sombong dan angkuh tentu tidak banyak membantu, apalagi sang elite sering berkata dusta, tidak jujur dan mengabaikan janji-janjinya kepada rakyatnya.

Waffahu a'lam bi shawab


Catatan kaki :
(1)Makalah disampaikan pada acara Pelantikan Pengurus Keluarga Pelajar dan Mahasiswa (Kepma) Bima Yogyakarta yang dirangkaikan dengan Diskusi Terbuka pada tanggal 24 Januari 2010 di Yogyakarta
(2)Salah satu mahasiswa yang ikut diskusi terbuka dalam pelantikan Pengurus Keluarga Pelajar dan Mahasiswa (Kepma) Bima Yogyakarta yang dirangkaikan dengan Diskusi Terbuka pada tanggal 24 Januari 2010 di Yogyakarta.
(3)Dosen Program Studi Sosiologi. Fakultas Elmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga; Menvelesaikan Doktor Ilmu Politik pada Sekolah Pascasariana UGM.
(4)Lihat misalnya Syarifuddin Jurdi. Islam, Masyarakat Madani dan Demokrasi di Bima (Yogyakarta: CNBS, 2007)
(5)Lihat Penjelasan mengenai Penang Ngali, perang Kalla, Dena dan Rasanggaro dalam Syarifuddin Jurdi, Op. Cit.. khususnya bab terakhir yang membahas tentang Desa dan Ruang Partisipasi warga.
(6)Sejak akhir dekade 1940-an, Soekarno hanya menjadi simbol saja, karena ia tidak langsung memimpin pemerintahan, ia hanya kepala Negara, sementara yang memimpin pemerintahan adalah Perdana Menteri yang dibentuknya sendiri, sejak dekrit dikeluarkan, maka posisi Soekarno tidak hanya sebagai kepada Negara, tetapi juga sebagai kepala pemerintahan.
(7)Mahkamah Syariah pada masa Orde Baru berubah menjadi lembaga kultural dan tidak lagi berkaitan secara langsung dengan kekuasaan, lembaga tersebut hanya mengurusi kegiatan dakwah Islam, meresmikan para Lebe Na'E di sejumlah Desa, mengatur hak-hak Lebe Na'E seperti tanah bengkok dll. Wawancara dengan Muma (KH. Abdul Ghany Masjkur) di kediaman beliau di Bima pada 30 Desember 2007.
(8)Shiren T. Hunter, Politik Kebangkilan Islam Keagamaan dan Kesatuan, terj. Ajat Sudrajat (Yogyakarta: Tiara Wacana. 2001). hlm. 3
(9)Oliver Roy. The Failure of Political Islam (London: I.B. Turis Publishers, 1994), him. ix
(10)John L. Esposito, "The Islamic Threat Myth or Reality (Oxford Oxford University Press, 1192), hlm.7-8


Daftar Bacaan :
Esposito, John L., 1992, The Islamic Threat Myth or Reality Oxford: Oxford University Press
Hunter, Shireen T., 2001, Politik Kebangkitan Islam Keagamaan dan Kesatuan, terj. Ajat Sudrajat Yogyakarta: Tiara Wacana
Jurdi, Syarifuddin, 2007, Islam, Masyarakat Madani dan Demokrasi di Bima, Yogyakarta, CNBS
Kuntowijoyo, 1994, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Yogyakarta, Shalahuddin Press & Pustaka Pelajar Magnis-Suseno, Frans, 1994, Filsafat Kebudayaan Politik., Jakarta, Gramedia
Mulkhan, Abdul Munir, 1994, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Yogyakarta, Sipres.
Roy, Oliver, 1994, The Failure of Political Islam London: I.B. Turis Publishers, 1994

Jumat, 22 Januari 2010

MASYARAKAT MADANI


PENGERTIAN MASYARAKAT MADANI
Anwar Ibrahim :
Masyarakat Madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yg menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kesetabilan masyarakat.
Inisiatif dari Individu dan Masyarakat akan berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan Undang-Undang dan bukan keinginan atau nafsu individu.
Ciri khas Masyarakat Madani menurut Anwar Ibrahim :
- Kemajemukan budaya ( multicultural)
- Hubungan timbal balik ( reprocity )
- Sikap saling memahami dan menghargai
Karakter masyarakat Madani tersebut merupakan “ guiding ideas “ : ide – ide yang mendasari yaitu prinsip moral, keadilan, keseksamaan, musyawarah dan demokrasi.

Dawam Raharjo :
Sejalan dengan gagasan Anwar Ibrahim, Dawam mendefinisikan Masyarakat Madani : Sebagai proses penciptaan peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan bersama.
- Warga Negara membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non Negara.
- Dasar utama dari masyarakat madani adalah persatuan dan integrasi sosial yang didasarkan pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang menyebabkan perpecahan. Hidup dalam suatu persaudaraan.

Azyumardi Azra :
Sejalan dengan ide-ide diatas, Azyumardi Azra mengemukakan bahwa masyarakat madani lebih dari sekedar gerakan pro-Demokrasi, karena ia juga mengacu pada pembentukan masyarakat berkualitas dan bertamadun ( Civility ).

Nurcholish Madjid :
Menegaskan bahwa makna masyarakat madani berakar dari kata Civility yang mengandung makna toleransi, kesediaan pribadi-pribadi untuk menerima pelbagai macam pandangan politik dan tingkah laku sosial.


KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI

Adanya Wilayah publik yang jelas :
adalah ruang yang bebas sebagai sarana mengemukakan pendapat, warga negara mempunyai kedudukan dan hak yang sama untuk melakukan transaksi sosial politik.
Demokrasi : Tanpa demokrasi masyarakat sipil tidak akan pernah terwujud karena demokrasi suatu tatanan sosial politik yang bersumber oleh, dari, dan untuk warga negara.
Pluralisme :
Mengakui dan menerima kenyataan sosial yang beragam, tapi harus disertai sikap yang tulus untuk menerima kenyataan perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah dan rahmat tuhan yang bernilai positif bagi kehidupan masyarakat.
Keadilan Sosial :
adanya keseimbangan dan pembagian yang proposional atas hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.





MASYARAKAT MADANI DI INDONESIA
Sebelum negara & bangsa ini berdiri, Civil Society telah berkembang sangat pesat diwakili oleh kiprah beragam organisasi sosial keagamaan dan pergerakan nasional dalam perjuangan kemerdekaan.
Muhammadiyah, NU, SI telah menjadi komponen perkembangan Civil Society pada waktu itu, sebagai orang perjuangan penegakan HAM juga perlawanan terhadap kolonial.


Strategi pandangan para ahli tentang bagaimana seharusnya Civil society terwujud :
Petama, Pandangan integrasi nasional dan politik. Dalam kenyataan hidup sehari-hari, masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yg kuat, sistem demokrasi tak berlangsung.
Kedua, pandangan reformasi sistem politik demokrasi. Menekankan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah terlalu bergantung pada pembangunan ekonomi.
Ketiga, membangun civil society sebagai basis utama pembangunan demokrasi. Menekankan proses pendidikan dan penyadaran politik warga negara. Diharapkan lahir kelas menengah yang secara ekonomi dan politik mandiri, sehingga hegemoni negara bisa terkontrol.


Gabungan strategi & paradigma untuk menyeimbangkan Negara dan Civil Society
Memperluas golongan menengah, untuk berkembang menjadi kelompok Masyarakat madani yang mandiri secara politik dan ekonomi.
Mereformasi sistem politik demokratis melalui pemberdayaan lembaga-lembaga demokrasi yang ada berjalan sesuai prinsip demokrasi.
Penyelenggaraan pendapat politik (demokrasi) bagi warga negara secara keseluruhan.


Menurut Dawam Raharjo,
Masyarakat madani di Indonesia masih merupakan lembaga-lembaga yang dihasilkan dari sistem politik represif, ciri kritisnya lebih menonjol daripada ciri konstruktifnya.
Mereka lebih banyak melakukan protes daripada solusi, lebih banyak menuntut daripada memberikan sumbangan terhadap pemecahan masalah.


SUMBER:
RUDI SUBIYAKTO, SH., M.Hum., 2009. (MATERI KULIAH SEMESTER I). UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA.

Rabu, 20 Januari 2010

DEMOKRASI

M A K A L A H
D E M O K R A S I

Dibuat Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu : Bpk. Rudi Subiyakto, S.Sos., MA.





Disusun Oleh :
09340042




FAKULTAS SYARI’AH
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YORYAKARTA
2009

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat, hidayah, kasih sayang dan barokah-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “BUDAYA DEMOKRASI DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI” ini. Salawat serta salam tidak lupa penulis haturkan kepada junjungan kita, Rasullullah Muhammad SAW sebagai pembawa refolusioner sejati, beserta keluarga, para sahabat dan umatnya sampai hari kiamat, Amin.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari peran dan sumbangsih pemikiran serta intervensi dari banyak pihak. Karena itu dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan makalah ini, diantaranya:
1.Bpk. Rudi Subiyakto, S.Sos., MA. selaku pengampu mata kuliah Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan.
2.Kepada seluruh Dosen Pengajar, terima kasih untuk kesempatan menimba dan mendalami ilmu di Fakultas Syariah Prodi Ilmu Hukum.
3.Kepada seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu yang telah sudi melayani dalam pencarian kepustakaan.
4.Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum yang telah membantu memberikan dorongan moril dalam menjalani perkuliahan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat, Amin.

Yogyakarta, November 2009
Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG MASALAH 1
B.IDENTIFIKASI MASALAH 2
C.TUJUAN PENULISAN 3
D.BATASAN MASALAH 3
E.SISTEMATIKA PENULISAN 3
BAB II TEORI BUDAYA DEMOKRASI
A.PENGERTIAN DEMOKRASI 5
1.Menurut Internasional Commision of Jurits 5
2.Menurut Lincoln 5
3.Menurut C.F Strong 5
B.LANDASAN-LANDASAN DEMOKRASI 5
1.Pembukaan UUD 1945 6
2.Batang Tubuh UUD 1945 6
3.Lain-lain 6
C.SEJARAH DAN PERKEMBANGAN DEMOKRASI 6
D.PENERAPAN BUDAYA DEMOKRASI DALAM
KEHIDUPAN SEHARI-HARI 7
1.Di Lingkungan Keluarga 7
2.Di Lingkungan Masyarakat 8
3.Di Lingkungan Kuliahan 8
4.Di Lingkungan Kehidupan Bernegara 8
BAB IV PENUTUP
A.KESIMPULAN 10
B.SARAN-SARAN 10
DAFTAR PUSTAKA 12

BAB I
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG
Secara etimologis, Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, “Demos” yang berarti rakyat, dan “kratos/Cratein” yang berarti kekuasaan (government of rule by the people). Arti singkat : Pemerintahan atau kekuasaan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, sesuatu keadaan negara dimana didalam sistem pemerintahannya, kedaulatan berada ditangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat.
Dalam arti lain demokrasi merupakan bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal: narapidana atau bekas narapidana).

B.IDENTIFIKASI MASALAH
Dalam pelaksanaanya, banyak sekali penyimpangan terhadap nilai-nilai demokrasi baik itu dalam kehidupan sehari-hari di keluarga maupun masyarakat.
Permasalahn yang muncul diantaranya yaitu:
Belum tegaknya supermasi hukum.
Kurangnya partisipasi masyarakat dalam kehidupan bermasnyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pelanggaran terhadap hak-hak orang lain.
Tidak adanya kehidupan berpartisipasi dalam kehidupan bersama (musyawarah untuk mencapai mufakat).
Untuk mengeliminasi masalah-masalah yang ada, maka makalah ini akan memaparkan pentingnya budaya demokrasi dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, penulis menyusun makalah ini dengan judul “BUDAYA DEMOKRASI DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI”.

C.TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari makalah ini adalah :
Memaparkan masalah-masalah yang timbul yang diakibatkan penyimpangan dari nilai-nilai demokrasi dalam kehidupa sehari-hari.
Memaparkan sejumlah sumber hukum yang menjadi landasan demokrasi
Memaparkan contoh nyata penerapan budaya demokrasi dalam kehidupan sehari-hari.

D.BATASAN MASALAH
Karena banyaknya permasalahan-permasalahan yang timbul, maka makalah ini hanya akan membahas tentang pentingnya budanya demokrasi dalam kehidupan sehari-hari baik itu dalam keluarga maupun masyarakat, berbangsa dan bernegara.

E.SISTEMATIKA PENULISAN
Agar makalah ini dapat dipahami pembaca, maka penulis membuat sistematika penulisan makalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan berisikan latar belakang mengenai pengertian demokrasi, identifikasi masalah yang ditimbulkan oleh pelanggara terhadap nilai-nilai demokrasi, tujuan dibuatnya makalah, pembatasan masalah, dan sistematika penulisan.

BAB II TEORI BUDAYA DEMOKRASI
Teori Budanya Demokrasi berisikan pengertian demokrasi, landasan-landasan demokrasi, sejarah perkembangan demokrasi dan penerapan budaya demokrasi dalam kehidupan sehari-hari.

BAB III KESIMPULAN dan SARAN
Kesimpulan dan saran merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan serta saran-saran.












BAB II
TEORI BUDAYA DEMOKRASI

A.PENGERTIAN DEMOKRASI
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
1.Menurut Internasional Commision of Jurits
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyar dimana kekuasaan tertinggi ditangan rakyat dan di jalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih dibawah sistem pemilihan yang bebas. Jadi, yang di utamakan dalam pemerintahan demokrasi adalah rakyat.
2.Menurut C.F Strong
Suatu sistem pemerintahan di mana mayoritas anggota dewasa dari masyarakat politik ikut serta atas dasar sistem perwakilan yang menjamin bahwa pemerintahan akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan kepada mayoritas itu.
3.Menurut Lincoln
Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of the people, by the people, and for the people).

B.LANDASAN-LANDASAN DEMOKRASI
1.Pembukaan UUD 1945
Alinea pertama
Kemerdekaan ialah hak segala bangsa.
Alinea kedua
Mengantarkan rakyat Indonesia kepintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Alinea ketiga
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan dan kebangsaaan yang bebas.
Alinea keempat
Melindungi segenap bangsa.
2.Batang Tubuh UUD 1945
Pasal 1 ayat 2
Kedaulatan adalah ditangan rakyat.
Pasal 2
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pasal 6
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 24 dan Pasal 25
Peradilan yang merdeka.
Pasal 27 ayat 1
Persamaan kedudukan di dalam hukum.
Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul.
3.Lain-lain
Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang hak asasi
UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM

C.SEJARAH DAN PERKEMBANGAN DEMOKRASI
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.

D.PENERAPAN BUDAYA DEMOKRASI DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
1.Di Lingkungan Keluarga
Penerapan Budaya demokrasi di lingkungan keluarga dapat diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut:
Kesediaan untuk menerima kehadiran sanak saudara;
Menghargai pendapat anggota keluarga lainya;
Senantiasa musyawarah untuk pembagian kerja;
Terbuka terhadap suatu masalah yang dihadapi bersama.

2.Di Lingkungan Masyarakat
Penerapan Budaya demokrasi di lingkungan masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut:
Bersedia mengakui kesalahan yang telah dibuatnya;
Kesediaan hidup bersama dengan warga masyarakat tanpa diskriminasi;
Menghormati pendapat orang lain yang berbeda dengannya;
Menyelesaikan masalah dengan mengutamakan kompromi;
Tidak terasa benar atau menang sendiri dalam berbicara dengan warga lain.

3.Di Lingkungan Kuliahan
Penerapan Budaya demokrasi di lingkungan sekolah dapat diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut:
Bersedia bergaul dengan teman kuliah tanpa membeda-bedakan cantik jeleknya seseorang;
Menerima teman-teman yang berbeda latar belakang budaya, ras dan agama;
Menghargai pendapat teman meskipun pendapat itu berbeda dengan kita;
Mengutamakan musyawarah, membuat kesepakatan untuk menyelesaikan masalah;
Sikap anti kekerasan.

4.Di Lingkungan Kehidupan Bernegara
Penerapan Budaya demokrasi di lingkungan kehidupan bernegara dapat diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut:
Besedia menerima kesalahan atau kekalahan secara dewasa dan ikhlas;
Kesediaan para pemimpin untuk senantiasa mendengar dan menghargai pendapat warganya;
Memiliki kejujuran dan integritas;
Memiliki rasa malu dan bertanggung jawab kepada publik;
Menghargai hak-hak kaum minoritas;
Menghargai perbedaan yang ada pada rakyat;
Mengutamakan musyawarah untuk kesepakatan bersama untuk menyelesaikan masalah-masalah kenegaraan.




BAB III
PENUTUP

A.KESIMPULAN
Dari pengalaman masa lalu bangsa kita, kelihatan bahwa demokrasi belum membudaya. Kita memang telah menganut demokrsai dan bahkan telah di praktekkan baik dalam keluarga, masyarakat, mau pun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, kita belum membudayakannya.
Membudaya berarti telah menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Mengatakan “Demokrasi telah menjadi budaya” berarti penghayatan nilai-nilai demokrasi telah menjadi kebiasaan yang mendarah daging di antara warga negara. Dengan kata lain, demokrasi telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari kehidupanya. Seluruh kehidupanya diwarnai oleh nilai-nilai demokrasi.
Namun, itu belum terjadi. Di media massa kita sering mendengar betapa sering warga negara, bahkan pemerintah itu sendiri, melanggar nilai-nilai demokrasi. Orang-orang kurang menghargai kebebasan orang lain, kurang menghargai perbedaan, supremasi hukum kurang ditegakan, kesamaan kurang di praktekan, partisipasi warga negara atau orang perorang baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan pilitik belum maksimal, musyawarah kurang dipakai sebagai cara untuk merencanakan suatu program atau mengatasi suatu masalah bersama, dan seterusnya. Bahkan dalam keluarga dan masyarakat kita sendiri, nilai-nilai demokrasi itu kurang di praktekan.

B.SARAN
Mewujudkan budaya demokrasi memang tidak mudah. Perlu ada usaha dari semua warga negara. Yang paling utama, tentu saja, adalah:
Adanya niat untuk memahami nilai-nilai demokrasi.
Mempraktekanya secara terusmenerus (membiasakannya).
Memahami nilai-nilai demokrasi memerlukan pemberlajaran, yaitu belajar dari pengalaman negara-negara yang telah mewujudkan budaya demokrasi dengan lebih baik dibandingkan kita. Dalam usaha mempraktekan budaya demokrasi, kita kadang-kadang mengalami kegagalan disana-sini, tetapi itu tidak mengendurkan niat kita untuk terus berusaha memperbaikinya dari hari kehari. Suatu hari nanti, kita berharap bahwa demokrasi telah benar-benar membudaya di tanah air kita, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.



DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku:
Abdulkarim, Aim, Drs, M.Pd. 2004 “Kewarganegaraan untuk SMP Kelas II Jilid 2”. Bandung: Grafindo Media Pratama.

Dahlan, Saronji, Drs. Dan H. Asy’ari, S.Pd, M.Pd. 2004 “Kewarganegaraan Untuk SMP Kelas VIII Jilid 2”. Jakarta: Erlangga.

Wijianti, S.Pd. dan Aminah Y., Siti, S.Pd. 2005 “ Kewarganegaraan (Citizenship)”. Jakarta: Piranti Darma Kalokatama.

Sumber-Sumber lain:
Subiyakto, Rudi. 2009. Catatan bahan ajar. Semester I Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan. UIN SUKA Yogyakarta.

“http://dondsor.blogster.com/demokrasi_dan_Konstitusi.html”

“http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi”

RESUME TEORI TAFSIR

R E S U M E

T E O R I T A F S I R


Dibuat Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Studi Islam

Dosen Pengampu : Bpk. Khoirul Anam





Disusun Oleh :


09340042







FAKULTAS SYARI’AH

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YORYAKARTA

2009


TEORI TAFSIR


1.

Apakah Kita Mempunyai Teori Tafsir ?

Faktor terpenting yang membedakan kita sebagai umat (baik kita sebagai masyarakat kontemporer atau peradaban klasik) adalah karena kita menerima “wahyu” yang memiliki minimal tiga keistimewaan. Pertama, ia merupakan fase akhir perkembangan wahyu dalam sejarah sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Kedua, ia terjaga sebagai kitab dalam Al-Qur’an sehingga bebas dari bahaya perubahan yang telah menimpa Kitab-kitab suci lain (yaitu Taurat dan Injil di lingkungan Bani Israil). Ketiga, Al-Qur’an sebagai kitab suci yang tidak diturunkan secara bertahap seperti kata ulama “bukan sebagai wahyu yang diberikan, tetapi sebagai wahyu yang diserukan sesuai dengan tuntutan kondisi dan kebutuhan manusia”.

Al-Qur’an ditulis dalam bahas Arab, untuk mengetahui wahyu kita harus mengetahuinya dengan cara membaca dan memahaminya. Filsuf hukum islam teori maqashid syariah merupakan teori untuk memahami, padahal satu-satunya cara untuk memahami Al-Qur’an adalah teori tafsir. Menempatkan kembali wahyu sebagai sumber sekaligus obyek pengetahuan merupakan langkah awal yang niscaya sebelum mendeduksi hukum syariah, sebelum membangun ilmu keislaman apa pun, bahkan sebelum merekontruksi ilmu-ilmu tradisionalnya yang terdiri dari ushul, fikih, tasawuf, kalam dan filsafat.

Jika kita menengok kondisi kontemporer teori-teori kita dalam bidang tafsir, maka tidak memiliki teori solid solid yang mempunyai prinsip-prinsip yang teruji dan terseleksi, yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Sebab, tafsir kita tidak mempunyai fase syarah (komentar), tafsil (detailisasi), tikrar (pengulangan) dan penjelasan tentang apa yang sedikit banyak tidak dibutuhkannya. Seorang mufasir tidak berusaha memperbaiki kondisi manusia, padahal dia minimal harus mendengarkan dan memperbaiki kondisi mereka. Mufasir dalam situasi yang pertama adalah syarih (komentator), sedangkan yang kedua adalah khatib (retoris). Kdua-duanya bukanlah mufasir, karena mufasif adalah seorang muslim (reformer) penyeru untuk memperbaiki kondisi masyarakat, di mana ia melihat problem umat islam dengan segala pemecahannya di dalam teks.

Namun demikian ada faktor yang lebih penting daripada stile deskriptif, karena dua syarat asasi dan klasik bagi seorang mufasik (khususnya jika dia seorang fakih) adalah ilmu bahasa dan ilmu tanzil. Ilmu bahasa akan mengantarkan pada penentuan makna teks keagamaan setelah penerapan prinsip linguistik pada bahasa tertentu (seperti hakekat dan majaz, muhkam dan mutasyabih, mujmal dan mubayyan, zahi dan muawwal, mukayyad dan mutlak, am dan khas pada teks untuk menjamin kesahihan makna yang dideduksi daripadanya). Sedangkan ilmu tanzil memberikan asbabun nujul kepada mufasir tradisonal untuk mengetahui makna yang benar dalam suatu ayat dalam kaitannya dengan kejadian pertama di mana ayat itu diturunkan.

Jadi teori tafsir adalah teori yang menghubungkan antara wahyu dan realitas (katakanlah antara agama dan dunia atau, lebih afdal, antara Allah dan manusia). Jika melihat tafsir kontenporer kita, terlihar kita tidak memiliki teori yang solid. Sebab, ada ilmu-ilmu tarsir tradisional yang bertumpu pada ilmu-ilmu al-qur’an dan hadis tetapi kemudian ada realitas kontenporer yang dipikirkan oleh seseorang insane mandiri, yang tidak dilahirkan dari teks keagamaan secara langsung tetapi berangkat dari realitas dan situasi-situasi itu sendiri, yang berusaha untuk memahaminya dengan berlandaskan pada dorongan kemanusiaan murni. Artinya, kondisi mengungkapkan adanya dualisme antara teks keagamaan dan dunia nyata, yang berseberangan.

Ada upaya-upaya modern untuk menjembatani dualisme antara teks dan realitas model ini. Namun demikian, upaya-upaya ini didominasi oleh beberapa kelemahan, sehingga tidak menjadi teori tafsir yang solid, yang sebenarnya merupakan merupakan metode reformasi dan perubahan. Kelemahan pertama adalah karena tarsir itu selalu lebih merupakan teori tentang eksistensi allah daripada sebagai teori tentang eksistensi manusia. Artinya teori ini diarahkan untuk menegaskan wujud Allah dengan membahas esensi, sifat dan perbuatan-Nya, sekaligus mempertegas bahwa alam adalah ciptaan dan manusia akan diminta pertanggungjawaban. Tujuan asasi aspek dogmatis dan teologis islam sebenarnya adalah mengungkapkan pembentukan dan posisi manusia di dalam alam, khususnya karena maksud syari (Allah) secara “a priori”, menurut pakar-pakar ushul fikih, adalah melestarikan lima tujuan daruri (yang sudah banyak dikenal orang–yaitu agama, jiwa, akal, harga diri dan harta), yang kesemuanya merupakan dimensi dimensi zamani manusia.

Kelemahan kedua adalah karena tafsir kontenporer selalu terkait dengan kondisi local islam tempat dulu islam lahir khususnya dari segi sosial, dan ekonomi. Sebab, tafsir ini mempunyai herarki kelas dalam rejeki dengan menjelaskan ayat dan mengimati nilai spiritual dan moral dengan teks Al-Quran. Namun kadangkala, seperti dalam masalah perbudakan, tafsir dapat sampai pada kesimpulan mengharamkannya (Umar bin Khattab), padahal penafsiran literalis tidak akan sampai pada kesimpulan semacam itu.

Kelemahan ketiga adalah karena tidak pernah memulai dengan mengeritik, menyerukan perbaikan dan perubahan radikal atas kondisi yang bertentangan dengan agama. Sebaliknya, selalu mengekor dan mengukuhkan setiap perbaikan atau perubahan yang dimulai dari luar teks keagamaan, yaitu dari pemikiran manusia mandiri, yang diekspresikan dan dilaksanakan oleh seseorang pemberontak.

“Apakah kita punya teori tafsir”?? maka timbul jawaban dengan menegasikan sebab-sebab berikut ini:

1.

Tafsir masih merupakan bagian dari ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis tanpa memiliki prioritas sebagai teori epistemologi yang berlandaskan pada wahyu, karena tafsir merupakan logika wahyu.
2.

Tafsir tradisional berkutat di sekitar komentar, tafsir dan bagian yang tidak ada urgensinya, yang tidak memperhatikan makna teks independen maupun kondisi kontenporer umat.
3.

Tafsir didominasi oleh logika bahasa untuk mendeduksi makna dari teks dengan bantuan asbabun nuzul, tanpa mempergunakan intuisi langsung teks untuk memahami makna yang jelas secara langsung dengan menunjuk kepada pengalaman hidup kontenporer yang didasari oleh mufasir dalam kehidupan pribadi dan sosialnya, yang sebenarnya merupakan sisi lain teks lain agama.
4.

Kelemahan-kelemahan upaya tafsir moderen. Pertama, karena lebih diarahkan pada dimensi dogmatis teologis dibandingkan dimensi manusia dalam hubungannya dengan orang lain dan alam. Kedua, karena tidak memecahkan kondisi kontenporer karena cukup untuk mengetahui sejauh apa komitmennya, khususnya karena feodalisme dan imperialisme selalu merongrong sebagian besar masyarakat Islam, sehingga sangat mengharuskan penafsiran refolusioner. Ketiga, karena merupakan penafsiran yang mengekor dan menguatkan, bukan penafsiran yang memulai, mengeritik dan menciptakan.


2.

Mana Lebih Dahulu: Teori Tafsir atau Metode Analisis Pengalaman?

Semua tafsir tradisional mengikuti metode analisis teoritis, baik dengan menukil otoritas riwayat (alma’thur) maupun penafsiran rasional (rafsir bi l-ra’y). artinya seorang mufasir (seperti yang dikatakan sebelumnya, tidak terkecuali komentator) mendeduksi makna dari teks dengan menggunakan akal murni kemudian memperkuat sikapnya dengan otoritas riwayat atau argumen rasional. Metode analisis kritis ini memiliki tiga kelemahan:

1.

Berpendapat berdasarkan otoritas riwayat, walau semua jalur periwayatan mengatakan kesahihannya, meninggalkan makna teks tanpa hujjah dari dalam teks, karena argumen dari otoritas-riwayat memperkuat makna dideduksi oleh si mufasir daripadanya secara dzanni (probable), yaitu bahwa kepastian otoritas-riwayat tidak mempengarui kedzannian (probabilitas) makna yang diberikan oleh mufasir. Sebagai akibatnya, dimana berpendapat dengan landasan otoritas riwayat tidak dapat memberikannya dari luar dirinya.
2.

Karena tafsir rasional (walau berasal dari makna yang sama, yang diberikan oleh mufasir karena keduanya adalah makna) lebih baik daripada perpendapat berdasarkan-otoritas riwayat tetapi juga dzanni, padahal dzann (probabilitas) tidak dapat merubah dzann menjadi kepastian, terutama sekali dalam kasus terjadi berbagai bahkan berrtentangan pendapat. Sebagai akibatnya, mana yang harus diambil? Mana yang ;ebih rajin?
3.

Karena mufasir mengomentari setiap teks tanpa kecuali (baik ketika dibutuhkan maupun tidak), karena ia mulai dari awal hingga akhir surat, dari awal hingga akhir rubu’ atau dari awal hingga akhir hizb padahal Al-Quran diturunkan secara bertahap: setiap ayat mengandung makna independen sebagai pemecahan atas situasi yang pelik dalam kehidupan sehari-hari manusia, bahkan sampai ayat-ayat yang memaksa mufasir untuk mengomentarinya sekuat mungkin.

Mana lebih dahulu: teori tafsir atau metode analisis pengalaman?, maka dapat dikatakan bahwa metode analisis pengalaman merupakan teori satu-satunya yang mungkin dalam tafsir. Sebab, pemahaman teks tidak akan terjadi kecuali dengan merujukkan pada sumbernya dalam pengalaman hidup dimana ia tumbuh, karena mufasir pada waktu yang bersamaan adalah pembaca buku. Untuk memahami, “boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal sesuatu itu lebih baik bagi kalian. Sebaliknya boleh jadi kalian menyukai sesuatu, padahal sesuatu itu buruk bagi kalian” ia tidak perlu mengkaji maknanya. Namun demikian, ia perlu menganalisis kehidupannya kesehariannya, yang mungkin membantunya memulai suatu pengalaman atau lebih yang menjelaskan kepadanya bahwa apa yang suatu ketika ia sangka buruk, ternyata sekarang terbukti baik. Sebaliknya, apa yang suatu ketika ia sangka baik ternyata terbukti buruk.

Ringkasan poin-poin:

1.

Kelemahan tafsir teoritis yang mulai dengan mengomentari teks keagamaan secara total (baik berlandaskan pada otoritas riwayat atau otoritas akal). Sebab makna teks tetap aja dzanni, yang membutuhkan kepastian yang dating dari dalam dirinya dan dikaitkan dengan realitas dan menjadikan realitas ini sinonimnya.
2.

Keharusan membahas makna teks dalam pengalaman hidup yang ditunjuk oleh oleh teks, yang dari situ merubah penglihatan makna rasional menjadi kesaksian faktual.
3.

Tidak ada keterdahuluan zamani antara pemahaman makna dari teks dan analisis pengalaman hidup yang tumbuh daripadanya, tetapi ada kebersamaan zamani karena makna adalah penjamin bagi kebenaran analisis pengalaman, bahkan bagi pemilihan faktualitasnya.
4.

Metode baru dalam analisis pengalaman tidaklah asing bagi peradaban islam dan tidak mengekor metode lain, karena ia lahir dari beberapa bentuk dalam ilmu-ilmu keislaman (baik dalam ilmu-ilmu Al-Quran dan hadiss, ilmu fikih, tasawuf, bahkan dalam ilmu kalam dan filsafat).
5.

Metode ini tidak merusak wahyu sebagai sumber ilahiah teks. Sebab, wahyu selalu menjaminsubyektivitas pengalaman, mempercayai pemberian positivitas pohon islam, karena wahyu adalah penjaminnya yang pertama dalam kebenaran analisis wujud kemanusiaan.


3.

Kembali kepada Sumber atau Kembali kepada Alam

Gerakan salafiah, yang menyeru kepada otentisitas, berciri mengajak kembali kepada yang-lama dibawah slogan “Kembali kepada Sumber” (Retour aux Sources). Artinya kembali kepada kitab suci. Slogan Luther dalam reformasi agama adalah Solo Scriptura (hanya kitab suci saja).

Jika hal ini terjadi dari niat baik, maka tampaklah kesulitan, yang menyebabkan “Kembali kepada Sumber”, yaitu merubah masa kini sesuai dengan model masa lalu. Kesulitan Pertama, benturan dengan linguistik, karena sumber adalah kitab suci (yaitu teks), yang tidak dapat diajak berkomunikasi kecuali sengan perantaran bahasa. Kesulitan kedua, terjeak dalam tafsir yang bertentangan dengan dengan gerakan realitas dan menjadikan “Kembali pada sumber” sebagai sarana untuk menumpas perubahan realitas alamiah, khususnya jika bahasa memungkinkan itu. Kesulitan ketiga, jika tafsir progresif sosial benar-benar terjadi, seperti yang ada dalam Tafsir Al-Manar, tetapi progress lahir dari realitas, teks mengikuti.


dartar pustaka
hasan hanafi terjemahan Yudian Wahyudi.... (Lupa deh tahun terbitnya)yang pasti ini asli kok baik untuk kepustakaan. ok

SEJARAH KERAJAAN BIMA MBOJO (Dari Jaman Naka ke Jaman Kesultanan)


A.Peristiwa Penting Menjelang Berdirinya Kerajaan.
1.Kehadiran sang Bima pada abad 11 M, ikut membantu para ncuhi dalam memajukan Dana Mbojo. Sejak itu, ncuhi Dara dan ncuhi-ncuhi lain mulai mengenal bentuk pemerintahan kerajaan. Walau sang Bima sudah kembali ke kerajaan Medang di Jawa Timur, namun tetap mengadakan hubungan dengan ncuhi Dara. Karena istrinya berasal dari Dana Mbojo Bima.
2.Sebelum mendirikan kerajaan, semua ncuhi sepakat membentuk kesatuan wilayah di bawah pimpinan ncuhi Dara.
3.Setelah puluhan tahun berada di Jawa Timur, sang Bima mengirim dua orang putranya, yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala ­ke Dana Mbojo. Indra Zamrud dijadikan anak angkat oleh ncuhi Dara. Sedangkan Indra Kumala menjadi anak angkat ncuhi Doro Woni. Seluruh ncuhi sepakat untuk mencalonkan Indra Zamrud menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo. Sedangkan Indra Kumala dicalonkan untuk menjadi Sangaji di Dana Dompu.

B.Kerajaan Dana Mbojo Berdiri Pada Pertengahan Abad 11 M.
1.Indra Zamrud di tuha ro lanti atau dinobatkan menjadi Sangaji atau Raja yang pertama.
Setelah Indra Zamrud dewasa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam bidang pemerintahan, maka pada akhir abad 11 M, ia di tuha ro lanti oleh Ncuhi Dara. Dengan persetujuan semua ncuhi, untuk menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo yang pertama. Dengan demikian berakhirlah jaman ncuhi. Masyarakat Mbojo Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Pimpinan pemerintahan bukan lagi dipegang oleh ncuhi, tetapi dipegang oleh Sangaji atau Raja.


2.Nama Kerajaan.
Sejak berdirinya kerajaan di sekitar pertengahan abad 11 M, Dana Mbojo memiliki dua nama. Kerajaan yang baru didirikan itu, oleh para ncuhi bersama rakyat diberi nama Mbojo. Sesuai dengan kesepakatan mereka dalam musyawarah di Babuju. Tetapi oleh orang-orang Jawa, kerajaan itu diberi nama Bima. Diambil dari nama ayah Indra Zamrud yang berjasa dalam merintis pendirian kerajaan. Sampai sekarang Dana Mbojo mempunyai dua nama, yaitu Mbojo dan Bima.
Dalam masa selanjutnya, Mbojo bukan hanya nama daerah, tetapi merupakan nama suku yang menjadi penduduk di Kabupaten Bima dan Dompu sekarang. Sedangkan Bima sudah menjadi nama daerah bukan nama suku.
Pada masa kesultanan, suku Mbojo membaur atau melakukan pernikahan dengan suku Makasar dan Bugis. Sehingga adat istiadat serta bahasanya, banyak persamaan dengan adat istiadat serta bahasa suku Makasar dan Bugis.
Dou Mbojo yang enggan membaur dengan suku Makasar dan Bugis, terdesak ke daerah Donggo atau pegunungan. Oleh sebab itu, mereka disebut Dou Donggo atau orang pegunungan. Dou Donggo mempunyai adat istiadat serta bahasa yang berbeda dengan dou Mbojo.
Dou Donggo bermukim di dua tempat, yaitu disekitar kaki Gunung Ro'o Salunga di wilayah Kecamatan Donggo sekarang dan di kaki Gunung Lambitu di wilayah Kecamatan Wawo sekarang. Yang bertempat tinggal di sekitar Gunung Ro'o Salunga, disebut Dou Donggo Ipa (orang Donggo seberang), sedangkan yang berada di kaki Gunung Lambitu, disebut Dou Donggo Ele (orang Donggo Timur).

C.Masa Pertumbuhan
Setelah dilantik menjadi Sangaji atau raja, Indra Zamrud berusaha dan berjuang dengan sungguh-sungguh memajukan kerajaannya. Dalam membangun kerajaan, Indra Zamrud dibantu oleh para ncuhi. Terutama ncuhi Dara, ncuhi Parewa, ncuhi Doro Woni, ncuhi Bolo dan ncuhi Bangga Pupa.
Mungkin ada diantara kita yang bertanya. Apakah pada masa Inda Jamrud belum ada perdana menteri dan pejabat lain ?. Ahli sejarah belum menemukan bukti atau keterangan tertulis, tentang adanya pejabat seperti -perdana menteri dan pejabat lain pada masa Indra Zamrud.
Jabatan seperti tureli Nggampo atau Ruma bicara (perdana menteri), ireli (menteri), Rato, Jeneli, Gelarang dan jabatan lain, mulai populer pada masa sangaji Manggampo Donggo ( sangaji ke 10). Pada masa itu, ada Tureli Nggampo atau Ruma Bicara yang terkenal, bernarna Bilmana kakak dari sangaji Manggampo Donggo.
Sebagai sangaji yang baru di tuna ro lanti, maka Indra Zamrud melakukan pembangunan dalam berbagai bidang, seperti antara lain:
1.Bidang agama/kepercayaan.
Biarpun pengaruh kerajaan Medang (Jawa Timur) amat besar, namun Indra Zamrud tidak memaksakan rakyatnya menganut agama Hindu, seperti agama yang dianut oleh kerajaan Medang.
Rakyat tetap menganut kepercayaan makamba makimbi. Para ncuhi berfungsi sebagai peminipin agama. Sangaji bersama rakyat terus mengamalkan falsafah dan pandangan hidup lama.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, Indra Zamrud tetap berdasarkan falsafah maja labo dahu, serta asas mbolo ro dampa dan karawi kaboju. Sangaji harus berperan sebagai hawo ro ninu atau pengayom dan pelindung rakyat. Dalam membangun negeri, sangaji bersama rakyat harus tahan Uji dan ulet. Mereka harus pantang menyerah, sesuai dengan falsafah "Su'u sa wa'u sia sa wale" (walau bagaimana berat tugas yang dijunjung dan dipikul, rakyat harus melaksanakanilya).
2.Bidang Ekonomi.
Indra Zamrud berusalia keras meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Guna mewujudkan cita-cita, ia giat memajukan pertanian, peternakan serta pelayaran dan perniagaan.
Hasil pertanian dan peternakan kian bertambah. Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat meningkat. Bahaya kemiskinan dan kelaparan tidak terjadi.

Dibidang pelayaran dan perniagaan mengalami hal yang sama. Pelayaran dan perniagaan bertambah maju. Pelabuhan Mbojo ramai dikunjungi para pedagang dan musafir, dari berbagai penjuru Nusantara. Mereka datang membeli hasil bumi Dana Mbojo, seperti kuda, kerbau, kayu kuning, kayu sopang, rotan dll. Selain menjual hasil buminya, rakyat dapat pula membeli berbagai jenis barang dari para pedagang dan musafir. Berbagai hasil pertukangan atau industri yang indah dan mahal, mereka beli dari para pedagang yang datang ke Dana Mbojo. Barang-barang yang mereka beli antara lain, berbagai jenis keramik, perhiasan dari emas, Perak, kain sutera dan berbagai jenis senjata.

Indra Zamrud dengan bantuan para ncuhi dan dukungan rakyat, telah berhasil meletakkan dasar yang kokoh bagi kehidupan kerajaan. Setelah ia wafat, perjuangannya diteruskan oleh anak cucunya. Sangaji Batara Indra Bima, Batara Sang Luka, Batara Bima, serta Maha Raja Indra Terati melanjutkan perjuangan Indra Zamrud, dalam membangun dou labo dana (rakyat dan negeri).
Kapan Indra Zamrud wafat, tidak dapat diketahui dengan pasti. Walau demikian, ia telah berhasil meletakkan dasar yang kuat bagi kehidupan kerajaan. Pada masa itu kerajaan Mbojo, bagaikan sebatang pohon yang bukan dalam keadaan ncuhi atau ncuri. Melainkan sudah tumbuh tegar berbatang dan berakar kuat, berdaun dan beranting yang indang dan rimbun.

D.Kerajaan Mengalami Kejayaan.
Pada masa pemerintahan sangaji Manggampo Jawa, di sekitar abad 14 M, kerajaan Mbojo Bima mengalami kemajuan yang amat pesat. Manggampo Jawa adalah putra sangaji Indra Terati dengan permaisuri yang berasal dari bangsawan Majapahit. Itulah sebabnya Manggampo Jawa menjalin kerja sama dengan Majapahit dalam membangun kerajaan.
Dalam rangka meningkatkan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, Manggampo Jawa mendatangkan para ahli dari Majapahit, dibawah pimpinan Ajar Panuli.
Ajar Panuli dan kawan-kawannya, mengajarkan sastra jawa kepada para pembesar istana dan rakyat. Mulai saat itu, rakyat mengenal tulisan, Menurut ahli sejarah, pada masa itu pula sangaji Manggampo Jawa, merintis penulisan naskah kuno yang bernama "bo". Sayang naskah kuno bo yang ditulis pada masa Manggampo Jawa, sudah tidak ada lagi. Bo yang merupakan sumber sejarah yang masih ada sekarang, berasal dari bo yang ditulis pada masa kesultanan.
Selain berjasa dalam bidang sastra. Ajar Panuli berhasil memajukan ilmu teknologi. Ia mengajarkan cara pembuatan batu bata dan pembuatan keris serta tombak.
Pada masa pemerintahan Batara Indra Luka putra Manggampo Jawa, hubungan dengan Majapahit masih terjalin dengan intim. Begitu pula pada masa pemerintahan sangaji Maha Raja Indra Seri, putra dari Batara Indra Luka.
Ketika pemerintahan sangaji Ma Wa'a Paju Longge, putera dari Maha Raja a Indra Seri, hubungan dengan Majapahit terputus. Sebab pada saat itu Majapahit sudah mengalami kemunduran. Karena terjadi perang saudara yang berkepanjangan, setelah wafatnya Gajah Mada pada tahun 1364.
Ma Wa'a Paju Longge yang, memerintah di sekitar abad 15 M, meningkatkan hubungan dengan kerajaan Gowa. Pada saat itu kerajaan Gowa, sedang berada dalam jaman kejayaan, di bawah raja Imario Gau Tumi Palangga.
Ma Wa'a Paju Longge pergi ke Gowa untuk mempelajari ilmu pemerintahan dan ilmu-ilmu yang lain. Kemudian ia mengirim dua orang saudaranya, yang bernama Bilmana dan Manggampo Donggo ke Gowa.
Sejak itu sistim politik pemerintahan, pertanian, pertukangan dan pelayaran serta perniagaan, mengikuti sistim yang berlaku di Gowa. Seni budaya Gowa ikut pula mempengaruhi seni budaya Mbojo Bima.
Setelah sangaji Ma Wa'a Paju Longge mangkat, ada satu peristiwa yang menarik untuk dijadikan contoh bagi generasi muda.
Menurut ketentuan yang berlaku, apabila sangaji yang mangkat tidak mempunyai putera, maka yang menggantikannya adalah saudaranya yang tertua. Ketentuan itu terpaksa dilanggar oleh Bilmana dan Manggampo Donggo.
Dengan penuh keikhlasan, Bilmana menyerahkan jabatan sangaji kepada adiknya Manggampo Donggo. Ia sendiri memegang jabatan Tureli Nggampo (perdana menteri). Hal ini dilakukan demi rakyat dan negeri. Karena Manggampo Donggo memiliki bakat dan keahlian untuk menjadi sangaji. Sedangkan Bilmana cocok untuk menjadi Tureli Nggampo. Kebijaksanaan ini diperkuat dengan sumpah yang bernama sumpah Bilmana dan Manggampo Donggo. Sejak itu keturunan Manggampo Donggo menjadi raja dan sultan. Sebaliknya, anak cucu Bilmana menjadi Tureli Nggampo atau Ruma Bicara.
Manggampo Donggo bersama Bilmana, bahu membahu membangun kerajaan. Mereka berjuang tanpa kenal menyerah.
Pertanian dan peternakan dikembangkan. Daerah pertanian dan peternakan diperluas. Keduanya mencetak sawah-sawah baru yang subur. Sebagian sawah untuk kepentingan kerajaan dan sebagian untuk rakyat. Daerah yang tidak cocok untuk pertanian, dijadikan daerah peternakan.
Sistim pemerintahan, disempurnakan dan disesuaikan dengan sistim yang berlaku di kerajaan Gowa. Selain sangaji dan Tureli Nggampo, diangkat pula tureli (menteri), jeneli (camat), gelara (kepada desa).
Pelayaran dan perniagaan pun berkembang dengan pesat. Kapal dan perahu ditingkatkan jumlah dan mutunya. Mengikuti ilmu pelayaran dan perniagaan kerajaan Gowa.
Keamanan kerajaan ditingkatkan pula. Angkatan Darat dan Laut diperbaharui. Panglima perang dipegang oleh Bumi Renda, yang merangkap sebagai panglima angkatan darat. Angkatan laut dipimpin oleh seorang laksamana yang disebut Pabise.
Usaha yang dilakukan oleh dua bersaudara, berhasil dengan sukses. Sehingga pada akhir abad 15, kerajaan Mbojo menjadi pusat perniagaan yang ramai di wilayah Nusantara bagian Timur, selain Gowa dan Ternate. Pada saat itu, kerajaan Mbojo menjadi gudang beras selain Lombok.
Perkembangan dalam bidang sastra dan seni budaya pun cukup cerah. Manggampo Donggo memperkenalkan aksara yang dipelajari dari Gowa. Aksara itu akhirnya menjadi aksara Mbojo.
Manggampo Donggo melanjutkan penulisan Bo dengan aksara Mbojo.
Seni budaya dari Gowa, dipelajari dan dikembangkan ditengah masyarakat. Sehingga lahir seni budaya Mbojo, yang banyak persamaan dengan seni budaya Makasar dan Bugis.
Wilayah kekuasaan kerajaan Mbojo Bima, terbentang luas dari P. Satonda di sebelah barat sampai ke Alor Solor di sebelah Timur. Perluasan wilayah dilakukan oleh La Mbila putera Bilmana.
Kejayaan kerajaan Mbojo Bima, terus bertahan sampai pada sangaji Ma Wa'a Ndapa mangkat, putera Manggampo Donggo disekitar abad 16 M.

E.Kerajaan Mbojo Bima Mengalami Kemunduran.
Setelah sangaji Ma Wa'a Ndapa mangkat, maka cahaya kejayaan kerajaan mulai redup dan akhirnya padam.
Pasti ada dikalangan generasi muda yang bertanya keheranan. Kenapa terjadi petaka di kerajaan yang jaya dan besar itu ?. Apakah karena diserang oleh musuh dari luar atau karena ada pemimpin dan rakyat yang berkhianat ?.
Timbulnya petaka bukan karena serangan musuh dari luar, tetapi karena ada musuh dalam selimut. Salah seorang putera raja Ma Wa'a Ndapa yang bernama Salisi berkhianat kepada don labo dana (rakyat dan negeri). Ia berambisi menjadi Sangaji. Untuk mewujudkan ambisinya, Salisi membunuh Sangaji Samara kakaknya sendiri. Kemudian, ia membunuh Jena Teke (putera mahkota ) di padang perburuan mpori Wera.
Walau demikian Salisi tidak berhasil mewujudkan cita-citanya. Majelis Hadat bersama seluruh rakyat mengangkat Sawo (Asi Sawo) menjadi Sangaji. Salisi bertambah kecewa, ia menunggu waktu yang tepat guna mewujudkan cita-citanya.
Pada masa pemerintahan Sangaji Asi Sawo, untuk sementara waktu Salisi berdiam diri, guna menyusun kekuatan. Pada tahun 1605, Salisi menjalin kerja sama dengan Belanda di pelabuhan Ncake (wilayah desa Roka Kecamatan belo / Pali Belo sekarang). Kerja sama itu dinyatakan dalam satu perjanjian yang disebut perjanjian Ncake.
Saat yang dinanti-nanti oleh Salisi tiba. Ketika Sangaji Asi Sawo mangkat, Salisi berusaha untuk membunuh putera Asi Sawo yang bernama La Ka'i, yang sudah diangkat oleh Majelis Hadat sebagai Jena Teke.
Suasana istana dan seluruh negeri kembali kacau. La Ka'i bersama pengikut Iari meninggalkan istana. Pergi bersembunyi di desa Teke (Kecamatan Belo / Pali Belo sekarang), kemudian pindah ke dusun Kalodu yang berada di tengah hutan belantara.
Dengan bantuan Belanda, untuk sementara Salisi berhasil menguasai istana. Kemarahan dan kebencian rakyat kepada Salisi kian berkobar. Mereka terus menyusun kekuatan untuk mengembalikan La Ka’i ke tahta kerajaan.
Akibat ulah Salisi, akhirnya kerajaan Mbojo Bima mundur dan kacau. Rakyat menderita lahir bathin. Perjuangan seluruh sangaji dan rakyat pada masa lalu dikhianati Salisi yang bekerja sama dengan Belanda.

F.Pengaruh Agama Hindu di Kerajaan Mbojo Bima.
Sampai sekarang belum ada bukti, bahwa masyarakat pada masa kerajaan menganut agama Hindu. Kendati pada masa kerajaan, hubungan Mbojo Bima dengan kerajaan Medang, Kediri, Singosari dan Majapahit amat intim, namun masyarakat tidak merubah kepercayaannya.
Selama berlangsungnya hubungan dengan kerajaan di Jawa, sangaji dan rakyat hanya berguru dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam bidang agama mereka tetap menganut kepercayaan makamba makimba.
Kepercayaan makamba makimbi baru ditinggalkan oleh sangaji dan seluruh masyarakat setelah datangnya pengaruh agama Islam. Terutama setelah berdirinya kesultanan pada tahun 1640 M. Itulah sebabnya, maka agama Hindu tidak berpengaruh dikalangan masyarakat Mbojo Bima.

Mungkin sampai di sini saja cerita singkat Sejarah Kerajaan Bima (Mbojo) karma ini hanya sebatas pengetahuan pnulis. Mungkin dengan adanya satu baris tulisan ini kita sedikit bias tahu bagaima sejarah Mbojo itu sendiri. Dan bagi teman teman-teman Mbojo yang lebih tahu bagaimana itu sejarah Mbojo dapat memberikan Kritik dan saran untuk penulis demi memperbaiki tulisan-tulisan artikel sejarah Mbojo yang akan datang.

Kalau mau tau profil lengkapku dapat juga dilihat fia E-Mail: jamil_monerangga@yahoo.com



Daftar Pustaka:
M. Hilir Ismail. 1996. Sejarah Mbojo Bima. Mataram: Agung Perdana.